Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di kanal you tube yang menyebut dirinya kini tak lagi tergantung pada kerja sama dengan media telah menimbulkan gelombang kritik dari kalangan pers, salah satunya datang dari Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, Dhimam Abror.
Kritik ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan sebuah refleksi atas kekhawatiran mendalam terhadap arah demokrasi dan keberadaan media massa di tengah derasnya arus digitalisasi komunikasi politik.
Ketika seorang pejabat publik secara terbuka meremehkan peran media konvensional, maka sesungguhnya ia tengah meremehkan salah satu fondasi demokrasi itu sendiri. Media massa bukan sekadar saluran informasi. Ia adalah institusi yang dibangun dengan fondasi etika, profesionalisme, dan tanggung jawab sosial.
Dalam praktik jurnalistik, terdapat prinsip-prinsip yang tidak bisa ditawar seperti melakukan konfirmasi, keberimbangan, independensi, dan kode etik jurnalistik. Inilah yang membedakan media konvensional dengan media sosial.
Di media sosial, siapa pun bisa memproduksi dan menyebarkan informasi tanpa saringan, tanpa prosedur verifikasi, bahkan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap publik. Di sinilah letak kekhawatiran terbesar bagi Dhimam Abror.
Ketika seorang pemimpin lebih percaya kepada media sosial untuk menyampaikan informasi kepada publik, ia sesungguhnya membuka ruang seluas-luasnya bagi praktik komunikasi satu arah yang berpotensi manipulatif.
Pernyataan Dedi Mulyadi yang terkesan mengesampingkan peran media konvensional menimbulkan pertanyaan besar: apakah seorang pemimpin daerah sekelas gubernur masih memahami fungsi strategis media dalam demokrasi?
Media bukan sekadar "corong" untuk mempublikasikan kegiatan atau program pemerintah. Ia adalah mitra kritis, yang menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan. Media yang sehat dan merdeka adalah syarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang sehat. Ketika media dikerdilkan, maka suara kritis akan dibungkam dan ruang partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan akan menyempit.
Lebih jauh, pernyataan Dhimam bahwa "konten di medsos gak peduli etika karena gak punya aturan kode etik" menyoroti satu hal penting: bahwa media sosial tidak bisa dijadikan satu-satunya kanal komunikasi pemerintah.
Meskipun daya jangkau dan kecepatan distribusi informasi di media sosial sangat tinggi, tetapi tanpa filter dan tanggung jawab, informasi yang disebarkan di sana bisa menyesatkan. Gubernur, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di daerah, seharusnya justru menjadi pihak yang paling paham pentingnya keberimbangan informasi dan objektivitas berita.
Alih-alih menjauh dari media konvensional, pejabat publik justru harus memperkuat sinergi dengan pers, agar informasi yang diterima publik tidak bias, tidak manipulatif, dan tidak sekadar berisi pencitraan semata.
Dalam konteks inilah Dhimam Abror menyebut Dedi Mulyadi sebagai figur "otoriter" yang tidak memahami esensi demokrasi. Istilah ini mungkin terdengar keras, namun kritik tersebut memiliki landasan kuat.
Otoritarianisme tidak selalu ditandai oleh tindakan represif secara fisik, tetapi juga bisa terlihat dari cara seorang pemimpin menolak diawasi, enggan dikritik, dan lebih memilih jalur komunikasi tunggal melalui media sosial yang dikendalikan sendiri. Ini adalah bentuk baru dari kontrol informasi yang terselubung.
Jika hal ini dibiarkan, maka sistem demokrasi kita akan mengalami kerusakan struktural dari dalam. Pernyataan Dhimam yang membandingkan Dedi Mulyadi dengan Ganjar Pranowo juga menunjukkan kegelisahan atas munculnya pola komunikasi politik baru yang lebih menekankan aspek pencitraan ketimbang substansi kebijakan.
Di era media sosial, citra bisa direkayasa, kesan bisa dibangun secara instan, dan popularitas bisa dikemas tanpa harus dibarengi kualitas kepemimpinan yang nyata. Namun, sebagaimana Dhimam sampaikan dengan lugas, "hasilnya zonk." Sebuah ekspresi yang mencerminkan kekecewaan atas fenomena politik yang makin jauh dari nalar kritis dan kedewasaan demokrasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap komunikasi modern. Namun, menjadikannya satu-satunya alat komunikasi, apalagi dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, adalah sebuah kekeliruan yang berbahaya.
Media sosial seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti media konvensional. Karena tanpa jurnalisme profesional, informasi akan kehilangan akarnya pada kebenaran. Gubernur Dedi Mulyadi bisa saja merasa bahwa media sosial memberinya ruang lebih bebas untuk berbicara langsung kepada publik.
Namun kebebasan yang tanpa batas justru menimbulkan persoalan baru. Tidak ada mekanisme check and balance, tidak ada verifikasi pihak ketiga, dan yang paling penting, tidak ada ruang untuk publik mengkritisi secara objektif karena komunikasi berjalan satu arah.
Itulah sebabnya, dalam sistem demokrasi modern, media massa tetap menjadi benteng terakhir bagi keberlangsungan akuntabilitas dan transparansi kekuasaan. Sudah saatnya para pemimpin, baik di tingkat daerah maupun nasional, kembali menyadari peran penting media konvensional dalam menjaga kesehatan demokrasi.
Menolak media atau menganggap media tidak penting adalah tanda ketidaksiapan untuk diawasi. Dan pemimpin yang tidak siap diawasi adalah pemimpin yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Maka, pernyataan Dhimam Abror bukan sekadar reaksi personal, tapi merupakan alarm bagi kita semua.
Bahwa di tengah derasnya arus digital dan kemudahan komunikasi, kita jangan sampai kehilangan prinsip dasar dalam demokrasi dengan mengkedepankan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas yang hanya bisa dijaga melalui media massa yang bebas dan bertanggung jawab. Itulah media konvesional.
Ditulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi