SEBENARNYA, tanggal lahir atau hari jadi Surabaya, tidak perlu dipermasalahkan. Begitu kata beberapa orang. Kita harus mengakui pendapat para ahli yang menelusuri sejarah dengan berbagai faktor kesulitan, sehingga kemudian ditetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai “hari jadi” Surabaya.
Sekarang tanggal 31 Mei setiap tahun diperingati dan dimeriahkan sebagai ulang tahun Surabaya, kota terbesar ke dua di Indonesia, setelah ibukota Jakarta.
Permukiman penduduk atau keberadaan manusia sebagai penghuni kawasan Surabaya yang waktu itu bernama Hujung Galuh, dianggap bermula sejak diusirnya balatentara Tar-tar yang dipimpin Khu Bilai Khan. Waktu itu, beberapa bulan sebelum Kerajaan Majapahit lahir dan diproklamasikan oleh Raden Wijaya.
Sebaliknya, apabila berdasarkan pembentukan secara resmi Pemerintahan Kota Surabaya, tanggal 1 April 1906 oleh pemerintahan penjajah Belanda, maka usia kota Surabaya ini baru 120 tahun.
Nah, karena yang diperingati adalah Hari Jadi Surabaya, sebagai ranah atau kawasan permukiman dan bukan pembentukan kota Surabaya, maka tidak perlu dipermasalahkan tentang penetapan hari jadi Surabaya terhitung 31 Mei 1293.
Terlepas dari tinjauan sejarah, penulis ingin menyajikan terbentuknya Surabaya berdasarkan cerita tutur yang turun temurun dari nenek moyang hingga diyakini oleh generasi masa kini. Ada kisah dan dongeng yang disebut “Babad Surabaya”, bercerita tentang asal-usul ranah permukiman masyarakat Surabaya.
Sahibul hikayat, konon di masa dahulu, ada cerita tentang Adipati Jayengrono. Ia mempunyai puteri cantik bernama Raden Kusuma Ning Ayu Probowati. Cerita ini cukup unik. Dari satu sisi merupakan sebuah dongeng yang utuh, namun di sisi lain kisah ini cenderung terpadu dengan peristiwa sejarah.
Demikian cuplikan tentang Babad Surabaya yang dimuat dalam buku “Surabaya, Lintas dan Langkah” yang diterbitkan Pemkot Surabaya tahun 1994.
Berkembangnya ranah permukiman penduduk Surabaya, dalam babad itu diawali dengan percintaan segitiga dua pemuda dengan Raden Kusuma Ning Ayu Probowati.
Ke dua pemuda itu, masing-masing: Pangeran Joko Truno dari Kediri dan Pangeran Situbondo putera Adipati Cakraningrat dari Sampang, Madura.
Kendati Pangeran Situbondo adalah pemuda yang cacat, Ning Ayu Probowati tidak sampai hati secara terus terang menolak cinta yang disampaikan putera Cakraningrat itu. Sebaliknya, lamaran yang datang dari Pangeran Joko Truno juga tidak sertamerta diterima sang puteri kesayangan Jayeng Rono itu.
Ning Ayu Probowati mengajukan syarat kepada pemuda yang menaruh hati kepadanya, yakni mbabat alas (merambah hutan) agar dapat didirikan ranah permukiman penduduk warga Surabaya. Joko Truno yang merasa kalah sakti dengan Pangeran Situbondo, minta bantuan kepada seorang anak muda bernama Joko Jumput anak seorang janda penjual jamu.
Alkisah, akhirnya Pangeran Situbondo berhasil membabat hutan. Kemudian berdirilah kampung dengan nama wono (hutan), di antaranya” Wonokromo dan Wonocolo.
Di samping itu, pemuda ini juga berhasil membabat hutan yang menjadi kawasan Sawahan sekarang. Ada cerita, saat pembabatan hutan ditemukan tumpukan kulit kerang (kupang) yang menggunung. Daerah ini kemudian diberi nama Kupang Gunung. Ada lagi tumpukan kupang yang tersusun rapi, bagaikan kerajaan. Maka kampung ini diberi nama Kupang Krajan. Kedua kampung ini masih ada hingga sekarang.
Dalam salah satu kegiatan pembukaan hutan, Pangeran Situbondo sering bertemu dengan Joko Jumput. Mereka saling adu kesaktian. Suatu saat, Joko Jumput hampir saja menghabisi Pangeran Situbondo. Sehingga, Pangeran Situbondo mundur dan lari. Ia lalu terkapar di sebuah kedung, bernama Kedung Gempol. Berkat air kedung yang diminum Pangeran Situbondo, nyawanya tertolong. Tempat yang dapat menyambung hidup sang pangeran, diberi nama Banyu Urip (air hidup atau air kehidupan) dan masih ada sampai sekarang.
Joko Jumput yang memenangkan pertarungan itu menemukan sebuah batu persegi empat yang dasarnya bulat. Batu itu diberikan kepada ibunya, mbok Rondo Praban Kinco. Oleh ibunya batu itu digunakan untuk membuat jamu yang kemudian terkenal mujarab. Batu itu hingga sekarang masih ada, dijadikan punden dan dianggap keramat oleh masyarakat. Letak tepatnya di samping gedung Puskesmas Banyu Urip. Tempat ini sering dikunjungi orang-orang tertentu setiap Jumat Legi.
Cerita lain, konon Pangeran Situbondo juga pernah bertemu singa jadi-jadian yang berasal dari Jin Trung di daerah ini. Singa itu berhasil dihalau dan tempat itu kemudian diabadikan menjadi kampung Simo Katrungan. Singa yang terkejut melihat kehadiran Pangeran Situbondo itu, lari terbirit-birit yang dalam bahasa setempat disebut kesusu atau kewagean. Tempat itu kemudian diberi nama Simo Kwagean.
Suatu daerah lain yang hutannya dibabat oleh Pangeran Joko Truno yang didampingi pengikut setianya Sayid Panjang adalah daerah Keputran bagian barat. Di sini banyak tumbuh pohon bambu, sehingga daerah ini kemudian diberi nama Keputran Kejambon.
Kisah tentang puteri Adipadi Jayeng Rono yang bernama Raden Kusuma Ning Ayu Probowati, menikah dengan siapa tidak jelas. Ada versi yang menyebut ia menikah dengan Pangeran Situbondo, juga ada yang mengatakan dengan Pangeran Joko Truno, bahkan dalam kisah lain, justru Joko Jumput yang ternyata dipilih Ning Ayu Probowati.
Kendati demikian, yang disepakati adalah upacara perkawinan dirayakan dengan sederhana dipinggir hutan. Hutan (wono) tempat perkawinan (kromo) itu hingga sekarang diabadikan menjadi Wono-Kromo atau Wonokromo.
Cuplikan babad Surabaya ini hanya sebagian cerita masa lalu yang dipercayai sebagai kisah nyata. Namun, karena kejadian itu tidak jelas waktu kejadiannya, masih sulit dikaitkan dengan sejarah.
Bagaimanapun juga kisah ini memberi gambaran, tentang ranah perkampungan pertama di Surabaya. Asal-usul kampiung dan tempat, serta cerita yang dikaitkan dengan peristiwa itu juga dipercayai kebenarannya.
Yang agak unik dalam setiap kisah dan cerita tentang Surabaya, hampir selalu dikaitkan dengan nama Adipati Jayeng Rono. Konon dinasti ini pernah memerintah lebih tiga abad di Surabaya. Sehingga banyak kisah yang terjadi di masa lalu, selalu dikaitkan dengan nama Jayeng Rono. Salah satu kisah menarik adalah, cerita tentang Sawung Galing ( Bersambung ke 7 )
Penulis: Yousri Nur Raja Agam MH
Wartawan Senior & Ketua Yayasan Peduli Surabaya.
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi