Indonesia Emas 2045 tampaknya sedang dirancang seperti membangun istana pasir tepi laut - indah dalam imajinasi, namun mudah runtuh saat diterpa realita. Salah satu pondasi yang digadang-gadang menopang cita-cita mulia ini adalah pendidikan. Sayangnya, pola pendidikan kita saat ini lebih mirip upacara keagamaan ketimbang laboratorium masa depan. Maka pantaslah jika kita bertanya, apakah ini jalan menuju kejayaan atau hanya jalur cepat menuju kebingungan nasional?
MABUK HAFALAN
Mari kita mulai dengan satu ironi pahit, bagaimana mungkin kita berharap lahirnya generasi yang cakap di bidang teknologi dan sains dua pilar masa depan dunia melalui metode pendidikan yang memuliakan hafalan doa dan surat-surat kitab suci di ruang kelas?
Dalam perspektif neurosains, hafalan adalah aktivitas otak paling rendah dalam hierarki kognitif. Kognitif adalah seluruh aktivitas mental yang melibatkan proses berpikir, belajar dan memahami. Namun di negeri ini justru para penghafal Quran diganjar tiket emas masuk universitas teknologi tanpa harus membuktikan kompetensi dalam kalkulus, fisika kuantum atau AI. Apa korelasi antara surah Al-Mulk dengan rekayasa bioteknologi atau kriptografi, ilmu dan praktik menjaga kerahasiaan pesan atau informasi dengan mengubahnya menjadi format yang tidak dapat dibaca oleh pihak yang tidak berwenang.
Jika ini bukan bentuk penghinaan terhadap ilmu pengetauan maka barangkali kita memang sedang hidup di era post-truth pendidikan.
Lihatlah negara-negara yang tenggelam dalam euforia religius formalistik seperti Afghanistan, Pakistan, Yaman bahkan sebagian wilayah Iran. Mereka tampak religius tapi bagaimana skor mereka dalam inovasi teknologi? Dalam penguasaan AI, energi terbarukan, rekayasa genetika, atau literasi digital? Nihil. Mereka punya banyak tempat ibadah, tetapi sedikit pusat riset. Banyak hafidz tapi minim penemu. Banyak doa, tapi minim data. Demikian jawaban mengapa negara agamis tertinggal?
Bandingkan dengan China dan Jepang, negara tanpa agama formal tapi sukses mencetak robot antropomorfik dan mobil masa depan. Atau Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia yang justru mengurangi jam sekolah demi memberi ruang pada eksplorasi dan kreativitas. Apa kesamaannya? Mereka tidak menjadikan agama sebagai kurikulum inti apalagi syarat masuk perguruan tinggi teknologi.
Pertanyaannya, Indonesia mau meniru yang mana?
Abdul Mu'ti sebagai Mendikdasmen memang layak dikritik keras. Ia tidak sedang memimpin kementerian takmir masjid melainkan kementerian pendidikan nasional. Tugasnya bukan menyelamatkan pahala akhirat siswa melainkan masa depan Indonesia yang realistis dan kompetitif.
Jika Abdul Mu'ti gagal merumuskan kebijakan yang berpihak pada pengembangan teknologi, sains dan soft skill abad 21 maka dia harus siap dicatat sejarah sebagai aktor utama kegagalan proyek "Indonesia Emas", dan sah untuk disalahkan karena menyangkut nasib bangsa dan negara ke depan.
Anggaran pendidikan kita terbesar di antara pos lainnya. Tapi hasilnya? Guru vokasi tidak kompeten, jurusan sekolah kejuruan dibuka demi proyek, bukan kompetensi. Output-nya adalah lulusan menganggur dengan ijazah tanpa isi. Apa ini bukan kegagalan sistemik?
Pendidikan yang mengajarkan siswa untuk fokus pada “tabungan akhirat” sejak bangku SD adalah bentuk kekeliruan strategis. Kita tidak sedang hidup 2000 tahun lalu di padang pasir. Kita berada di zaman neural network - model komputasi yang meniru cara kerja otak manusia dalam memproses informasi - bukan zaman unta dan karavan.
Tidak ada satu pun testimoni manusia yang kembali dari kematian membawa kabar tentang "fasilitas kehidupan sesudah mati". Tetapi ada ribuan jurnal ilmiah yang memaparkan bagaimana ilmu pengetahuan mampu menyelamatkan dunia dari krisis energi, pangan maupun iklim.
Jadi, apakah masuk akal jika kita lebih sibuk menyiapkan siswa untuk akherat daripada untuk survive di tengah kompetisi global?
Jika pola pendidikan kita terus meniru Taliban dengan sentuhan digital maka jangan harap generasi 2045 secerdas anak-anak Swiss atau Korea Selatan. Kita akan melahirkan generasi yang fasih berbicara soal pahala tapi gagap dalam coding. Generasi yang khusyuk saat ujian agama tapi kosong saat uji kompetensi global. Generasi yang patuh, tapi tidak berpikir. Ini sangat berbahaya.
Sudah saatnya kita menata ulang orientasi pendidikan nasional. Fokus pada pembangunan otak bukan sekadar penyucian hati. Karena di abad ini, negara yang unggul bukan yang paling banyak hafalan tapi yang paling cakap berinovasi.
Jika tidak, sebagaimana yang penulis saksikan: Mendikdasmen beserta para penentu kebijakan akan menanggung dosa sejarah. Dosa itu tak bisa ditebus dengan sejuta kata maaf apalagi dengan retorika surga yang belum pernah kita saksikan sendiri.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi