x
x

Melacak Petilasan Kerajaan Majapahit di Surabaya

Rabu, 28 Mei 2025 10:23 WIB

Reporter : Redaksi

KENDATI hari jadi Surabaya dikaitkan dengan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit tahun 1293, di Surabaya ini boleh dikatakan tidak ada peninggalan purbakala masa Majapahit.

Biasanya, orang beranggapan bahwa peninggalan purbakala kerajaan terbesar di Nusantara itu berupa artefak-artefak, batu bersurat, prasasti, dan candi yang dipengaruhi agama Hindu dan Budha. Sedangkan yang bercorak Islam, adalah akhir masa kejayaan Majapahit.

Bahkan kedatangan agama Islam, justru merupakan  “masa kehancuran” Majapahit. Sebelumnya sudah diungkap, tentang keberadaan Sunan Ampel di Surabaya adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan pusat kerajaan Majapahit di Mojokerto.

Memang, bila diamati pengaruh Majapahit di Surabaya, mungkin tidak banyak bercerita tentang kepurbakalaan. Di Surabaya sama sekali tidak ditemukan candi dan batu-batu bersurat yang biasa disebut prasasti.

Dalam buku Negara Kertagama dan kitab Pararaton, dinyatakan pembangunan candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan sebagai tempat untuk mengabdikan dharma dan memuliakan roh yang telah bersatu dengan dewa penitisnya.

Dua pakar arkeologi, Prof.DR.R.Soekomono dan DR.Inajati Adrisijanti Romli dalam buku 700 Tahun Majapahit, mengulas tentang peninggalan purbakala masa Majapahit. Pada umumnya candi-candi itu berdiri di dataran tinggi. Di antara candi yang masih dapat dilihat hingga sekarang, misalnya: Candi Jawi, Candi Sawentar, Candi Penataran dan beberapa candi lainnya.

Surabaya yang merupakan penjelmaan dari Hujung Galuh, dalam sejarah Majapahit memang hanya sebagai sebuah pelabuhan. Tempat berlabuh kapal antarpulau, maupun sebagai pelabuhan samudera yang menghubungkan antarbenua. Tentunya bentuk pelabuhan masa lalu, tidak sama dengan sekarang, karena kapalnya hanya perahu dan kapal layar.

Makam dan Punden

Walaupun tidak ada candi sebagai lambang peninggalan purbakala, di Surabaya terdapat peninggalan masa lalu berupa punden dan makam yang dikeramatkan. Selain itu ada satu tempat yang unik, yakni persemayaman Patung Joko Dolok di Jalan Taman Apsari Surabaya, berdekatan dengan gedung Balai Wartawan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Timur.

Dalam berbagai ungkapan, diceritakan, patung Joko Dolog ini bukan peninggalan Kerajaan Majopahit, tetapi berasal dari Kerajaan Singasari.

Di tengah Kota Surabaya banyak komplek makam yang masih terawat hingga sekarang. Di antaranya makam Mbah Bungkul di Jalan Raya Darmo dan makam Sunan Ampel di komplek Masjid Ampel. Kecamatan Semampir.

Selain itu, makam Raden Kudo Kardono alias Pangeran Yudho Kardhono, makam Pangiran Lanang Dangiran alias Mbah Brondong, makam Oei Sam Hong alias Mbah Buyut Sambongan, makam Pangeran Pekik alias Mbah Pendem.

Yang cukup dikenal adalah pasarean atau kawasan makam keluargs Sawunggaling, fi Lidah Wetan,   makam Pangeran Sedho Masjid di Tembaan dan beberapa makam keramat lainnya yang terdapat di kampung-kampung di kota Surabaya.

Kecuali pemakaman, juga ada tempat yang dikeramatkan berupa punden. Di antaranya punden Joko Kuti dan Punden Kendangsari.

Pangeran Yudho Kardhono

Makam Pangeran Yudho Kardhono terletak di Jalan Cempaka Surabaya. Sang pangeran adalah komandan perang kepercayaan raja Majapahit ke dua setelah Raden Wijaya, yakni: Raja Jayanegara yang memerintah tahun 1309-1328. Nama asli Pangeran Yudho Kardhono adalah Raden Kudo Kardono.

Pada masa pemerintahan Jayanegara sering terjadi pemberontakan. Salah satu di antara pemberontakan itu terjadi di Surabaya yang dipimpin oleh Kuti. Untuk menghadapi pemberontakan Kuti itu, dikirim panglima perang bernama Kardono. Sebagai penghormatan ia mendapat gelar Raden Kudo Kardono. Ia terkenal sebagai panglima perang yang tangkas dan kuat dalam menanggulangi keamanan.

Konon waktu itu, kawasan permukiman asli Surabaya, ada di wilayah sungai Kaliasin dekat sebuah taman bernama Tegalsari. Di daerah ini hingga sekarang ada kampung bernama Surabayan. Nah di sanalah Raden Kudo Kardono mendirikan markas pertahanannya. Saat meninggal dunia, ia dimakamkan tidak jauh dari markasnya.

Makam Raden Yudo Kardono dipugar tahun 1950-an. Sebagai penghormatan kepada panglima perang ini, masyarakat setempat mengganti namanya menjadi Pangeran Yudho Kardhono. Nama ini sebagai terjemahan dari kata panglima sebagai Pangeran, perang disebut Yudho. Sehingga tepatlah namanya menjadi Pangeran Yudho Kardhono.

Sebenarnya nama Kudo sudah merupakan gelar kehormatan di zaman Majapahit, maupun zaman Singosari. Kuda merupakan lambang ketokohan untuk panglima perang. Seorang tokoh sering memperoleh gelar dengan nama hewan -- bukan berarti tokoh itu disamakan dengan hewan, tetapi penghormatan bahwa penampilannya sifat ketokohannya diibaratkan seperti hewan itu.

Salah satu yang sangat hebat adalah gelar “gajah”. Hewan penguasa hutan belantara di Pulau Sumatera, dilekatkan kepada pemuda yang gagah perkasa, asal Minangkabau, bernama Gajahmada. Dia adalah pengawal dua puteri Minang, bernama Dara Petak dan Dara Jingga dari Damasraya yang ikut bersama rombongan Divisi Pamalayu, yang kembali ke Jawa Timur.

Berkat keperkasan dan kesetiannya mendampingi calon Permaisuri Raja Raden Wijaya itu, maka Gajahmada, dipercaya kemudian menjadi Mahapatih, dalam Pemerintahan Hatam Wuruk.  Nama Hayam Wuruk sendiri, sebagai perlambang “Ayam Jago:. Hayamwuruk  artinya jago atau ahli dalam pertempuran.

Sebutan lain yang menggunakan nama hewan adalah: Banyak (bebek) untuk Banyakwide, sebagai perlambang orang yang disiplin dapat mengatur diri sendiri dan orang lain. Coba lihat, bebek selalu berbaris kalau berjalan bersama-sama.

Lembu atai sapi untuk Lembupeteng  dapat diartikan sebagai pekerja keras, seperti kuat membajak sawah maupun menarik pedati atau cikar. Dan juga masih ada pembanding lainnya, seperti:  macan, singa,  kucing, kumbang dan sebagainya.

Tidak usah melihat jauh ke negeri Cina dengan Naga, Thailand yang menggunakan Gajah atau Singapura dengan Singa atau Lion. Bangsa Indonesia sendiri menggunakan Burung Garuda sebagai lambang negara. Demikian pula Kota Surabaya, juga menggunakan binatang sebagai lambang, yakni ikan Sura dan Buaya (Baya).

Pangiran Lanang Dangiran

Makam Pangiran Lanang Dangiran atau Ki Ageng Lanang Dangiran yang juga disebut Mbah Brondong itu terletak di komplek pemakaman atau pasarean Botoputih Jalan Pegirian, Surabaya. Mbah Brondong ini dalam riwayatnya disebut masih keturunan Sunan Tawangalun alias Pangeran Kedawung dari Kerajaan Blambangan.

Sahibul hikayat, sebelum sampai di Surabaya ia terdampar di Sedayu, Gresik. Sebelumnya ia hanyut di laut dan saat ditemukan di pantai badannya penuh dengan kerang atau diberondong oleh kerang. Ia berhasil diselamatkan oleh seorang yang bernama Kiyai Kendil Wesi.

Kiyai Kendil Wesi bersama isterinya memberi nama anak laki-laki asing itu Brondong. Dari keluarga ini pulalah Brondong belajar agama Islam. Setelah dewasa, Brondong menikah dengan dengan puteri Ki Bimocili dari Panembahan Cirebon.

Sampai tua, Brondong yang kemudian dipanggil sebagai Mbah Brondong menetap di Surabaya. Ia aktif mengaji dan sebagai guru mengaji di Masjid Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya di Pegirian. Mbah Brondong ini juga mendapat julukan sebagai Pangiran Lanang Dangiran, dimakamkan di komplek pemakaman Botoputih.

Uniknya ada pula cerita lain, dalam sejarah Regent Surapringga atau Kadipaten Surabaya, disebutkan Jaka Brondong atau Ki Ageng Lanang Dangiran adalah anak dari Raden Trunojoyo dari Sampang.

Pangeran Pekik.

Makam Pangeran Pekik alias Mbah Pendem terdepat di daerah Pakis, Surabaya. Konon sang pangeran adalah petualang dari Jogjakarta. Namun ada pula yang mengatakan masih dari keraton Majapahit. Peristiwa ini tidak jelas tahunnya. Cerita inipun merupakan cerita dari mulut ke mulut yang sudah menjadi “tutur tinular”.

Dengan menunggang kuda bersama isterinya Nyi Wandansari, mereka bermaksud menuju Pulau Madura. Sebelum menyeberang ke Madura, mereka singgah di sebuah perkampungan di Surabaya. Mereka disambut warga setempat dengan penuh curiga. Warga kampung berniat membunuh orang asing itu. Rupanya gelagat warga itu diketahui oleh Pangeran Pekik. Dalam pikiran sang pengeran, daripada dibunuh lebih baik bunuh diri.

Cara bunuh diri yang dilakukan Pangeran Pekik cukup unik. Ia memendam (mengubur) dirinya ke dalam tanah hidup-hidup. Saat ia dalam keadaan sekarat, suaranya terdengar “mengkas-mengkis “ (Bahasa Jawa, artinya: meringis). Akhirnya Pangeran Pekik dijuluki Mbah Pendem, sekarang daerah ini bernama Pakis yang diambil dari kata mengkas-mengkis. Tetapi ada yang menyebut kata Pakis itu berasal dari tanaman pakis, karena dulu di sekitar wilayah ini banyak tanaman pakis.

Mbah Buyut Sambongan

Nama asli Mbah Buyut Sambongan adalah Oei Sam Hong, seorang keturunan Cina yang diperkirakan hidup pada abad ke-19. Jadi bukan lagi pada zaman Majapahit. Sehari-hari ia dikenal sebagai saudagar kaya dengan sapaan Babah Samhong.

Oei Sam Hong yang kaya ini memiliki tanah yang luas. Tanah itu disewakan kepada penduduk, sehingga menjadi sebuah kawasan permukiman. Kawasan permukiman ini disebut Samhong-an. Lama kelamaan sebutan itu berubah menjadi Sambongan. Sampai sekarang daerah Sambongan ini masih ada di Surabaya.

Walaupun Oei Sam Hong seorang keturunan Cina yang kaya, ia mendapat simpati dari Bupati Surabaya, Adipati Cokronagoro. Setelah bersahabat dengan bupati, Oei Sam Hong masuk Islam. Sebagai penghormatan, ia memperoleh gelar: Mas Ngabehi Reksodiwiryo. Bahkan ia kemudian diangkat sebagai mantri pada kantor asisten wedana (kecamatan) di Kabupaten Surabaya.

Karena pergaulannya dengan warga pribumi, anak keturunannyapun menyatu dengan warga asli Surabaya. Berkat jasanya mendirikan kawasan permukiman atau kampung Sambongan, iapun dijuluki sebagai Mbah Buyut Sambongan. Makamnya hingga sekarang masih terpelihara dengan baik di Gang Bey, Kedunganyar, Surabaya.

Ada satu versi yang menghubungkan keberadaan makam Mas Ngabehi Reksodiwiryo dengan Sawunggaling. Konon, kabarnya yang dimakamkan di sana adalah Pangeran Sawunggaling, putera Adipati Jayengrono. Namun untuk melindungi makam itu agar tidak dirusak penjajah Belanda, maka disebutlah makam itu sebagai makam cina kaya yang dijuluki Mbah Buyut  Sambongan.

Cerita di bawah ini lain lagi. Sebab, makam Sawunggaling itu yang benar terletak di kampung Lidah Wetan. Sawunggaling yang juga disebut Joko Berek itu mempunyai nama lengkap Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmasostronagoro.

Makam Sawunggaling di Lidah Wetan  hingga sekarang terawat dengan baik. Di komplek pemakaman itu terdapat empat makam lainnya  yakni:

Pertama: makam ibunya Raden Ayu Siti Sangkrah.

Kedua: makam neneknya Mbah Buyut Suruh.

Ketiga: makam kakeknya bernama Raden Karyosentono.

Yang keempat: makam Raden Ayu Pandansari.

Kisah tentang Pandansari ini beragam. Ada yang mengatakan ia adalah peri atau makhluk halus jadi-jadian yang selalu menyertai kemanapun Sawunggaling bepergian. Konon ia adalah lelembut, puteri kesayangan Raja Jin yang menguasai  hutan di wilayah Lidah, Wiyung dan sekitarnya.

Ada pula yang menyatakan wanita cantik itu adalah isteri Sawunggaling. Namun sebagian kisah meyakini, Sawunggaling tidak pernah kawin dan membujang sampai wafat. Tetapi,  tentang pernyataan bahwa Sawunggaling itu terbantahkan. Saya menemukan naskah dari penulis Belanda yang mengisahkan bahwa Sawunggaling itu bukan sekedar legenda, tetapi masuk dalam sejarah Pemerintahan Kadipaten Surabaya yang berada di bawah Kesultanan Paku Buwana, dari Mataram.

Punden Joko Kuti

Punden Joko Kuti yang terdapat di Kutisari, Rungkut itu disebut pula merupakan bagian dari cikal-bakal Surabaya di zaman Majapahit. Di sini konon dimakamkan sepasangan suami isteri, Joko Kuti dengan Siti Karomah.

Saat pertamakali membangun permukiman yang kemudian bernama Kutisari itu, Joko Kuti bersama isterinya sering dapat gangguan dari wanita jadi-jadian bernama  Sri Sundoro yang mempunyai “pasukan hantu”.

Dalam adu kesaktian dengan Joko Kuti, akhirnya Sri Sundoro yang berubah menjadi babi atau celeng tewas. Tempat itu kemudian diberi nama Celeng Srenggi. Sedangkan tempat pemakaman massal “pasukan hantu” disebut Kramat Complong.

Punden Kendangsari

Punden Kendangsari juga terdapat di daerah Rungkut. Di sini konon dimakamkan pendiri kampung Kendangsari, bernama: Raden Endang Kamulyaan. Ia adalah puteri Adipati Jayengrono yang sudah memeluk agama Islam. Di tempat ini ia mengajar mengaji. Sebagai ustadzah ia dipanggil Nyai Zamila.

Dulu dekat punden itu ada sebuah sumur yang disebut Sumur Sanga, karena sumur itu mempunyai sembilan mata air. Warga setempat pernah mengeramatkan sumur itu dan menganggap nilainya sama dengan sumur Zamzam di Makkah. Melihat ulah sebagian penduduk itu sudah mengarah kepada tahayul dan syirik, akhirnya kebiasaan penduduk itu berhasil dicegah. ( Bersambung ke 9 )

Penulis: Yousri Nur Raja Agam MH

Wartawan Senior  &  Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA