Dalam lanskap demokrasi yang makin terbuka, perdebatan antara intelektualitas dan kebermanfaatan praktis kerap mencuat ke permukaan.
Salah satu contoh menarik datang dari diskusi publik antara Rocky Gerung, seorang intelektual publik yang dikenal tajam dalam mengkritik kebijakan pemerintah, dan Dedi Mulyadi, tokoh politik Gubernur Jawa Barat yang kerap menampilkan pendekatan kultural dan populis dalam kepemimpinannya.
Kontroversi mencuat ketika Rocky Gerung mengkritik kebijakan Dedi Mulyadi yang melibatkan anak-anak muda dalam kegiatan barak militer, menyebutnya sebagai kebijakan yang "dangkal".
Namun, tanggapan Dedi Mulyadi tak kalah menggigit. Ia menyatakan bahwa lebih baik dianggap dangkal namun mampu memberi manfaat positif bagi orang lain, ketimbang pintar namun justru kerap menenggelamkan orang lain.
Pernyataan ini membuka ruang kontemplasi yang luas, apakah dalam politik dan kepemimpinan, intelektualitas harus selalu dikedepankan, ataukah kebermanfaatan praktis yang dirasakan langsung oleh masyarakat lebih utama?
Rocky Gerung, dengan latar belakang akademiknya, memosisikan diri sebagai pengawas moral dan intelektual atas kebijakan publik.
Kritik terhadap kegiatan militerisasi anak muda, dari kacamata Rocky, mungkin lahir dari kekhawatiran akan bangkitnya cara pikir otoriter atau pendekatan kekuasaan yang berorientasi pada kedisiplinan buta tanpa ruang diskursus kritis.
Pandangan ini sah dalam konteks demokrasi deliberatif. Pendidikan anak muda seharusnya mendorong kreativitas, kebebasan berpikir, dan partisipasi sipil, bukan justru melatih mereka dalam struktur yang rigid dan hirarkis seperti militer.
Namun, di sisi lain, Dedi Mulyadi mewakili wajah kepemimpinan yang membumi. Gagasannya membawa anak-anak muda ke barak militer bisa jadi berangkat dari keprihatinan terhadap dekadensi moral, lemahnya disiplin, dan makin lunturnya semangat bela negara di kalangan generasi muda.
Melalui pendekatan tersebut, ia ingin menyuntikkan nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap bangsa sejak dini.
Dalam konteks sosial yang kompleks seperti Indonesia—dengan masalah pengangguran, degradasi etika publik, hingga krisis identitas nasional—pendekatan pragmatis seperti ini memiliki tempat tersendiri.
Pernyataan Dedi bahwa lebih baik “dangkal namun bermanfaat” daripada “pintar tapi menenggelamkan” membuka perdebatan lain yang tak kalah penting.
Intelektualitas memang penting dalam proses perumusan kebijakan, namun jika intelektualitas itu hanya berhenti pada kritik tanpa kontribusi konkret di lapangan, ia bisa menjelma menjadi menara gading yang asing dari realitas masyarakat.
Intelektual yang tidak bersentuhan dengan denyut nadi rakyat bisa menjadi elitis, dan dalam kasus tertentu, justru memperkeruh suasana dengan retorika yang tajam namun nihil solusi.
Namun di titik inilah kita perlu berhati-hati. Kritik tidak selalu harus produktif secara langsung. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik intelektual berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial.
Ia mencegah penyimpangan kekuasaan, membongkar pretensi populis yang menyesatkan, dan menjaga akuntabilitas publik. Menyudutkan kritik intelektual sebagai bentuk “menenggelamkan” bisa membahayakan semangat berpikir kritis dalam demokrasi.
Di sisi lain, kebermanfaatan praktis seperti yang digambarkan oleh Dedi Mulyadi juga tidak bisa diremehkan. Seorang pemimpin politik, terlebih di daerah, tidak bisa hanya berteori. Ia dituntut untuk merumuskan program-program konkret yang menjawab kebutuhan masyarakat.
Dalam banyak kasus, program yang terkesan “sederhana” justru bisa berdampak besar. Sentuhan Dedi yang kerap menggunakan pendekatan budaya Sunda dan kearifan lokal dalam memimpin telah membuktikan bahwa tidak semua solusi harus berangkat dari laboratorium akademik. Dua pendekatan ini sesungguhnya tidak perlu dipertentangkan secara diametral. Intelektualitas dan kebermanfaatan praktis seharusnya bersinergi.
Kritik Rocky bisa menjadi alarm agar kebijakan seperti militerisasi anak muda tidak kehilangan ruh humanisme dan demokrasi. Sementara gagasan Dedi bisa menjadi contoh nyata bahwa nilai-nilai kedisiplinan dan cinta tanah air tidak melulu harus ditanamkan lewat ceramah di ruang kelas, melainkan bisa melalui pengalaman langsung dan pembiasaan.
Konflik wacana antara Rocky dan Dedi ini mencerminkan dinamika penting dalam demokrasi kita. Adanya ruang bagi perbedaan pandangan antara mereka yang berdiri di atas teori dan mereka yang berada di tengah-tengah praktik.
Keduanya punya tempat, keduanya punya fungsi. Namun yang lebih penting, keduanya harus sama-sama terbuka untuk mendengar satu sama lain. Dunia intelektual tidak bisa memonopoli kebenaran, sebagaimana dunia politik tidak bisa mengklaim sepenuhnya keberhasilan tanpa kritik.
Pemikiran tajam Rocky Gerung tetap dibutuhkan sebagai katalis evaluasi dan kontrol terhadap kekuasaan. Namun, pemimpin seperti Dedi Mulyadi juga penting karena menunjukkan bahwa politik bisa didekatkan pada rakyat lewat aksi nyata yang tidak selalu harus dibingkai dengan konsep-konsep besar.
Akhirnya, dalam masyarakat yang plural dan kompleks seperti Indonesia, sinergi antara kecerdasan dan kebermanfaatan menjadi kunci. Kita tidak perlu memilih antara menjadi “pintar” atau “bermanfaat”. Kita butuh keduanya. Seorang pemimpin ideal adalah mereka yang mampu berpikir kritis sekaligus peka terhadap kebutuhan rakyat.
Begitu pula seorang intelektual ideal adalah mereka yang tidak hanya mengkritik, tetapi juga hadir untuk membangun. Dialog seperti yang ditunjukkan oleh Rocky dan Dedi, selama dilakukan dengan itikad baik, justru menjadi vitamin penting bagi kesehatan demokrasi kita. Sebab dalam benturan ide, kita belajar menyaring yang terbaik untuk masa depan bersama.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi