Reporter : Rochman Arief
JATIMKINI.COM, Konflik di Timur Tengah yang mulai mereda berpotensi mengancam stabilitas rantai pasok global. Berdasarkan pengalaman sebelum-sebelumnya, gencatan senjata bisa bersifaat sesaat, dan sewaktu-waktu berpotensi memunculkan konflik baru.
Bagi Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jawa Timur, Sebastian Wibisono, eskalasi ini bukan sekadar isu regional, melainkan persoalan serius yang bisa memukul distribusi logistik dunia, termasuk Indonesia.
“Kalau konflik ini benar-benar berlanjut, dampaknya tidak bisa dihindari. Harga pasokan pasti terdorong naik. Begitu perang pecah, pasar langsung panik. Kemarin saham sempat jatuh, suku bunga bergejolak, dan harga minyak melonjak,” ujar Sebastian kepada jatimkini.com, Selasa (2/7/2025).
Konflik yang melibatkan Iran dan Israel sempat membuat pelaku usaha di penjuru bumi mengernyitkan dahi. Setidaknya strategi Iran tidak semata-mata serangan militer, tapi juga serangan ekonomi. Salah satu langkah yang dikhawatirkan adalah potensi penutupan Selat Hormuz, jalur vital bagi sekitar sepertiga distribusi minyak dunia.
“Kalau Selat Hormuz sampai ditutup, harga minyak pasti terbang tinggi. Ini belum kejadian, baru wacana saja, tapi dampaknya sudah terasa. Efek dominonya besar. Rantai pasok langsung terguncang. Bukan hanya sektor maritim, tapi jua industri yang sempat terganggu. Dampaknya bisa menggangggu distribusi barang,” jelasnya.
Sebastian menambahkan, gejolak seperti ini memaksa perusahaan pelayaran menghitung ulang risiko. “Nilai asuransi kapal otomatis naik, biaya freight pasti mengikuti. Mereka akan bargaining ulang soal polis asuransi. Ini problem nyata dalam rantai pasok, apalagi lokasinya di jantung Asia Pasifik,” kata dia.
Indonesia tidak akan kebal. Impor dari Eropa dan Amerika Serikat dipastikan ikut terganggu. Ia mencontohkan impor barang dari Eropa ke Asia dengan muatan barang konsumsi maupun industri bisa terganggu.
“Banyak shipping yang memilih berhenti atau menunda keberangkatan. Kemarin kita melihat sejumlah penerbangan sipil ke kawasan Timur Tengah sempat berhenti,” Wibi, sapaannya, menambahkan.
Baginya, perang yang berkepanjangan hanya memperpanjang tersumbatnya rantai pasok. Dampak lain adalah situasi ekonomi yang bisa melambat. Ia mencontohkan Israel yang mengalami defisit pada Mei 2025 sebesar USD3.225,70 juta, menurut economic trading. Lembaga yang sama mencatat ekspor Israel turun 2,3 persen, sedangkan impor naik 5,2 persen.
“Kalau perang berlanjut, siapa yang untung? Pastinya rakyat yang menderita, karena kebutuhan konsumsi tersumbat, dan harganya naik. Kita berharap situasi segera membaik, jangan sampai berkepanjangan,” tegasnya.
Sebastian mengingatkan, meski untuk saat ini rantai pasok global belum benar-benar lumpuh, kondisinya sangat rentan. Terlebih situasi tahun ini jauh lebih kompleks dibandingkan tahun 2022.
Sebastian juga mewanti-wanti efek jangka panjang. Jika konflik terus bergejolak, anggaran negara-negara yang terlibat perang akan terserap untuk belanja militer. “Duitnya habis untuk perang, bukan untuk pembangunan,” ia memungkasi.
Bagi pelaku industri, rantai pasok bukan lagi sekadar jalur logistik. Ia kini menjadi arena pertarungan geopolitik yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi titik krisis baru.
Editor : Rochman Arief