x
x

Media Konvensional Masih Pilar Demokrasi (Tanggapan Tulisan Rokim Dakas)

Senin, 30 Jun 2025 13:39 WIB

Reporter : Redaksi

Tulisan Rokim Dakas pada tanggal 30 juni 2025 di rubrik kolom Jatim kini yang mengkritik media konvensional dan membela langkah Deddy Mulyadi untuk tidak lagi bergantung pada media konvesionsl memang menyuguhkan sudut pandang yang tajam.

Ia mengungkap data betapa sebagian besar media online di Indonesia belum terverifikasi, bahkan menyebut bahwa dunia pers tengah sakit karena banyak yang menjelma menjadi “toko berita” yang menjual konten demi dana.

Dalam konteks ini, kritik Rokim tidak sepenuhnya salah. Memang ada persoalan mendasar dalam dunia jurnalisme Indonesia saat ini, mulai dari penyalahgunaan profesi, lemahnya etika, hingga ketergantungan pada model bisnis yang kompromistis terhadap independensi.

Namun demikian, narasi bahwa media konvensional telah kehilangan legitimasi dan tidak lagi relevan dalam demokrasi jelas merupakan penyederhanaan yang berbahaya.

Penting untuk diakui bahwa di tengah keragaman kualitas media saat ini, masih banyak media konvensional yang teguh menjaga prinsip jurnalistik: verifikasi informasi, keberimbangan, konfirmasi, dan independensi.

Media-media ini tidak menyerah pada tekanan pasar semata, tetap memposisikan diri sebagai pengawas kekuasaan, dan menjadi ruang artikulasi publik yang bertanggung jawab.

Menyamaratakan media konvesional sebagai tidak kredibel dan tidak layak dipercaya adalah kekeliruan logika yang bisa memicu delegitimasi terhadap seluruh institusi pers.

Padahal demokrasi yang sehat justru membutuhkan ruang kritik dan pengawasan yang sistematis dan profesional, sesuatu yang hanya bisa dijalankan secara konsisten oleh media konvesional dengan standar jurnalistik yang mapan.

Argumen bahwa media sosial lebih dipercaya karena dianggap lebih otentik juga patut ditinjau secara kritis.  Kepercayaan publik terhadap media sosial sering kali bukan karena kualitas informasinya, melainkan karena karakter media sosial yang bersifat personal, emosional, dan langsung.

Di sini letak paradoksnya peran media sosial memberikan ilusi kedekatan dan keterlibatan, namun tidak dilengkapi dengan mekanisme kontrol mutu. Tidak ada jaminan bahwa informasi yang disampaikan adalah benar, tidak ada kewajiban etik, dan tidak ada pihak ketiga yang bertanggung jawab atas dampaknya terhadap publik.

Sementara media konvensional, meskipun tidak sempurna, memiliki sistem redaksi, kode etik, Dewan Pers, dan regulasi yang menjadi alat kontrol.

Dalam konteks ini, langkah Deddy Mulyadi yang memilih jalur komunikasi langsung melalui media sosial bukanlah sebuah dosa demokrasi. Namun ketika pilihan itu disertai dengan sikap menjauh dari media konvensional, bahkan dengan nada sinis terhadap perannya, maka justru yang bersangkutan perlu dikritik.  Demokrasi bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tapi tentang menciptakan ruang diskusi yang berimbang dan bisa diuji kebenarannya.

Media sosial tidak bisa menggantikan fungsi tersebut secara penuh. Sebaliknya, media konvensional masih menjadi satu-satunya institusi komunikasi publik yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara struktural.

Pakar media dan demokrasi asal Jerman, Jürgen Habermas, dalam teorinya tentang ruang publik menyatakan bahwa demokrasi membutuhkan medium diskusi rasional yang tidak didominasi oleh kekuasaan atau uang.

Dalam pengertian ini, media konvensional yang sehat dan bebas dari intervensi politik dan ekonomi merupakan syarat mutlak terbentuknya opini publik yang rasional.

Media sosial, dengan segala potensinya, tidak serta-merta memenuhi prasyarat tersebut. Ia cenderung didominasi oleh emosi, polarisasi, dan algoritma yang memperkuat bias pribadi.  Dalam jangka panjang, ketergantungan pada media sosial justru bisa mempersempit ruang deliberasi publik yang jernih.

Oleh karena itu, penting untuk tidak terjebak dalam dikotomi antara media sosial dan media konvensional. Keduanya bisa dan harus saling melengkapi.

Media sosial efektif untuk menyampaikan pesan secara cepat dan menjangkau banyak orang dalam waktu singkat.  Tapi media konvensional memiliki kelebihan dalam menyusun narasi yang mendalam, melakukan investigasi, dan menyediakan konteks yang lebih luas bagi publik.

Dalam demokrasi modern, komunikasi politik tidak bisa hanya mengandalkan popularitas dan viralitas. Ia membutuhkan kedalaman, keakuratan, dan tanggung jawab — nilai-nilai yang menjadi inti dari jurnalisme profesional.

Tulisan Rokim Dakas memang menyuarakan kegelisahan banyak orang terhadap kondisi media saat ini. Namun narasi tersebut menjadi bias ketika meniadakan kontribusi media yang tetap berjuang di jalur yang benar.

Ada banyak redaksi di pelosok negeri yang bekerja dengan sumber daya minim namun tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik.

Masih ada wartawan yang tetap menulis dengan semangat idealisme, menyuarakan ketidak adilan dan membongkar tirani tembok para koruptor, menolak pesanan berita, dan memilih menyuarakan kepentingan publik meskipun tekanan datang dari berbagai arah.

Mereka adalah bukti nyata bahwa media konvensional belum mati. Mereka layak didukung, bukan dipinggirkan. Justru dalam situasi media yang plural seperti sekarang, masyarakat perlu lebih cerdas memilah, bukan malah membuang satu institusi hanya karena ada bagian yang buruk.

Media sosial harus dikritisi karena tidak punya sistem tanggung jawab, dan media konvensional harus dikritik agar tidak tergelincir menjadi alat propaganda.

Tapi menyerahkan semua komunikasi publik kepada media sosial tanpa kontrol adalah bentuk keputusasaan yang bisa merugikan demokrasi dalam jangka panjang.

Pada akhirnya, demokrasi yang sehat memerlukan media yang sehat. Dan kesehatan media bukan hanya ditentukan oleh apakah ia konvensional atau digital, tetapi oleh sejauh mana ia menjunjung integritas, keterbukaan, dan keberpihakan kepada kebenaran.

Sebelum kita menghakimi media konvesionsl sebagai usang dan tidak relevan, mari kita lihat bahwa di balik hiruk-pikuk informasi hari ini, masih ada wartawan yang menulis dengan hati nurani, masih ada redaksi yang menjaga garis merah profesionalisme.

Merekalah yang harus kita dukung jika kita masih percaya pada demokrasi yang bermartabat.

Ditulis : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

            

Editor : Redaksi

LAINNYA