JATIMKINI.COM, Di tengah mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045, negeri ini justru dihantui fenomena penuh tanda tanya, mengapa Sekolah Dasar Negeri makin ditinggalkan?
Pemandangan kosongnya bangku-bangku SD Negeri di Mojokerto, Jombang, Nganjuk hingga Samarinda bukan sekadar data statistik, melainkan potret getir arah pendidikan dasar kita.
Di Kabupaten Jombang, 47 SD Negeri mencatat pendaftar di bawah 10 siswa. Bahkan ada tiga SD yang tidak mendapatkan satu pun murid baru. Di Mojokerto, SDN Tawangrejo hanya menerima 10 siswa dari kuota 28. Sedangkan SDN Tampungrejo masih kekurangan empat siswa. Hal serupa terjadi di Nganjuk, dengan 60 SD Negeri nyaris tak tersentuh peminat.
Sebaliknya, sekolah swasta berbasis agama, baik yang berafiliasi pada ormas maupun yang bercorak pesantren urban dipenuhi antrean. Orang tua seolah berlomba menempatkan anak-anaknya dalam institusi religius. Ini bukan sekadar pilihan, melainkan ekspresi emosional dari masa lalu yang getir. Para orang tua yang “kehilangan masa kecil religius” kini “membalasnya” dengan cara ekstrem, menjadikan anak sebagai proyek penebusan dosa spiritual.
”Saya dulu tidak pernah diajari agama secara benar, akhirnya pergaulan saya bebas. Sekarang saya tidak ingin anak saya seperti itu,” ungkapan umum para orang tua murid.
Sayangnya, pendidikan yang dimotivasi dendam sejarah seperti ini justru menjauhkan kita dari visi Indonesia modern. Alih-alih mendorong anak menguasai ilmu pengetauan, teknologi, seni dan budaya, mereka malah dijejali program hafalan kitab suci yang kerap dibungkus jargon "karakter dan akhlak".
Padahal, dalam taksonomi Bloom, hafalan adalah tingkat kognitif paling rendah. Ia tidak menumbuhkan nalar kritis, tak memupuk daya imajinasi apalagi menyentuh urat logika yang sangat dibutuhkan anak-anak di masa depan. Kita seperti memaksa anak-anak Gen Z dan Alpha untuk belajar seperti generasi abad ke-7 menghafal mantra dan menjadikannya tolok ukur moral dan kecerdasan.
Talibanisasi Pendidikan
Fenomena ini memunculkan ironi besar. Kita ingin anak-anak kita secanggih Jepang dalam teknologi, seberadab Swiss dalam tata sosial, dan secerdas Finlandia dalam sistem pendidikan. Tapi cara yang kita tempuh? Metode Taliban. Hafalan, dogma dan pemisahan dari realitas dunia modern.
Dengan begitu perbandingan dengan negara-negara maju menjadi sangat mencolok. Finlandia tidak membebani anak-anak dengan PR atau hafalan. Mereka fokus pada joy of learning, kolaborasi, dan pemecahan masalah.
Jepang menanamkan kedisiplinan dan tanggung jawab sosial sejak dini, dengan integrasi kuat antara teknologi dan pendidikan karakter. Swiss membangun sistem vokasional yang kokoh, menyiapkan lulusan SD hingga SMA untuk langsung terjun ke dunia kerja dengan skill yang relevan.
Sementara di Indonesia, masih ada sekolah yang menjanjikan “surga” sebagai imbalan atas hafalan 30 juz Alquran, sementara lulusannya gagap menghadapi logika coding, analisis data, bahkan pengisian form digital.
Tak bisa dipungkiri, tren "keagamaan instan" saat ini menjadi semacam candu sosial. Dianggap solusi segala masalah, apakah ekonomi, percintaan hingga pendidikan. Lantas, sekolah-sekolah berbasis agama menjelma seperti supermarket spiritual yang menjual "jaminan surga" dengan kemasan seragam putih dan jargon "berbasis sunnah".
Sementara itu, sekolah negeri yang selama ini menjadi tumpuan pendidikan egaliter: murah, terbuka, berbasis kebangsaan, kehilangan daya tariknya. Tak ada branding, tak ada sensasi. Padahal, dari sinilah dulu lahir para guru besar, seniman besar, teknokrat juga presiden.
Indonesia akan menikmati bonus demografi dalam dua dekade mendatang. Tapi jika sistem pendidikan dasar salah arah, bonus ini akan berubah menjadi bencana sosial. Jutaan generasi muda tanpa skill, tanpa daya saing, hanya bermodal hafalan doa dan moralitas semu. Jika itu terjadi, bonus demografi akan jadi bencana.
Saat negara lain menyiapkan generasi dengan kecerdasan berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), kita justru menanamkan ilusi bahwa hidup cukup dengan dalil dan pahala. Ini bukan semata soal keyakinan, tapi arah perjalanan bangsa dan negara.
Rebranding SDN
Menghadapi fenomena yang tengah berlangsung pemerintah perlu segera melakukan:
Revitalisasi SD Negeri: Modernisasi fasilitas, peningkatan kualitas guru, serta inovasi kurikulum berbasis teknologi dan kreativitas.
Kampanye Kesadaran Publik: Menjelaskan kepada orang tua bahwa pendidikan berbasis agama bukan jaminan moral dan kesuksesan anak. Kolaborasi dengan Industri Digital: Hadirkan laboratorium coding, maker space serta pelatihan logika sejak dini.
Model Pendidikan Hybrid: Kombinasikan pendidikan karakter dengan literasi digital dan kecakapan hidup. Indonesia tak akan bisa menjadi negara maju dengan cara berpikir masyarakat feodal dan pendidikan abad pertengahan. Kita butuh anak-anak yang melek teknologi, berpikir kritis, dan mampu memecahkan persoalan nyata. Bukan generasi yang hanya piawai melafalkan mantra tanpa mengerti makna, tafsir, filosofi maupun logikanya.
Jika pendidikan dasar salah urus, jangan harap Indonesia Emas. Yang ada malah Indonesia Lemas. Yang tenggelam dalam lautan dogma lalu berhalu tentang surga.
Editor : Ali Topan