Tanggal 22 Juni 2025 mencatat sebuah titik panas dalam sejarah hubungan internasional dan ketegangan domestik Amerika Serikat. Perintah Presiden Donald Trump untuk membombardir tiga fasilitas nuklir Iran tanpa persetujuan Kongres memicu badai politik di dalam negeri dan membuka kembali perdebatan lama tentang batas kekuasaan eksekutif di negeri Paman Sam.
Langkah ini langsung disambut dengan kecaman tajam dari Partai Demokrat, terutama oleh tokoh progresif Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) yang menyerukan pemakzulan. Dalam pernyataan kerasnya di media sosial, AOC menyebut langkah Trump bukan hanya keputusan impulsif, tetapi juga pelanggaran terang-terangan terhadap Konstitusi AS yang mengatur otorisasi perang sebagai kewenangan Kongres, bukan presiden secara tunggal.
Langkah Trump tersebut menjadi manifestasi terbaru dari gaya kepemimpinannya yang selama ini dikenal kontroversial, keras kepala, dan kerap mengabaikan norma-norma institusional. Dalam pandangan banyak pengamat, serangan ini bukan semata-mata reaksi militer terhadap ancaman nuklir, tetapi juga cermin dari pola lama Trump: mengedepankan aksi cepat yang memukau publik, tetapi minim kalkulasi strategis jangka panjang.
Sosiolog politik dari Jerman, Klaus Neumann, menyebut gaya Trump sebagai “populisme militeristik” yakni perpaduan antara retorika populis dengan aksi sepihak yang berpotensi menciptakan eskalasi konflik. Reaksi keras dari anggota Kongres seperti Sean Casten dan Hakeem Jeffries memperlihatkan adanya kekhawatiran nyata bahwa presiden telah bertindak di luar batas kewenangannya.
Casten menegaskan bahwa meskipun Iran adalah ancaman nyata, tidak ada pembenaran konstitusional untuk mengebom negara yang tidak menyerang terlebih dahulu tanpa otorisasi legislatif. Ini bukan sekadar soal politik partisan. Ini adalah soal prinsip tata negara. Dalam sistem demokrasi yang sehat, mekanisme checks and balances harus dijaga.
Ketika presiden merasa dapat melancarkan serangan militer tanpa pengawasan, maka demokrasi mulai kehilangan napasnya. Sejarah Amerika tidak asing dengan presiden yang melancarkan aksi militer sepihak. Bill Clinton pernah menyerang Sudan dan Afghanistan. Barack Obama meluncurkan operasi di Libya. Trump sendiri saat menjabat periode pertama sempat memerintahkan pembunuhan Jenderal Iran, Qassem Soleimani, tanpa otorisasi kongres.
Namun serangan pada 2025 kali ini terjadi dalam konteks global yang jauh lebih rapuh, di tengah ketegangan geopolitik yang sudah membara. Serangan ke fasilitas nuklir Iran bukan hanya menciptakan instabilitas regional, tetapi juga berpotensi memicu Perang Dunia Ketiga jika Iran dan sekutunya membalas dengan kekuatan penuh.
Di sisi lain, Wakil Presiden JD Vance membela habis-habisan langkah Trump. Menurutnya, presiden memiliki kewenangan untuk bertindak dalam rangka mencegah penyebaran senjata pemusnah massal.
Pernyataan ini mengingatkan publik pada argumen klasik dari era invasi Irak tahun 2003, ketika Presiden George W. Bush melancarkan perang dengan dalih yang sama. Namun, seperti banyak pengamat catat, pembenaran semacam itu seringkali menjadi tameng untuk tindakan yang pada dasarnya melanggar norma hukum internasional.
Gaya kepemimpinan Trump sejak awal memang tidak mengikuti pola konvensional. Ia lebih mengandalkan insting ketimbang analisis intelijen yang matang. Banyak kritik menganggap gaya ini sebagai kekuatan karismatik yang berbahaya. Profesor Francis Fukuyama menyebut Trump sebagai “simbol kehancuran rasionalitas birokratik” di era modern, karena kerap mengambil keputusan besar tanpa memperhatikan prosedur atau lembaga yang seharusnya menjadi penyeimbang.
Dalam konteks serangan ke Iran, tindakan Trump seolah menegaskan kembali bahwa ia melihat sistem sebagai beban, bukan sebagai fondasi negara. Kritikus internasional seperti mantan diplomat Swedia Carl Bildt juga mengecam keras langkah tersebut.
Menurutnya, langkah sepihak seperti itu hanya akan memperkuat argumen negara-negara otoriter bahwa sistem demokrasi Barat sendiri kerap mengabaikan hukum internasional ketika merasa terancam. Ini menurunkan posisi moral Amerika di mata dunia.
Kecenderungan Trump untuk bertindak dengan gaya “strongman” telah lama menjadi perhatian dunia. Ia membangun persona sebagai pemimpin yang “tidak akan tunduk pada siapa pun,” termasuk lembaga negaranya sendiri.
Dalam pidato-pidato publik, Trump kerap menekankan bahwa ia bertindak demi “keselamatan rakyat Amerika,” padahal banyak keputusan strategisnya malah memperburuk posisi geopolitik AS.
Serangan ke Iran adalah bukti nyata bahwa ketika arogansi pribadi bercampur dengan kekuasaan militer, maka hasilnya adalah kekacauan global yang sulit dibendung. Meski Trump memiliki pendukung fanatik yang melihat dirinya sebagai penyelamat Amerika dari kelemahan era sebelumnya, namun dampak kebijakan luar negeri yang diambil secara sepihak jelas menimbulkan ancaman jangka panjang.
Amerika kini menghadapi risiko perang yang tidak hanya mahal secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan reputasi.Kita tengah menyaksikan babak baru dalam sejarah Amerika, di mana pemakzulan bukan hanya persoalan legal, tetapi juga persoalan moral.
Ketika presiden mengambil langkah yang bisa mengubah arah sejarah dunia tanpa keterlibatan rakyat melalui wakil-wakilnya di Kongres, maka demokrasi benar-benar berada di ujung tanduk. Bukan Iran yang menjadi masalah utama dalam peristiwa ini, melainkan bagaimana seorang presiden, dengan seluruh kekuasaan yang ada padanya, mampu menabrak batas konstitusi dan hukum internasional demi sebuah aksi sepihak yang penuh risiko.
Dan ketika dunia bertanya-tanya ke mana arah kepemimpinan Amerika, jawaban itu akan bergantung pada apakah sistem Amerika cukup kuat untuk mengoreksi jalannya sendiri sebelum terlambat.
Ditulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi