Reporter : Redaksi
Artikel yang menyorot pernyataan Dedi Mulyadi yang tidak lagi bergantung pada media konvensional tampaknya ingin tampil heroik membela demokrasi. Sayang, di balik narasi normatif itu memantik kritik atas sistem media yang sedang kehilangan legitimasi.
Mari buka data. Menurut sumber di Dewan Pers, lebih 60.000 media online yang tercatat di Indonesia, hanya sekitar 1.500 yang terverifikasi secara administratif dan faktual. Artinya, lebih dari 97% media online di negeri ini tidak jelas manajemennya, belum pasti penguasaan kode etiknya juga belum tentu memiliki wartawan yang kompeten.
Kalau begitu, apakah yang dimaksud sebagai “pilar demokrasi” itu adalah bangunan raksasa dari batu bata palsu?
Alih-alih menyalahkan Dedi Mulyadi yang memilih berbicara langsung ke publik melalui media sosial, dunia pers seharusnya mawas diri atas keruntuhan moral dan profesionalismenya sendiri. Hari ini, banyak media menjelma menjadi “toko berita”. Apa pun bisa tayang selama ada dana. Konfirmasi dijalankan setengah hati, keberimbangan tidak diperhatikan dan independensi tergadai dalam paket advertorial. Apa ini media yang harus dibela?
Ilmuwan Fritjof Capra dalam gagasannya tentang titik balik peradaban menyebut, bahwa setelah tahun 2000, dunia memasuki era perubahan paradigma besar. Sistem lama, termasuk cara kerja media, tak lagi relevan bila tidak menyesuaikan diri. Nyatanya banyak media konvensional masih hidup dalam nostalgia masa lampau, menolak kenyataan bahwa masyarakat kini lebih percaya kepada suara langsung, meski datang dari platform yang dianggap “tidak beretika.”
Lalu muncul argumen klasik: “Media sosial itu berbahaya, penuh hoaks, tak ada kode etik.” Ya, betul. Tapi bukankah sebagian besar media sekarang juga kerap menyajikan informasi tak akurat, bahkan ikut menyebar hoaks karena terburu mengejar traffic? Bukankah klik dan viralitas kini jadi dewa baru redaksi?
Jadi, jika medsos disebut "tak bisa dipertanggungjawabkan", media konvensional pun harus rela disamakan, karena telah menyerupai apa yang dulu mereka kutuk.
Lihatlah kasus-kasus di luar negeri. Di Amerika Serikat, media besar seperti CNN dan Fox News justru memperparah polarisasi politik dengan framing tajam dan bias. Kepercayaan publik pun merosot tajam. Rakyat mencari alternatif di media sosial meski lebih bising dan tak terkendali. Karena setidaknya mereka merasa suaranya didengar langsung, bukan dimonopoli oleh narasi elite.
Dedi Mulyadi memilih jalur itu. Bukan karena dia anti-media tapi karena media yang ada tidak lagi meyakinkan sebagai mitra komunikasi yang jujur dan sehat. Maka tuduhan “otoriter” terhadap Dedi terasa absurd. Apakah komunikasi langsung dengan rakyat kini disebut otoriter? Atau ini cuma reaksi kesal media yang kehilangan panggung?
Yang paling menyedihkan: para pemilik media pun tak banyak yang peduli memperbaiki diri. Malah lebih sibuk mengail dana iklan pemerintah atau menyulap narasi kampanye. Wartawan lokal yang idealis pun banyak yang tumbang, kalah oleh “wartawan dadakan” yang hanya bermodal ID Card cetakan sendiri. Lantas, apakah demokrasi bisa bertumpu pada media semacam ini?
Jawabannya: tidak. Demokrasi yang sehat butuh media yang sehat. Tapi jika medianya sedang sakit dan masyarakat sudah jengah, maka wajar jika medsos menjadi alternatif meski tidak sempurna. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan soal siapa bicara dari mana tapi siapa yang bicara jujur dan bertanggung jawab.
Maka sebelum menyalahkan Dedi Mulyadi, media harus bercermin lebih dulu. Jangan sampai terjebak dalam ilusi tentang “penjaga demokrasi”. Padahal yang dijaga hanyalah sisa-sisa kredibilitas yang kian menipis.
Kalau tidak ingin digantikan oleh algoritma dan influencer, media harus membersihkan dirinya sendiri. Profesionalkan wartawan. Tegakkan kode etik, bukan sekadar dipajang di website. Hentikan jual-beli berita. Baru setelah itu bicara soal “fungsi kontrol kekuasaan.”
Sejauh ini yang tampak justru media sakit yang lahir dari masyarakat sakit yang marah karena tak lagi dipercaya.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi