x
x

Memaknai Politik Agama atau Ideologi

Dalam kehidupan bernegara, ideologi bukan sekadar simbol atau rangkaian kata yang tertulis dalam konstitusi. Ia adalah fondasi dan arah pijak sebuah bangsa.

Di Indonesia, Pancasila menjadi ideologi pemersatu yang dirumuskan bukan untuk menyingkirkan identitas kelompok tertentu, melainkan sebagai titik temu keberagaman.

Namun, dalam perjalanannya, ada saja upaya dari kelompok-kelompok tertentu yang mencoba menggiring arah bangsa dengan membawa ideologi tandingan, baik secara halus maupun terbuka.

Salah satu bentuknya adalah penggunaan politik agama atau ideologi sebagai alat untuk menantang otoritas negara yang sah.

Politik agama, yang seharusnya menjadi kekuatan moral, kini sering kali dipelintir menjadi alat legitimasi kekuasaan. Agama ditarik masuk ke arena kontestasi politik praktis, dijadikan tameng untuk menyerang kebijakan negara dan lawan politik, bahkan kerap dimanipulasi menjadi senjata ideologis.

Padahal, dalam sejarahnya, para pendiri bangsa sepakat bahwa Pancasila bukan antitesis agama. Ia justru lahir dari semangat religius yang inklusif dan kosmopolit, yang mengakomodasi nilai-nilai spiritual berbagai golongan tanpa menjadikan satu agama sebagai poros dominan.

Namun, ketika ada kelompok yang ingin mengganti sistem bernegara dengan ideologi berbasis agama tunggal atau sistem transnasional seperti khilafah, maka negara tidak boleh abai.

Ini bukan sekadar ekspresi politik, melainkan ancaman terhadap fondasi konstitusional. Pemerintah, dalam konteks ini, harus hadir dengan ketegasan. Bukan dalam arti represif terhadap kritik atau perbedaan pendapat, melainkan protektif terhadap kestabilan dan kedaulatan ideologi negara.

Tapi di sinilah paradoks demokrasi muncul. Ketika negara mengambil langkah tegas, tuduhan pun datang, dan biasanya dianggap sebagai kriminalisasi, anti-Islam, anti-oposisi, anti-demokrasi.

Kritik terhadap kebijakan negara boleh dan harus ada, namun ketika kritik bertransformasi menjadi delegitimasi total terhadap ideologi negara, maka itu bukan lagi bagian dari demokrasi.

Dalam pandangan pakar politik dan tata negara asal Jerman, Carl Schmitt, “musuh politik sejati bukanlah pihak yang berbeda pendapat, tetapi mereka yang mempertanyakan eksistensi sistem itu sendiri.”

Artinya, negara tidak boleh lengah terhadap ancaman dari dalam yang menyamar sebagai bagian dari dinamika demokrasi, padahal sebenarnya berupaya menggulingkan pilar demokrasi itu sendiri.

Literasi politik yang rendah membuat masyarakat mudah terbawa narasi-narasi manipulatif. Mereka yang tidak memahami perbedaan antara kritik sah dan agitasi subversif menjadi sasaran empuk propaganda ideologis.

Media sosial menjadi medan pertempuran utama, di mana narasi dibangun bukan atas dasar kebenaran, melainkan pengaruh.

Dalam masyarakat yang minim pendidikan politik, politik agama sangat efektif dimainkan. Emosi kolektif jauh lebih mudah dibakar ketimbang nalar kritis.

Di sinilah negara dituntut tidak hanya bersikap tegas secara hukum, tapi juga hadir secara masif dalam pendidikan politik.

Sayangnya, pendidikan politik di Indonesia masih bersifat formalitas. Ia belum menyentuh ruang-ruang substantif yang bisa membangun kesadaran ideologis warga negara.

Di tengah kekosongan itu, kelompok-kelompok ekstrem ideologis mengisi ruang dengan narasi-narasi simplistis dan menghasut.

John Rawls, filsuf politik asal Amerika Serikat, pernah menyatakan bahwa demokrasi tidak akan bertahan tanpa “reasonableness”—kemampuan warga negara untuk menimbang secara rasional kebaikan bersama.

Ketika politik agama meminggirkan akal sehat dan mendegradasi logika konstitusional, maka demokrasi sedang dipaksa untuk bunuh diri.

Penting pula menyoroti peran pemimpin dalam dinamika ini. Keteladanan pemimpin adalah bagian dari pendidikan politik yang hidup.

Ketika pemimpin bersikap ambigu terhadap ancaman ideologi ekstrem, bahkan kadang berkompromi demi kepentingan elektoral, maka pesan yang tersampaikan ke publik menjadi rancu.

Pemimpin yang menyuarakan Pancasila tetapi diam saat simbol-simbol intoleransi tumbuh di lingkar kekuasaan, adalah pemimpin yang membiarkan api kecil membakar pondasi bangsa secara perlahan.

Ketegasan ideologis seharusnya bukan hanya tertulis di naskah pidato, tetapi terwujud dalam kebijakan, penegakan hukum, dan pola komunikasi publik yang konsisten.

Dalam konteks global, banyak negara juga menghadapi dilema yang serupa. Prancis misalnya, bersikap tegas terhadap simbol-simbol politik berbasis agama di ruang publik.

Amerika Serikat menggunakan hukum internalnya untuk melindungi konstitusi dari ancaman sektarian. Artinya, sikap tegas bukanlah tanda anti-demokrasi, melainkan bukti komitmen terhadap demokrasi yang rasional dan konstitusional.

Negara yang membiarkan dirinya disandera oleh politik identitas akan kehilangan arah dan terjebak dalam konflik horizontal yang tiada akhir. Indonesia, sebagai negara dengan keragaman ekstrem, harus lebih waspada terhadap jebakan ini.

Kita tak bisa terus-menerus menganggap bahwa semua yang berbicara atas nama agama pasti benar dan tak bisa disentuh hukum.

Negara bukan lembaga teologi. Ia adalah institusi politik yang bertugas menjaga keteraturan dan keberlangsungan hidup bersama. Ketika agama dijadikan kendaraan untuk menggulingkan ideologi negara, maka itu bukan ekspresi keimanan, melainkan ekspresi kekuasaan yang berbahaya.

Maka, sikap tegas negara bukanlah bentuk perlawanan terhadap umat, melainkan perlindungan terhadap seluruh rakyat tanpa kecuali.

Menjaga Pancasila adalah menjaga rumah bersama. Jika rumah ini dirongrong oleh ideologi yang hanya berpihak pada satu warna saja, maka jutaan warna lain dalam pelangi kebangsaan akan hilang.

Demokrasi dan keberagaman hanya bisa hidup dalam ekosistem yang sehat ekosistem yang melindungi perbedaan, tapi juga tidak kompromi terhadap ideologi yang ingin memaksakan keseragaman.

Dalam kondisi seperti inilah, ketegasan negara dan kecerdasan politik masyarakat menjadi dua sisi mata uang yang saling menguatkan.

Dan seperti kata Schmitt, “yang membedakan negara sehat dan sakit bukanlah ada tidaknya perbedaan, melainkan seberapa kuat negara menjaga dirinya dari ancaman eksistensial.”

Indonesia harus menjadi negara yang kuat menjaga jati dirinya bukan negara yang ragu-ragu di hadapan ancaman ideologis yang dibungkus atas nama agama.

Ditulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Berita Terbaru
Selasa, 08 Jul 2025 19:58 WIB

Kadin Jatim Sebut Tarif Impor AS 32% Justru Bikin Peluang Besar Ekspor Tekstil

JATIMKINI.COM, Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diterapkan pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap produk dari berbagai negara Asia menciptakan
Selasa, 08 Jul 2025 18:06 WIB

Problem Pendidikan, SDN Sepi Peminat

Di tengah mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045, negeri ini justru dihantui fenomena penuh tanda tanya, mengapa Sekolah Dasar Negeri makin ditinggalkan
Selasa, 08 Jul 2025 16:21 WIB

PLN Elektrifikasi 21 Ribu Petani Buah Naga di Banyuwangi, Dorong Ekonomi Kerakyatan

PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor pertanian berkelanjutan melalui program electrifyin
Selasa, 08 Jul 2025 15:37 WIB

Frank & co., Hadirkan Kemewahan Intim di Tengah Kota Surabaya

Frank & co., membuka gerai kelima di Surabaya, yang mengusung berlian dengan konsep perpaduan keintiman dan kemewahan menyatu.
Selasa, 08 Jul 2025 14:35 WIB

Pelatihan SDM Jadi Kunci TPS Tingkatkan Kinerja Terminal

TPS menjawab tantangan tata kelola pelabuhan melalui pelatihan SDM guna mendorong transformasi terminal bertaraf internasional.
Selasa, 08 Jul 2025 13:17 WIB

Kelompok Mahasiswa 96 UPN Veteran Dampingi RW 5 Pilang Makmur. Tujuaannya Ini

Guna menyiapkan kegiatan Lomba Kelurahan Berseri tingkat Kota Surabaya kelompok mahasiwa KKN 96 Universitas Pembanguna Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur