Reporter : Redaksi
Serangan militer Amerika Serikat ke Iran dengan dalih menjaga perdamaian dunia menandai babak baru dalam kisah tragis perang modern yang lebih didorong oleh ego kekuasaan daripada nurani kemanusiaan.
Dunia sekali lagi dipertontonkan pada aksi sepihak yang menyimpan konsekuensi jauh lebih luas daripada yang terlihat di layar-layar televisi atau laporan media. Ketika enam pesawat pengebom B-2 menjatuhkan bom penghancur bunker GBU-57A/B ke situs nuklir Fordow, dan 30 rudal jelajah TLAM ditembakkan dari kapal selam AS ke Natanz dan Isfahan, dunia tidak hanya menyaksikan kehancuran fisik, tetapi juga kehancuran harapan atas sebuah tatanan global yang lebih adil dan berperikemanusiaan.
Peperangan ini bukan sekadar reaksi atas provokasi atau langkah preventif terhadap potensi ancaman nuklir. Ini adalah refleksi dari bagaimana negara-negara besar masih saja mengedepankan dominasi dan kepentingan geopolitik di atas kepentingan perdamaian.
Ironisnya, semua ini dibungkus dalam jargon manis: “demi stabilitas dunia.” Padahal, dunia tidak menjadi lebih stabil setelah ledakan-ledakan itu bergema. Dunia justru semakin terancam, tidak hanya oleh konflik bersenjata, tapi juga oleh lenyapnya rasa percaya antarnegara, meluasnya ketegangan regional, dan lahirnya ketakutan baru di tengah masyarakat sipil global.
Apa yang dilakukan Amerika bukan sekadar aksi militer, melainkan sebuah keputusan politik yang sarat dengan pesan simbolik: siapa yang berkuasa, dialah yang menentukan arah moral global. Padahal, moralitas tidak pernah bisa lahir dari moncong senjata atau ledakan bom seberat 30.000 pon. Moralitas sejati hadir dari kemampuan untuk berdialog, untuk mengutamakan manusia sebagai pusat pertimbangan, bukan sekadar objek dalam skenario politik global.
Serangan ke Iran, seperti banyak diprediksi para pengamat, menyulut potensi efek domino yang bisa mengguncang tidak hanya kawasan Timur Tengah, tetapi juga keseimbangan dunia. Negara-negara sekutu Iran mungkin merasa terancam dan terdorong untuk merespons. Rusia dan Tiongkok, dua kekuatan besar dunia dengan kepentingan strategis di kawasan, bisa saja memanfaatkan situasi untuk menegaskan posisi mereka.
Aliansi-aliasni militer yang semula pasif bisa berubah menjadi aktif, menciptakan pusaran konflik baru yang meluas dan sulit dikendalikan. Efek domino ini lebih dari sekadar diplomasi yang retak atau ekonomi global yang terguncang. Ia menimbulkan ketidakpastian di tengah masyarakat dunia. Ketika satu negara bisa dengan mudah menjatuhkan bom atas nama “perdamaian,” negara lain pun akan merasa berhak melakukan hal yang sama.
Akibatnya, rasa aman menjadi barang langka. Dunia memasuki era di mana suara dentuman lebih nyaring dari diplomasi, dan keamanan bukan lagi hak universal, melainkan privilese yang hanya dimiliki oleh negara kuat.
Lebih jauh, peperangan ini kembali menunjukkan bagaimana suara rakyat tak pernah benar-benar didengar ketika ego politik berbicara. Rakyat Iran yang hidup di sekitar situs-situs nuklir itu, bukan mereka yang menciptakan kebijakan, namun merekalah yang menanggung akibatnya.
Anak-anak, perempuan, dan kaum lansia menjadi korban dari sebuah keputusan yang dibuat ribuan kilometer jauhnya, tanpa melibatkan mereka sedikit pun. Inilah wajah pahit dari politik global yang meminggirkan kemanusiaan: yang lemah selalu menjadi korban, sementara yang kuat memonopoli kebenaran.
Ketika ego para elit mendominasi ruang-ruang keputusan, peradaban tidak sedang bergerak maju, tetapi justru sedang mundur ke masa di mana hukum rimba menjadi pedoman. Dunia yang diharapkan menjadi rumah bersama yang aman dan damai, kini menjelma seperti ranjau yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Ketegangan, ketidakpastian, dan rasa curiga antarnegara kini menjadi hal yang normal. Padahal, manusia sejatinya diciptakan untuk saling hidup berdampingan, bukan saling mencurigai atau saling menghancurkan. Malala Yousafzai, peraih Nobel Perdamaian, pernah berkata, “Dalam perang, tidak ada yang menang. Yang ada hanyalah mereka yang kehilangan kemanusiaan.” Kata-kata ini menggambarkan dengan tepat situasi dunia saat ini.
Baik Amerika maupun Iran, dalam pusaran konflik seperti ini, keduanya kehilangan sisi kemanusiaannya. Ketika senjata dijadikan jawaban utama, maka dialog dan belas kasih kehilangan tempatnya. Peradaban manusia dibangun bukan di atas reruntuhan bangunan atau jasad korban perang, melainkan di atas rasa saling percaya dan keadilan.
Kini, dunia menanti apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah akan muncul babak baru dari serangan balasan, atau adakah secercah kesadaran dari para pemimpin dunia untuk menghentikan siklus kekerasan ini? Dunia tidak bisa terus-menerus menjadi ajang pembuktian kekuatan militer.
Dunia membutuhkan kepemimpinan yang berani menahan diri, yang berani berdamai, bukan untuk menyerah, tapi untuk menyelamatkan masa depan umat manusia. Harapan masih ada, namun waktu semakin sempit. Efek domino tidak akan menunggu niat baik. Ia akan melaju, menghantam siapa saja yang tak siap.
Jika dunia tidak segera sadar, maka krisis yang saat ini hanya terjadi di satu kawasan, bisa meluas menjadi malapetaka global. Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mencatat: umat manusia gagal belajar dari luka-luka masa lalu, karena lebih memilih memelihara ego daripada merawat nurani.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi