Ketegangan yang kembali membara antara Iran dan Israel bukan hanya menorehkan luka baru dalam dinamika kawasan Timur Tengah, tetapi juga mengancam konstruksi perdamaian global makin rapuh.
Serangan balasan Iran ke wilayah Israel, yang dipicu oleh rangkaian provokasi panjang dan perhitungan strategis regional, menempatkan dunia dalam satu tarikan napas yang khawatir. Apakah ini awal dari konflik yang lebih luas dan merambat?
Wilayah Teluk, yang selama ini menjadi ladang diplomasi kompleks antara kekuatan lokal dan global, kini menjadi titik nyala baru yang menyulitkan setiap upaya rekonsiliasi dan stabilisasi jangka panjang. Dalam beberapa dekade terakhir, geopolitik dunia kian menunjukkan bahwa konflik di satu wilayah bisa dengan cepat menular ke kawasan lain.
Iran bukan sekadar negara, tetapi representasi dari kutub politik yang menentang dominasi Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan, seperti Israel dan Arab Saudi. Maka ketika Iran meluncurkan serangan langsung ke wilayah Israel, yang secara simbolik maupun militer adalah mitra utama AS di Timur Tengah, sinyal bahaya bukan hanya diterima oleh Tel Aviv, tetapi juga oleh Moskow, Beijing, Brussel, hingga Washington.
Dampaknya? Segera terlihat dalam fluktuasi pasar minyak, penguatan aliansi militer di kawasan, dan tekanan psikologis yang meningkat terhadap negara-negara yang selama ini mencoba memainkan posisi netral.
Negara-negara di Eropa yang bergantung pada kestabilan harga energi dari kawasan Teluk mulai merasakan dampaknya. Kenaikan harga minyak mentah yang signifikan tak hanya memukul sektor industri, tetapi juga memperbesar beban inflasi global yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi COVID-19 dan konflik berkepanjangan Rusia-Ukraina.
Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai patron utama Israel terjebak dalam dilema klasik antara mempertahankan dominasi geopolitiknya di Timur Tengah atau menghindari keterlibatan langsung dalam perang besar-besaran yang bisa memancing konfrontasi dengan negara-negara seperti Rusia atau bahkan Tiongkok.
Tak bisa dipungkiri, jika situasi ini terus bereskalasi, bisa saja menjadi pemicu terbentuknya poros baru kekuatan global yakni blok Iran, Rusia, dan Tiongkok menghadapi poros AS, Israel, dan sekutu Eropa. Sebuah skenario yang banyak diprediksi sebagai cikal bakal perang dingin jilid dua.
Namun demikian, jika dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, harga yang dibayar selalu lebih mahal. Rakyat sipil, baik di Iran maupun Israel, menjadi korban utama dari pertarungan ego politik dan kepentingan strategis elite penguasa.
Kota-kota menjadi sasaran rudal, anak-anak tumbuh dalam ketakutan, dan masa depan generasi muda terenggut oleh retorika dendam yang diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya. Dalam konteks ini, suara-suara perdamaian justru semakin terdengar lirih, tersisih oleh hiruk pikuk suara senjata dan propaganda.
Seorang tokoh perdamaian dunia, Malala Yousafzai, pernah berkata, dalam peperangan, baik pemenang maupun pecundang sama-sama kalah, karena mereka kehilangan kemanusiaan. Kutipan ini menggugah kesadaran bahwa konflik seperti Iran-Israel bukan sekadar soal perebutan wilayah atau pengaruh, melainkan pertaruhan besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dunia yang dibangun dari rasa saling percaya, saling mengakui, dan saling menghormati perbedaan kini seakan tercerai berai oleh satu rentetan serangan udara. Begitu pula pandangan Ban Ki-moon, mantan Sekjen PBB, yang selalu menekankan pentingnya diplomasi preventif dan multilateralisme dalam menghadapi krisis dunia.
Dalam salah satu pidatonya, ia menegaskan bahwa tidak ada solusi militer untuk konflik politik. Sayangnya, dalam konteks Iran-Israel, diplomasi seperti ini kehilangan panggungnya. Jalur diplomatik yang sempat dibuka melalui perjanjian nuklir (JCPOA) kini nyaris tak bersisa setelah Amerika Serikat keluar secara sepihak dan Iran kembali meningkatkan pengayaan uraniumnya.
Ketegangan semakin tak terbendung karena setiap langkah politik direspons dengan provokasi militer. Situasi yang makin memanas ini juga memicu perubahan kalkulasi strategis di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia selama ini memainkan peran penting dalam menyuarakan perdamaian dan keadilan di Timur Tengah. Namun jika konflik ini mengarah pada keterlibatan kekuatan besar dunia, posisi Indonesia pun akan diuji. Apakah akan tetap berdiri di garis diplomasi damai, atau turut terseret dalam pusaran blok-blok kekuasaan global?
Di tingkat global, ketegangan ini bisa menjadi pemicu munculnya berbagai gerakan separatis baru, bangkitnya radikalisme, serta memperburuk krisis pengungsi yang selama ini sudah menjadi momok Eropa dan negara-negara berkembang.
Dunia menjadi lebih tidak aman, lebih terpecah, dan lebih sulit untuk diajak duduk bersama dalam forum-forum multilateral seperti PBB atau G20. Oleh karena itu, dunia kini memerlukan bukan hanya pemimpin yang kuat secara militer atau ekonomi, tetapi pemimpin yang berani mengambil langkah tidak populer demi perdamaian.
Pemimpin yang melihat lebih jauh ke depan, ke masa di mana generasi setelah kita tidak lagi mewarisi dendam sejarah, tetapi harapan baru untuk hidup berdampingan. Kita perlu kembali pada semangat Piagam PBB, semangat Bandung, dan semangat kemanusiaan yang melampaui batas politik maupun agama.
Sebab pada akhirnya, perang hanya akan menciptakan lebih banyak reruntuhan. Sementara perdamaian, meskipun sulit diraih, adalah satu-satunya jalan menuju masa depan yang layak dihuni oleh kita semua.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi