x
x

Pemerintahan Surapringga Sebelum Kota Surabaya

Kamis, 29 Mei 2025 10:57 WIB

Reporter : Redaksi

DALAM Babad Ngampeldenta yang manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo, Jogjakarta nomor PBA 200 dikisahkan tentang cikal bakal pemerintahan di Surabaya.

Pada manuskrip yang dialihhurufkan oleh Dr.Th.Pigeaud tahun 1939 itu disebutkan tentang Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel sebagai orang pertama yang “berkuasa” di Surabaya dengan pusat pemerintahan di dukuh Ngampel atau Ampel.

Berdasarkan manuskrip yang dialihhurufkan oleh Th.Pigeaud atas permintaan Directeur van Onderwijs en Eredienst itu disebutkan warga yang yang menjadi pengikut Raden Rahmat berjumlah 800 keluarga atau somah. Semua pengikut Raden Rahmat berasal dari  pusat pemerintahan Majapahit di sekitar Mojokerto. Keluarga yang pindah ke dukuh Ampel Surabaya itu semuanya beragama Islam. Mereka adalah, orang-orang yang mendapat restu dari raja Majapahit untuk berpindah agama dari Hindu ke Islam.

Sebuah catatan pada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumagi Demak Pungkasan disebutkan tentang ditempatkannya Raden Rahmat oleh raja Majapahit di dusun Ngampeldenta. Pada manuskrip asli yang disimpan di Reksopustoko, Solo, setelah dialihhurufkan oleh Martodarmono tahun 1988, dinyatakan bahwa Raden Rahmat diberi gelar Sunan Ngampeldenta.

Para ahli sejarah belum ada yang sepakat menentukan tahun berpindahnya Raden rahmat ke Ngamepldenda atau Ngampelgadhing. Kalau tahun itu berdasarkan akhir masa kejayaan Majapahit, yaitu zaman Raja Brawijaya V yaitu Kertabumi, berarti sekitar pertengahan abad 15 atau sekitar tahun 1440.

Dalam buku Jejak Kanjeng Sunan yang diterbitkan Yayasan Festival Walisongo tahun 1999, halaman 41, disebutkan: Kedatangan Sunan Ampel di Jawa dan kapan beliau wafat, agaknya masih memerlukan penelitian dan kajian yang mendalam dan saksama.

Penetaapan haul Sunan Ampel yang menjadi tradisi sejak 1999 perlu ditinjau kembali. Sebab, pada tahun 1999 itu, dinyatakan sebagai haul atau tahun wafat Sunan Ampel ke 549. Berarti Sunan Ampel wafat tahun 1450.

Padahal dalam Babad Para Wali Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajad disebutkan tahun 1450 itu lahirnya Machdum Ibrahim. Sedangkan Machdum Ibrahim punya adik bernama Raden Qasim. Penempatan raden Qasim sebagai imam agama Islam di Drajat adalah Sunam Ampel. Nah, tentu tahun haulnya Sunan Ampel ini perlu ditinjau kembali. Tentu tidak mungkin seorang yang sudah wafat, bisa mengangkat imam.

Regent Surabaya

Pemerintahan resmi di Surabaya awalnya berbentuk kabupaten aatau regent. Namanya, bukan Kabupaten Surabaya, tetapi Kabupaten Surapringga. Surapringga adalah nama lain untuk Surabaya, tetapi kurang popular.

Ada suatu sumber informasi yang cukup menarik dan menggelitik yang agaknya perlu dicermati berkaitan dengan Surapringga ini. Dalam sejarah Regent Surabaya itu, urut-urutan pejabat regent atau bupati di Surapringga tertata bagus. Runtut tidak terputus, bagaikan silsilah jabatan sejak berdirinya Kabupaten Surapringga sampai kepada bupati ke 29 tahun 1893.

Informasi itu terdapat pada buku karya Akhudiat  “Masuk Kampung Ke Luar Kampung – Surabaya Kilas Balik”, Henk Publika 2008. Di bagian akhir yang disebut sebagai lampiran, pada halaman 124 sampai 127 itu, disajikan tulisan tentang Sejarah Regent Surabaya. Tetapi, amat disayangkan, Akhudiat tidak menyertakan tahun masa pemerintahan para regent atau bupati Surapringga atau Surabaya itu.

Pada bagian paling akhir bukunya, halaman 127, Akhudiat menyebut sumber sejarah Regent Surabaya (Br 474)  dari Arifin, Winarsih Partaningrat, 1995, Babad Blambangan, Jogjakarta: Ecole Francaise-Orient; Bentang Budaya, hlm 293-297.

Uniknya, jabatan regent atau bupati Surabaya yang pertama disebutkan Kanjeng Sunan Ngampel Denta. Namun tidak dijelaskan bagaimana proses pengangkatannya tersebut. Sebab, selama ini, dari berbagai buku sejarah, kedudukan Sunan Ampel di Surabaya adalah sebagai guru dan penyebar agama Islam. Kendati demikian, karena urut-urutan nama pejabat itu seterusnya  dapat diterima dan masuk akal, ada baiknya kita ketahui untuk lebih diperdalam.

Sunan Ngampel

Urut-urutan penguasa Surapringga atau Surabaya diawali oleh Kanjeng Sunan Ngampel Denta yang bernama Pangeran Raden Rahmat dan dijuluki Syeh Makdum. Memang tidak dijelaskan, tahun berapa Sunan Ngampel tersebut menduduki jabatannya. Namun disebutkan berikutnya, Sunan Ngampel wafat dan dimakamkan di Ngampel, Surabaya.

Pemegang pemerintahan ke dua adalah Pecat Tondya Terung, yang kemudian digantikan oleh puteranya Pangeran Tudhung Musuh sebagai penguasa ke tiga di Surapringga.

Pangeran Tundhung Musuh wafat di Awar-awar Sedayu, Gresik dan digantikan oleh puteranya Pangeran Harya Lena yang berkedudukan di desa Rangkah. Menurut Akhudiat kepada penulis, Pangeran Harya Lena ini juga dijuluki sebagai Adipati Rangkah.

Setelah wafat Adipati Rangkah ini digantikan oleh puteranya Pangeran Jabuk yang berkedudukan di desa Kates. Berikut setelah Jabuk wafat, ia digantikan  oleh puteranya Pangeran Wonokromo yang bertakhta di desa Wonokromo dan Pangeran Wonokromo juga mewariskan pemerintahan Surabaya kepada puteranya Panembahan Rama yang berkedudukan di Desa Tombok dan dimakamkan di Ngempel. Seterusnya juga demikian, setelah Panembahan Rama  wafat ia diganti puteranya Pangeran Surataya yang juga berkedudukan dan dimakamkan di Ngampel.

Sistem peraklihan jabatan berubah. Setalah Pangeran Surataya wafat, yang menggantikan adalah adiknya Pangeran Sunjaya. Dia ini bukan orang Surapringga, tetapi masih keturunan ke delapan Kanjeng Sunan Ngampel. Kekuasaan kemudian beralih ke tangan Pangeran Pekik, putera Panembahan Kediri. Ia masih cicit canggah Pangeran Demak terakhir.

Setelah wafat ia digantikan Umbul Sawelas. Sebutan ini diperuntukkan bagi penguasa yang terdiri sebelas orang berasal dari Surakarta yang berkuasa di Surapringa. Ke sebelas orang itu adalah: 1.Ariya Kertasana, 2.Ki Nasraya, 3.Demang Singayuda, 4.Rangga Patracana, 5.Ki Naladita, 6.Ki Neter, 7.Ki Surdipa, 8.Ki Pulangjiwa, 9.Ki Silingsingan, 10.Ki Demang Tanujaya dan 11.Ki Tandya Jamudra.

Pemerintahan Kabupaten Surapringga kemudian beralih ke tangan Raden Trunojoyo dari Sampang. Setelah wafat ia digantikan puteranya Jaka Brondong yang dijuluki Ki Ageng Lanang Dhangiran, di Botoputih Surabaya. Memang, dalam Sejarah Regent Surabaya Br.474, Lanang Dhangiran dikaitkan dengan Trunojoyo, bukan dengan Tawang Alun di Blambangan.

Usai pemerintahan Ki Ageng Lanang Dhangiran, kekuasaan di Surabaya dipegang Ki Anggawangsa atau Ki Tumenggung Jangrana. Setalah wafat digantikan puteranya Ki Adipati Panatagama. Ia wafat di Laweyan Kertasura, lalu digantikan oleh adiknya bernama Ki Anggawangsa.

Kesepuhan dan Kanoman

Kekuasaan di Surapringga kemudian dipimpin oleh dua orang bupati, Kesepuhan dan Kanoman. Dua jabatan bupati itu diciptakan oleh Kanjeng Sunan Mangkubuwana Sinuhun Puger.

Kantor bupati Surabaya pun menjadi dua dengan tempat terpisah. Bupati Kasepuhan, bertempat di kantor Kantor Pos Besar Jalan Keburojo sekarang, menghadap ke alun-alun. Alun-alun itu adalah lahan tempat berdirinya gedung bank Indonesia dan taman Tugu Pahlawan sekarang. Waktu itu, belum ada tanggul jalan kereta api. Sedangkan bupati Kanoman, terletak di pinggir Kalimas, yang sekarang dikenal dengan gedung Kebudayaan “Cak Durasim” di Jalan Gentengkali.

Bupati urutan ke 15 dari Kesepuhan dijabat oleh Ki Tumenggung Ariya. Bupati Kanoman pertama atau ke-1, dijabat oleh Ngabehi Wiradirja yang dijuluki Tumenggung Panji Jayapuspita Jangrana yang gugur dalam peperangan.

Ki Tumenggung Ariya diganti Ki Tumenggung Suryawinata, priyayi magang dari Kertasura sebagai bupati Kasepuhan ke-16. Ia wafat di Surapringga, lalu digantikan oleh Ki Tumenggung Suradirana sebagai bupati Kasepuhan ke-17. Untuk bupati Kanoman ke-2 dijabat oleh Ki Tumenggung Sastrawinata. Ia dipercaya menggantikan Ngabehi Wiradirja. Namun priyayi dari Madura ini hanya menjabat dua tahun. Kemudian iapun  diganti oleh Ki Tumenggung Secadirana, priyayi asal Jepara untuk jabatan bupati Kanoman ke-3.

Sawunggaling

Jabatan bupati Kasepuhan ke-18 dilanjutkan oleh Ki Tumenggung Surengrana. Bersamaan dengan ini, untuk Kanoman ke-4 dijabat oleh Ki Tumenggung Sastranegara, asli dari Surapringga. Dia ini adalah cucu Ki Tumenggung Jangrana atau Ki Tumenggung Anggawasa.

Setelah dilengserkan ia digantikan putranya yang bernama Sawunggaling. Sama dengan pejabat lainnya sebagai kepala pemerintahan, Sawunggaling mendapat anugerah nama kebesaran, yakni  Raden  Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.

Semula diperoleh informasi bahwa ayahanda Sawunggaling, Ki Tumenggung Jangrana gugur dalam peperangan dengan pihak kompeni Belanda. Ternyata ia bersembunyi di Ponorogo. Namun, persembunyiannya diketahui mata-mata Belanda, dan Jangrana sempat lari ke Semarang. Akhirnya ia ditangkap dan dibuang ke Selong atau Ceylon, Srilanka.

Dari uraian singkat di atas ada hal yang cukup menarik untuk dikaji. Selama ini cerita di Surabaya  tentang Adipati Jayengrono dan Sawunggaling sudah melegenda. Tetapi dari cuplikan singkat di atas, ada sekilas info tentang Ki Tumenggung Jangrana yang tidak lain adalah sama dengan Adipati Jayengrono.

Selain disebut asli dari Surapringga yaitu nama lain dari Surabaya, juga mengenai puteranya yang bernama Sawunggaling. (Baca di bagian lain buku ini: tentang  Adipati Jayengrono dan Babad Surabaya, serta Sawunggaling Tokoh Legendaris Surabaya)

Berikutnya bupati Surapringga ke-19 dijabat oleh Ki Tumenggung Secanegara. Saat bersamaan bupati Kanoman  ke-5 dipegang oleh Ki Tumenggung Panji Natapura, putera Cebolang yang sebelumnya bernama Ngabehi Wirasraya. .Jabatan Kanoman ke-6 berikutnya diserahkan kepada Tumenggung Endranata. Namun ia hanya memerintah tiga bulan saja, karena kekuasaannya direbut melalui melalui kudeta oleh bupati Kasepuhan Tumenggung Secanegara. Tumenggung Endranata yang berasal dari Kertasura itu, kemudian kemudian pindah ke Semarang.

Ki Tumenggung Secanegara meneruskan masa jabatannya sebagai bupati Kasepuhan ke-21 dengan nama Ki Tumenggung Secanegara Wirasraya. Habis masa jabatannya, jabatan bupati Kasepuhan ke-22 dijabat oleh Ki Tumenggung Tjondronegoro. Untuk bupati Kanoman ke-7 dipercayakan kepada Ki Tumenggung Jayadirana.

Bupati Kasepuhan dengan bupati Kanoman ini kakak beradik sama-sama putera dari Ki Tumenggung Anggajaya yang saat itu menjabat di Pasuruan. Dia ini juga sebagai kemenakan  Ki Tumenggung Jangrana.

Setelah Ki Tumenggung Tjondronegoro wafat, ia  diganti oleh Raden Tumenggung Tjokronegoro sebagai bupati Kasepuhan ke-22. Sedangkan Ki Tumenggung Jayadiprana digantikan oleh Mas Tumenggung Panji Jayadirana sebagai bupati Kanoman ke-8.

Raden Tumenggung Tjokronegoro yang wafat,  digantikan oleh Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro sebagai bupati Kasepuhan ke-23 dan bupati Kanoman ke-8 tetap dijabat oleh Mas Tumenggung Panji Jayadirana..

Pemerintahan Kabupaten Surapringga kemudian dilanjutkan oleh Tumenggung Ripni yang berganti nama menjadi Raden Tumenggung Kramajayadirana sebagai bupati Kasepuhan ke-24. Dia ini adalah putera dari Kiai Ngabei Kramawijaya yang menjadi patih Kanoman yang juga kemenakan dari Mas Tumenggung Panji Jayadirana, bupati Kanoman.

Setelah Mas Tumenggung Panji Jayadirana wafat, jabatan bupati Kanoman sekaligus dirangkap oleh Raden Tumenggung Kramajayadirana

Tanpa Kanoman

Jabatan bupati berikutnya diserahkan kepada adiknya, Raden Adipati Kramajaya Adinegara yang saat itu menjadi bupati di Bangil.

Sejak bupati ke-25 ini, sistem pemerintahan di Kabupaten Surapringga dikembalikan kepada seorang bupati, tanpa Kanoman. 

Setelah empat tahun menjabat, Raden Adipati Kramajaya Adinegara diganti oleh Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro mantan bupati Kasepuhan ke-23. Putera Raden Adipati Panji Tjokronegoro ini memerintah selama delapan tahun lebih.

Jabatan bupati ke-27 diserahterimakan kepala Raden Tumenggung Kramajayadirana, mantan bupati Kasepuhan ke-24. Ia diangkat tahun 1837 dan naik pangkat dengan nama kehormatan Raden Adipati Kramajaya Adinegara. Pada tahun 1859 jabatannya berakhir dan   digantikan oleh puteranya sendiri Raden Tumenggung Surya Adikusuma sebagai bupati ke-28.

Sejak tahun 1859 ini, Sidoarjo dipisahkan dari Kabupaten Surapringga dan berdiri sendiri menjadi Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian Kabupaten Surapringga tinggal dua wilayah, Surabaya dan Gresik.

Raden Tumenggung Suryaadikusuma kemudian dianugerahi nama Raden Tumenggung Kramajayadirana. Dia memerintah Kabupaten Surabaya hingga tahun 1862.

Jabatan bupati Surapringga dilanjutkan oleh Raden Tumenggung Panji Pramuwijaya. Dia adalah  putera dari Raden Adipati Tjokronegoro mantan bupati Probolinggo  yang juga pernah menjadi bupati Surabaya atau  Surapringga ke-26. Secara resmi dia dinobatkan sebagai bupati tanggal 20 September 1863, dengan pangkat dan nama kebesaran Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro. Tidak berapa lama pangkatnya dinaikkan dan dianugerahi nama kebesaran Raden Adipati Panji Tjokronegoro.

Bupati yang memerintah di akhir abad ke-19 ini juga berhasil meraih penghargaan “medali jeni” dan “song-song jeni” atau payung kebesaran. Bupati Surapringga ke-29 ini mengakhiri masa jabatannya tanggal 7 April 1893.

Setelah Raden Adipati Panji Tjokronegoro wafat, ia diganti oleh Raden Adipati Ario Tjokronegero IV yang memerintah sebagai Bupati Surapringga hingga tahun 1901. Pemerintahan dilanjutkan oleh Raden Adipati Ario Tjokronegoro V sampai tahun 1912.

Di awal abad ke-20 ini pengaruh Belanda semakin terasa. Kekuasaan Residen juga lebih dominan dibandingkan dengan bupati. Keresidenan Surabaya lebih popular daripada Surapringga. Keresidenan Surabaya mencakup wilayah Kabupaten Surapringga (Subaya dan Gresik), Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten  Jombang .

Kegiatan perniagaan dan hubungan dengan dunia luar di Surabaya makin meningkat. Pembangunan pelabuhan, pabrik-pabrik, industri,  kegiatan perdagangan dan permukiman juga semakin pesat.

Nama Surapringga semakin tenggelam dan kalah popular dengan nama Surabaya. Apalagi waktu itu Pemerintahan Kolonial Belanda ingin berkuasa dalam pemerintahan secara formal. Selama ini tampuk pemerintahan dipegang oleh para ningrat pribumi yang mendapat kepercayaan dari kolonial. Dengan adanya pemerintahan kota yang bersifat otonom di luar pemerintahan kabupaten diharapkan dapat mengamankan dan melindungi warga negara Belanda yang bermukim di Surabaya.

Sejak saat itu mulai ada wacana pembentukan Pemerintahan Kota (gemeente) Surabaya yang terpisah dari Kabupaten Surapringga. Nah, begitu terkenalnya nama Surabaya, maka nama Kabupaten Surapringga pun diganti menjadi Kabupaten Surabaya. Kantor Bupati Surabaya, waktu itu bertempat di Jalan Gentengkali Surabaya. Kini gedung itu sudah berubah menjadi Gedung Pusat Kebudayaan Jawa Timur, setelah Kabupaten Surabaya pindah ke Gresik dan berubah menjadi Kabupeten Gresik.

Pemerintahan Kota Surabaya

Secara resmi Pemerintahan Kota Surabaya, disahkan  pada tanggal 1 April 1906.

Penguasa (Regent atau bupati) Surapringga atau Surabaya adalah sebagai berikut:

1.   Kanjeng Sunan Ngampel Denta yang bernama Pangeran Raden Rahmat, dijuluki Syeh Makdum.

2.   Pecat Tondya Terung.

3.   Pangeran Tundhung Musuh.

4.    Pangeran Harya Lena atau Adipati Rangkah.

5.    Pangeran Jebuk.

6.    Pangeran Wonokromo

7.   Panembahan Rama.

8.   Pangeran Surataya.

9.   Pangeran Sunjaya.

10.  Pangeran Pekik.

11.  Umbul Sawelas yaitu sebelas orang yang berasal  dari Surakarta menguasai Surapringga, yaitu:

1).  Ariya Kertasana.

2).  Ki Nasraya.

3).  Demang Singayuda.

4).  Rangga Patracana.

5).  Ki Naladita.

6).  Ki Neter.

7).  Ki Surdipa.

8).  Ki Pulangjiwa.

9).  Ki Silingsingan.

10). Ki Demang Tanujaya.

11). Ki Tandya Jamudra.

12. Raden Trunojoyo

13. Ki Anggawangsa atau Ki Tumenggung Jangrana.

14. Ki Adipati Panatagama.

Berikutnya, jabatan bupati dibagi menjadi dua, yakni bupati  Kasepuhan dan bupati Kanoman:

15  (Kasepuhan): Ki Tumenggung Ariya.

1. (Kanoman): Ngabehi Wiradirja dijuluki  Tumenggung Panji Jayapuspita Jangrana.

16. (Kasepuhan): Ki Tumenggung Suryawinata.

2. (Kanoman): Ki Tumenggung Sastrawinata.

17. (Kasepuhan): Ki Tumenggung Suradirana.

3. (Kanoman):  Ki Tumenggung Secadirana.

18. (Kasepuhan): Ki Tumenggung Surengrana.

4. (Kanoman): Ki Tumenggung Sasranegara.

19. (Kasepuhan): Ki Tumenggung Secanegara.

5. (Kanoman): Ki Tumenggung Panji Natapura.

20. (Kasepuhan): Ki Tumenggung Secanegara Wirasraya..

6. (Kanoman): Tumenggung Endranata.

21. (Kasepuhan): Ki Tumenggung Tjondronegoro.

7. (Kanoman): Ki Tumenggung Jayadirana.

22. (Kasepuhan): Raden Tumenggung Tjokronegoro.

8. (Kanoman): Mas Tumenggung Panji Jayadirana.

23. (Kasepuhan): Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro.

9. (Kanoman): Raden Adipati Kramajayadirana.

24. (Kasepuhan): Tumenggung Ripni berganti nama Raden Tumenggung Kramajayadirana.

Setelah jabatan bupati Kasepuhan ke-24 dan bupati Kanoman ke-9, jabatan bupati kembali dijabat oleh satu orang.

25. Raden Adipati Kramajaya Adinegara.

26. Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro II.

27. Raden Tumenggung Kramajayadirana bergelar Raden Adipati Panji Tjokronegoro III..

28. Raden Tumenggung Suryaadikusuma dengan gelar Raden Adipati Ario Tjokronegoro IV.

29. Raden Tumenggung Panji Pramuwijaya menyandang gelar kehormatan Raden Adipati Ario Tjokronegoro V.

Demikian bentuk pemerintahan di Surabaya, sebelum terbentuknya Pemerintahan Kota Surabaya.. Namun data ini masih perlu ditindaklanjuti, sebab tidak disertai dengan tahun masa jabatan para pejabat yang berkuasa tersebut. ( Bersambung ke 10 )

Penulis: Yousri Nur Raja Agam MH

Wartawan Senior  &  Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA