x
x

Akhirnya Diputuskan Hari Jadi Surabaya 31 Mei 1293 "Dengan Catatan"

Sabtu, 31 Mei 2025 13:00 WIB

Reporter : Redaksi

HASIL Pembahasan oleh anggota DPRD Surabaya,  berjalan "alot" untuk memilih, tanggal-tanggal yang dialternatifkan. Dalam sidang pembahasan dari berbagai sumber akademis yang disampaikan,  anggota DPRD Suarabaya dengan seksama.

Secara teliti,  peristiwa abad XIII sesudah pemerintahan Prabu Kartanegara, disimak dengan hati-hati. Saat itu terjadi suatu peristiwa sejarah yang membanggakan. Peristiwa itu adalah kemenangan pasukan Raden Wijaya yang dibantu rakyatnya mengusir tentara Tartar.

Dipandang dari segi tinjauan nasional, peristiwa pengusiran tentara Tartar itu merupakan peristiwa terbebasnya kepulauan Indonesia dari penjajahan atau intervensi tentara asing.

Pelaku peristiwa itu adalah Raden Wijaya yang menurut bukti sejarah diakui sebagai pahlawan besar. Sebagai ilustrasi, kita perlihatkan di sini faktanya sebagai berikut:

Pertama:

Dalam Prasasti Gunung Butak tahun 1216 Caka atau 1294 AD, Raden Wijaya disebut sebagai “Raja yang dipujikan sebagai pahlawan besar yang utama”.

Kedua:

Dalam Prasasti Gunung Pananggungan oleh Kertarajasa tahun 1218 Caka atau 1296 AD, Raden Wijaya disebut sebagai “Pahlawan di antara Pahlawan”.

Dari uraian singkat di atas sudah dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut nilai idiil yang mengandung sifat kepahlawanan dapat terpenuhi.

Pembahasan mengenai lokasi terjadinya peristiwa kepahlawanan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

(1) Pendapat Prof.Dr.N.J.Krom dan lebih diperkuat lagi dengan pendapat Drs.Oei Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi Jurusan Asia Timur, Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang menerangkan bahwa menurut pembacaan tulisan Cina, kata Sugalu, harus dibaca Jung Ya Lu. Dengan demikian, maka ucapannya lebih mendekati Junggaluh daripada Sedayu.

(2) Prof Dr. Suwoyo Woyowasito dengan dasar perkembangan bunyi, dapat membuktikan bahwa Suyalu adalah perubahan bunyi lafal Tionghoa dari kata Hujungaluh.

(3) Suatu data lagi, bahwa Shihpi, salah seorang panglima tentara Tartar yang semula men-darat di Tuban, setelah tiba di Su-ya-lu memerintahkan tiga pejabat tinggi dengan naik perahu cepat ke jembatan terapung Majapahit (the floating bridge of Majapahit)..

Ke tiga pejabat tinggi yang berangkat dari Su-ya-lu tersebut tentunya melalui  sungai menuju ke pusat kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Dengan demikian dapat dibuktikan sungai yang dilalui adalah Kali Brantas, bukan Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan bahwa Su-ya-lu terdapat di pantai dan muara Kali Brantas.

Kenyataan ini sesuai dengan faktor dari sumber Prasasti Kelagen (1037 AD) yang dilengkapi dengan faktor dari buku Chu-fan-Chi-kua (1220 AD), yang menyatakan bahwa Hujunggaluh terletak di pantai dan muara Kali Surabaya.

Maka dengan demikian, kuatlah suara pendapat bahwa:

Su-ya-lu sama dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai, di muara Kali Surabaya dan tidak sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi Bengawan Solo, dengan muaranya yang baru di Ujung Pangkah.

(4) Fakta itu diperkuat lagi  behubungan dengan Kidung Harsa Wijaya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Mangke wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar sampun cirno linurah punang deca tepi siring ing Canggu”  Artinya:  “Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh dan sudah membuat benteng sebelah utara Tegal Bobot Sekar (sari) para lurah desa di wilayah Canggu sudah musnah.” Dengan demikian Panitia Khusus (Pansus) DPRD dapat menerima, bahwa lokasi Hujunggaluh ada di wilayah Surabaya.

Menganai persyaratan hukum ketatanegaraan sebagai kota, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Berdasarkan tinjauan sosial ekonomis, Drs.JBA Mayor Polak menentukan dua ukuran yang dipakai sebagai penentu ciri kota, yaitu:

a. Ukuran pertama berhubngan dengan sifat ekonomis kota, yaitu tidak agraris. Penduduk kota mendatangkan makanannya dari tempat lain. Orang kota bukan orang tani. Berhubungan dengan lapangan pekerjaan, ini menimbulkan adanya sebutan-sebutan seperti kota dagang, kota industri, kota pegawai dan lain-lain.

b. Ukuran yang kedua, berdasarkan tinjauan sosiologis yang menitikberatkan pada sifat hubungan antara anggota masyarakat. Penduduk kota kurang menitikberatkan pada antar hubungan primer, tetapi lebih mengutamakan antar hubungan kepentingan sehingga mempunyai ikatan yang agak longgar. Hal ini menurut Dr.Bouman, disebabkan karena penduduknya yang heterogen.

Berdasarkan dua kriteria kota tersebut, Drs.JBA Mayor Polak, lalu membedakan adanya dua macam kota asli di Indonesia.

Pertama: kota yang punya corak sebagai kota keraton di pedalaman. Kedua, sebagai kota dagang di pantai.

Kota keraton timbul karena adanya pusat pemerintahan di suatu tempat. Sedangkan kota dagang, biasanya timbul di tempat-tempat yang cocok bagi perdagangan, misalnya muara sungai besar atau di mana ada pertemuan jalan lalulintas yang amat penting.

Berpijak kepada pendapat  Drs.JBA Mayor Polak itu, maka dapatlah dibuktikan bahwa Hujunggaluh dalam abad XIII sudah merupakan kota pelabuhan dagang.

Dari Prasasti Kalagen (1037 AD) dapatlah diketahui bahwa Hujunggaluh adalah pelabuhan dagang dwipantara atau interinsuler.  Pada zaman sekarang, istilah yang digunakan Departemen Perhubungan (Dephub) adalah pelabuhan nusantara (antarpulau) dan pelabuhan samudera untuk pelayaran antar benua.

Karena pengertian ketatanegaraan itu sangat luas, maka di sini dikaitkan dengan negara kerajaan yang membawahi Hujunggaluh yang kemudian menjadi Kota Surabaya. Fakta sejarah menunjukkan, bahwa kota pelabuhan Hujunggaluh pada abad XIII merupakan wilayah kerajaan Singasari (sampai Juni 1292) dan kemudian menjadi daerah dari kerajaan Kediri  (sampai April 1293). Setelah itu, menjadi kota pelabuhan Surabaya yang berada di bawah kerajaan Majapahit.

Berdasarkan sumber data dari prasasti, kitab Pararaton dan kitab Negarakertagama, dapat dpastikan bahwa Singasari, Kediri dan Majapahit berbentuk negara kerajaan (monarkhi). Pemegang kekuasaan dan penjunjung tinggi kedaulatan adalah raja.

Dengan demikian, dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan fakta-fakta sejarah, metoda riset “logical acontrario” atau pembuktian “crossing system”, serta pertimbangan akal yang sehat, bahwa Hujunggaluh sebagai suatu “kota pelabuhan dan kota dagang”.

Unsur-unsur yang dimliki dan persyaratan ketatanegaraan sudah terpenuhi, walaupun dalam bentuk dan kadar yang paling sederhana.

Dapat Ditinjau Kembali

Memang, jika dibaca pendapat dan tanggapan, serta kesimpulan tentang penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, masih lemah.

Diakui secara faktual bahwa tanggal yang pasti dengan pembuktian data sejarah belum ditemukan. Oleh karena itu, faktor idiil dalam penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya menjadi dominan.

Dengan pertimbangan itulah, maka tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, diambil dari tanggal terjadinya peristiwa sejarah kepahlawanan sebagai pembahasan di atas. Sesuai pembahasan dan menurut penelitian tersebut, jatuhnya pada tanggal 31 Mei 1293 Masehi.

Setelah melalui tahap pembahasan, maka landasan tema yang telah ditentukan, Pansus (Panitia Khusus) DPRD Kotamadya Surabaya dapat menerima dan menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, untuk menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 M.

Keputusan ini “Dengan Catatan”, bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya masih memungkinkan untuk dapat ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti.

Setelah melalui pembahasan yang rumit dalam waktu yang cukup panjang, pada sidang paripurna DPRD Surabaya, 6 Maret 1975, dilaksanakan sidang khusus untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya.

Pada sidang pleno itu DPRD Kotamadya Surabaya secara resmi setelah seluruh fraksi menyampaikan stemotivoring (pendapat akhir), maka menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya: tanggal 31 Mei 1293.

Persetujuan resmi DPRD Kotamadya Surabaya itu dituangkan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan DPRD Kotamadya Surabaya Nomor 02/DPRD/Kep/75 tanggal 6 Maret 1975.

Keputusan DPRD itu ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975.

Pada pertimbangan SK Walikota Surabaya tersebut, dinyatakan Hari Jadi Kota Surabaya yang diperingati setiap tanggal 1 April, saat diresmikannya Gemeente Surabaya tahun 1906 oleh Pemerintah Belanda pada saat itu, adalah tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab, selain penetapan tanggal tersebut berbau kolonial, Surabaya sebenarnya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sekitar abad XIII.

Berdasarkan pertimbangan itu, dirasa perlu untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya yang sesuai dengan data faktual yang diperoleh dari hasil penelitian, sejarah dan ciri khas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan.

Dari hasil penelitian tim dan pertimbangan DPRD Kotamadya Surabaya, diperoleh kesimpulan bahwa tanggal yang sesuai dengan keinginan, adalah tanggal 31 Mei 1293. 

Maka pada bagian akhir SK Walikota Surabaya yang ditandatangani oleh Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surabaya, H.Soeparno, tertanggal 18 Maret 1975 itu, diputuskan bahwa tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.

Hingga sekarang, peringatan Hari Jadi Kota Surabaya tetap dilaksanakan setiap tanggal 31 Mei. Belum ada pihak yang secara tegas untuk mengubahnya. Kendati ada protes-protes “ringan” dari ahli sajarah dalam beberapa kali seminar.

Dalam persetujuan Pansus DPRD Kota Surabaya tanggal 6 Maret 1975 ada klausal yang berbunyi:

“bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 ini masih dimungkinkan untuk ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta-fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti”.

Memang, di samping secara ilmiah, penetapan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei itu, ada hal yang cukup menarik dalam sidang DPRD Surabaya saat itu.

Ahadin Mintaroem, memberi pertimbangan kedekatan peringatan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei itu dengan hari besar yang lain.

Dicontohkan, alternatif kedua tanggal 11 September 1294 dan alternatif ketiga 7 Juli 1358. Ke dua tanggal itu, 11 September dan 7 Juli, suasana kita fokus pada peringatan HUT kemerdekaan 17 Agustus. 

Sedangkan alternatif keempat tanggal 3 November 1486. Kita tahu, peringatan Hari Pahlawan, tanggal 10 November. Jadi tanggal 3 November itu dekat, menjelang Peringatan Hari Pahlawan 10 November. Ini adalah Upacara Nasional yang berasal dari Kota Surabaya.

Jadi, ya  sudah pas kita sepakat tanggal 31 Mei, kata politikus PPP (Partai Persatuan Pembangunan) tersebut.

Begitulah catatan hasil final dan liputan penulis pada sidang-sidang yang disertai dokumen sidang DPRD Kota Surabaya.

Jadi, adanya kata-kata dalam keputusan itu berbunyi, dengan catatan:

“bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 ini masih dimungkinkan untuk ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta-fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti”. Artinya "masih mungkin diubah". ( Tamat )

Penulis: Yousri Nur Raja Agam MH

Wartawan Senior  &  Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA