KENDATI jabatan paling tinggi yang memimpin Surabaya, hanya adipati, salah satu yang popular dan melegenda adalah Adipati Jayeng Rono. Namun beberapa penulis Barat menyebut Surabaya dengan “The King of Surabaya”. Padahal, Surabaya dalam sejarahnya belum pernah menjadi pusat atau ibukota kerajaan. Tidak ada seorangpun dari kepala pemerintahan yang bergelar raja atau sultan. Walaupun demikian, di Surabaya ada kawasan yang disebut “keraton”.
Nah, berkaitan dengan penetapan Hari Jadi Surabaya, layak pula cerita tentang “The King of Surabaya” ini kita ungkap. Sehingga, kajian tentang bagaimana sesungguhnya kisah pemerintahan masa lalu Surabaya. Mulai dari suatu ranah permukiman yang berstatus desa sampai menjadi kota?
Ini adalah salah satu kekurangan dalam sejarah Surabaya. Tidak ada suatu alur sejarah yang mengalir secara runtut. Misalnya, sejak masih bernama Ujunggaluh, kemudian berubah menjadi Surabaya, belum ditemukan satupun prasasti, catatan dan peninggalan sejarah yang menyebut waktunya.
Juga “kepastian” tentang apa sebenarnya dasar mengubah nama Ujunggaluh menjadi Surabaya. Dan, siapa pemimpin Surabaya waktu nama Ujunggaluh berubah menjadi Surabaya.
Tidak hanya itu, dalam sejarah pemerintahan Surabaya, juga dikenal istilah regent atau bupati. Nama Surabaya pada pemerintahan kebupatian (kabupaten) itu adalah Surapringga. Tetapi anehnya, nama Surapringga itu tenggelam dan tidak popular sama sekali. Mengapa dan mengapa. Semua belum terjawab.
Komplek Keraton
Kawasan yang disebut keraton di Surabaya, berada di daerah Jalan Pahlawan sekarang. Meliputi wilayah dari Bubutan, Pasar Besar, Kramat Gantung dan kampung di sekitarnya. Keraton sebagai tempat tinggal raja atau kepala pemerintahan, biasa juga disebut istana. Mungkin karena berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit yang dipengaruhi agama Hindu, maka tempat tinggal kepala pemerintahan disebut keraton.
Di wilayah yang disebut sebagai bekas keraton Surabaya, ada kampung dan jalan bernama Keraton. Juga ada Kepatihan, Temanggungan dan Carikan. Nuansa wilayah ini sebagai pusat pemerintahan masih terasa dan dapat dilihat hingga sekarang. Ada alun-alun, yakni taman Tugu Pahlawan sekarang. Ada juga alun-alun Contong, di pertigaan Jalan Pahlawan dan Baliwerti atau Jalan Kramat Gantung terus ke Jalan Gemblongan.
Taman tempat berdirinya Tugu Pahlawan, sebelum dibangun kantor pengadilan (Raad van Justitie) oleh Belanda. Kemudian menjadi markas Kenpetai atau biasa diucapkan Kempetai di zaman Jepang. Gedung itu dirubuhkan saat Indonesia merdeka. Akhirnya kawasan ini berubah menjadi alun-alun terbesar di Surabaya.
Pada zaman Belanda, Jalan Pahlawan sekarang ini, namanya: Alun-alun straat atau jalan alun-alun. Dulu, alun-alun itu sangat luas. Tanggul jalan keretaapi yang sekarang melintas dan membelah alun-alun juga belum ada. Jadi, alun-alun itu mulai dari lahan tempat berdirinya gedung Bank Indonesia sekarang sampai seluruh taman Tugu Pahlawan.
Keratonnya sendiri adalah gedung Kantor Pos Besar sekarang. Keraton ini kemudian menjadi kantor bupati Surabaya yang disebut Kabupaten Surapringga. Itulah sebabnya, jalan di depan Kantor Pos itu bernama jalan Kebun Rojo. Karena begitu indah dan rindangnya alun-alun di depan istana atau keraton “King of Surabaya” atau Raja Surabaya, yang juga disebut kebun raja itu.
Dalam sejarah, keraton yang menghadap ke Selatan ini, di sampingnya kanannya terdapat Jalan Kepanjen. Kepanjen berasal dari kata Panji, yaitu bangsawan. Di sanalah berdiri komplek perumahan para bangsawan staf kerajaan.
Satu lagi yang juga disebut bekas keraton adalah, bekas kantor Bupati Surabaya di Jalan Gentengkali, yang sekarang bernama Balai Budaya “Cak Durasim”. Waktu itu, Pemerintahan kabupaten Surapringga pernah dibagi dalam dua bentuk pemerintahan pada zaman kekuasaan Kanjeng Sunan Mangkubuwana Sinuhun Puger dari Mataram.
Pertama Bupati Kasepuhan dan satu lagi Bupati Kanoman. Bupati Kasepuhan berkantor di Jalan Kebonrojo (keraton utara yang sekarang menjadi Kantor Pos Besar Surabaya) dan Bupati Kanoman berkantor di Jalan Gentengkali (keraron selatan yang sekarang dipergunakan sebagai gedung Balai Budaya Jawa Timur).
Nuansa bahwa di sekitar taman tugu pahlawan sekarang ini terletak pusat pemerintahan, masih terasa hingga sekarang. Sama dengan berbagai moda pusat pemerintahan Mataram, di sekitar keraton terdapat kawasan perumahaan kerabat keraton, masjid, pasar dan pemakaman.
Masjid, konon dulu terletak di Jalan Tembaan sekarang, berdekatan dengan komplek makam. Di sini masih ada komplek makam ,”yang dikeramatkan”, namanya Kiai Sedhomasjid. Kabarnya beliaulah sebagai imam masjid agung yang sudah tidak ada lagi. Kemudian, masjid agung itu dipindah dan dibangun baru di Kemayoran tahun 1884, yakni Masjid Jamik Kemayoran yang sekarang terletak di Jalan Indrapura Surabaya.
Tidak lama setelah itu, pada tahun 1891, oleh Pemerintah Belanda, alun-alun yang luas menghadap timur dibangun gedung Pengadilan Tinggi atau Raad van Jutitie. Namun, pada tahun 1945, gedung ini dipergunakan oleh Balatentara Jepang sebagai markas Polisi Militer atau Kenpetai. Akhirnya dibumihanguskan, rata dengan tanah. Sehingga, alun-alun itu kembali kosong dan menjadi Taman Tugu Pahlawan sejak 10 November 1950, hingga sekarang.
Carik Bajra
Sebagai pemegang jabatan pemerintahan tertinggi di bawah kekuasaan Majapahit maupun Mataram, di antaranya Raden Adipati Jayeng Rono. Tentunya waktu menjabat dia bertempat tinggal dan berkantor di keraton.
Sedangkan Sawunggaling yang bergelar Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmasostronagoro sebagai temenggung bertempat tinggal di Temanggungan.
Selain nama Sawunggaling, di Surabaya tempo dulu, juga dikenal seorang tokoh yang menjabat sebagai carik (sekretaris), namanya: Carik Bajra. Dalam catatan sejarah, Carik Bajra ini merupakan carik terkenal dan paling pandai dalam menyusun konsep dan penataan administrasi pemerintahan.
Tugas yang paling menonjol dari Carik Bajra adalah mengatur pertemuan adipati dengan tamu-tamunya. Konon Carik Bajra menguasai banyak dan fasih berbahasa asing, sehingga mudah berkomunikasi dengan bangsa lain. Sebagai seorang carik, tempat tinggalnya pun disebut Carikan.
Kerajaan Niaga
Di dunia luar, Surabaya lebih dikenal sebagai “Kerajaan Niaga”. Para saudagar atau pedagang waktu itu merupakan penggerak utama kehidupan Surabaya. Sebagian besar kegiatan perdagangan darat dan laut Kerajaan Majapahit ada di bandar Junggaluh atau Hujunggaluh yang kemudian berubah menjadi Surabaya.
Dalam “Babad Mataram” yang menceritakan zaman Kartasura, tercatat kepiawaian “arek Surabaya” bernama Carik Bajra sebagai ahli dalam hubungan internasional dan menciptakan perdamaian. Raja Mataram, akhirnya memberi gelar kehormatan kepada Carik Bajra sebagai Temenggung Tirtawiguna.
Kawasan sekitar Keraton Surabaya, juga memberi kesan sebagai tempat tinggal keluarga dan perangkat pemerintahan.
Di bagian selatan ada kampung Mas-Patih (Maspati) yakni tempat tinggal patih sebagai petugas keraton adipati.
Ada kampung bernama Praban (Prabuan), sebagai tempat tinggal para Prabu.
Ada kampung bernama Kranggan (Kronggoan) sebagai tempat permukiman para Ronggo, yaitu ahli pembuat keris dan senjata yang mengandung magis.
Kampung Pawiyatan, adalah komplek perumahan guru atau penyempurna yang berasal dari kata Wiyata. Kampung Ketandan, sebenarnya berasal dari kata Ketandang yang artinya prang-tandang atau prajurit pengawal keraton.
Di bagian timur keraton, hingga sekarang ada kampung bernama Tambak Bayan. Bayan atau Kebayan adalah petugas penjaga bahaya atau keamanan. Kecuali kampung-kampung yang masih ada hingga sekarang, juga ada kampung yang hilang. Namanya: kampung Panayatan, kawasan ini dulu merupakan komplek perumahan pejabat dan anggota Dewan Kerajaan (penasihat raja atau adipati).
Di samping itu, juga kampung Ngabla yang tiada bekas sama sekali. Ngabla adalah petugas Humas (hubungan masyarakat) sebagai juru bicara keraton. Juga yang dulu pernah ada dan tidak tersisa pada zaman sekarang adalah kampung Kademangan (Demang) dan kampung Keradenan (Raden).
Pintu Gerbang
Nama Bubutan, dulu disebut Butotan, artinya “pintu gerbang”. Mungkin dulu, di sini terdapat pintu gerbang komplek istana atau keraton dari arah utara dan barat. Pintu lain dari kawasan keraton adalah di bagian timur, yakni: Lawang Seketeng, yang berada di seberang Kalimas.
Sedangkan di bagian selatan ada gerbang bernama Baliwerti. Nama Baliwerti berasal dari bahasa Portugis, yaitu: “baluerte” yang artinya benteng keraton. Dulu, benteng itu berupa tanggul tanah yang tinggi. Ada kampung bernama Kawatan, mungkin dulu ada pagar pembatas menggunakan kawat.
Ada lagi, yang sekarang sebagai ikon utama Kota Surabaya, yskni: Tunjungan. Artinya Tunjungan, adalah: bunga “teratai putih”. Nah, diperkirakan kawasan ini dulu adalah taman dengan kolam yang indah dengan hamparan bunga teratai putih.
Lain lagi dengan asal-usul nama Blauran. Seorang nenek indo yang dulu tinggal di dekat asrama mahasiswa di Jalan Blauran – kini sudah berubah menjadi gedung Empire Palace yang punya kubah seperti masjid – mengatakan, Blauran itu asalnya dari renda warna biru.
Dulu ada pembatas antara perumahan penduduk pribumi dengan seorang pengusaha kaya. Batas itu dinding tembok yang dicat biru berbentuk renda yang disebut blau (biru) rand (renda) – dibaca: “blau-rand”. Akhirnya huruf d, di akhir nama itu lenyap. Makanya, kawasan “renda biru” itu, kemudian dikenal dengan Blauran hingga sekarang.
Konon, nama Kramat Gantung berasal dari kisah perkelahian antara Adipati Jayeng Rono dengan Sawunggaling (kisah versi lain tentang dongeng Surabaya). Dalam dongeng ini dikisahkan bahwa Sawunggaling memiliki “ilmu Sura” atau ikan sura. Sedangkan kesaktian Jayeng Rono, karena dibekali “ilmu Baya” atau buaya. Gabungan dari dua kesaktian itu menjadi “Sura ing Baya” yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Surabaya.
Nah, karena keduanya sama-sama sakti, maka jasad kedua orang sakti ini mati dengan tergantung. Tempat keramat itu, kemudian dinamakan Keramat Gantung.
Namun, ada pula cerita lain, bahwa yang digantung itu adalah Adipati Aryo Jayeng Kusuma. Patih yang berani menentang Belanda itu, digantung di dekat alun-alun kidul yang sekarang dikenal dengan nama Alun-alun Contong. Disebut contong, karena alun-alun ini segitiga, berbentuk contong (pembungkus) kacang.
Sebenarnya masih banyak, nama-nama di Surabaya sebagai peninggalan sejarah masa lalu yang diabadikan menjadi nama kampung, daerah atau fungsinya. Misalnya: Pandean (tempat pandai besi), Pegirian berasal dari kata giri atau buruh (tempat tinggal buruh pelabuhan), Petukangan (tempat para tukang), Pecindilan, bukan berasal dari kata cindil (anak tikus), tetapi dari kata “cinde” yang arti tempat pengrajin batik bermotif kembang.
Ngaglik berasal dari kata agel dan berubah menjadi aglik, yang arti alat pembersih kapas para tukang tenun kain. Hampir sama dengan Ngaglik adalah Ngagel. Ada yang mengatakan asal kata Ngagel juga agel. Lidah Jawa sudah terbiasa memberi awalan ng untuk huruf awal a dan huruf hidup lainnya: i, u, e dan o.
Contoh: Ampel jadi ngampel, anjuk jadi Nganjuk, nama orang Atmi jadi Ngatemi, ajak jadi ngajak, iri jadi ngiri, ilir jadi ngilir, ulek jadi ngulek, omel jadi ngomel, obrol jadi ngobrol, oplos jadi ngoplos. Juga terjadinya awal kata ng itu, akibat dihilangkannya awalan me pada suatu kata. Misal, mengurus jadi ngurus, mengomel jadi ngomel, mengikuti jadi ngikut, dan lain-lain. Tetapi, adapula yang menyebut, dulu sebelum bernama Ngagel wilayah itu dikenal sebagai daerah Bagong.
Karena di sana banyak pabrik, ada perusahaan besar yang mengeluarkan merek Eagle (burung elang) dibaca egel. Buruh-buruh di sana kalau ditanya kerja atau nyambut gawe di mana, dijawab Eagel. Kedengarannya ngagel. Lama-lama terkenallah kawasan sepanjang Kalimas itu dengan sebutan Ngagel sampai sekarang.
Ketabang, asalnya ketabagan yang artinya tempat pengrajin gedeg atau anyaman bambu. Ondomohen (kawasan Jalan Walikota Mustajab sekarang) berasal dari kata gemoh (gemohen) yang artinya kerajinan tangan (tempat tinggal para pengrajin).
Ada lagi Gubeng, berasal dari kata gubengan, yaitu kain penutup kepala yang dililitkan, semacam jubah atau serban yang biasa diganakan kiyai dan santri. Mungkin di daerah ini dulu tinggal para pembuat atau pedagang gubengan.
Ada kampung bernama Pabean, daerah ini dulu merupakan kawasan pelabuhan dermaga Kalimas. Pabean, berarti tempat petugas menarik dana bea dan cukai. Sama dengan berbagai daerah di sekitar pelabuhan, selalu ada yang disebut wilayah pabean.
Masih di tepi Kalimas, ada pelabuhan hewan dan buah-buahan, namanya Peneleh. Konon asal dari Peneleh itu adalah penilih, nilih, atau menjual hewan. Ada pula yang menyebut berasal dari milih atau pemilih, artinya tempat orang memilih berbagai jenis buah-buahan yang diturunkan dari perahu di dermaga Peneleh.
Lain lagi dengan Pandegiling. Asalnya, dulu di sana ada pabrik gula NV.Groedo di daerah Grudo, dekat Jalan Kartini sekarang. Para buruh pabrik gula itu dikenal sebagai ahli atau orang yang pandai menggiling tebu menjadi gula. Kalau ada yang bertanya, mau ke mana, dijawab ke rumah pandegiling. Lama ke lamaan kawasan itu dikenal sebagai kampung Pandegiling.
Masih banyak lagi nama-nama yang ada sekarang merupakan peninggalan sejarah masa lalu, di samping juga berkaitan dengan keadaan tempatnya. Di antaranya, kampung yang diawali dengan kata tambak, kali, pulo, kedung, bulak, karang, tembok dan sebagainya. ( Bersambung ke 8 )
Penulis: Yousri Nur Raja Agam MH
Wartawan Senior & Ketua Yayasan Peduli Surabaya.
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi