x
x

Penjara Bagi Pemimpin Dulu dan Sekarang

Penjara, dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pernah menjadi altar suci pengorbanan. Ia adalah tempat di mana integritas dan keberanian diuji, bukan ruang aib yang menandai kehancuran moral.

Di masa penjajahan, para pemimpin rela dikurung demi mempertahankan harga diri dan martabat bangsanya. Penjara tidak menodai mereka, melainkan memuliakan, karena dari balik jeruji itulah lahir gagasan, semangat, dan harapan untuk sebuah kemerdekaan.

Namun kini, makna itu seolah terbalik. Di era kemerdekaan, penjara justru menjadi tempat jatuhnya martabat banyak pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan. Sejarah seakan sedang mengejek bangsanya sendiri.

Dulu, nama-nama besar seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Tjipto Mangunkusumo, Sutan Sjahrir, dan H.O.S. Tjokroaminoto menjadikan penderitaan sebagai jalan menuju kemerdekaan.

Soekarno dipenjara di Sukamiskin karena pidato “Indonesia Menggugat” yang menggelorakan semangat rakyat untuk bangkit.

Mohammad Hatta dibuang ke Boven Digoel dan Banda Neira, tempat sunyi yang jauh dari keramaian, namun justru menjadi ladang kontemplasi perjuangan.

Tan Malaka, pejuang yang lintas benua, menjadi buronan internasional karena keyakinannya bahwa bangsa Indonesia berhak merdeka.

Mereka bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga melawan ketakutan dan ego dalam dirinya sendiri. Para pemimpin itu hidup dalam kesederhanaan dan menolak kekuasaan sebagai alat pemuas hasrat pribadi. Bagi mereka, kekuasaan adalah amanah, bukan privilese. Penjara bukan aib, melainkan konsekuensi dari sikap yang teguh terhadap prinsip.

Dalam konsep Max Weber tentang etika tanggung jawab (Ethik der Verantwortung), para pemimpin sejati selalu menyadari bahwa tindakan politik harus diiringi kesadaran moral.

Mereka memimpin bukan karena ambisi pribadi, melainkan karena dorongan etis untuk mengabdi. Berbeda dengan masa kini. Ketika negara telah merdeka dan akses terhadap jabatan terbuka lebar, penjara kini justru menjadi lambang kehancuran integritas elite politik.

Bukan karena menolak tunduk pada tirani, melainkan karena tunduk pada godaan kekayaan dan kekuasaan. Banyak pemimpin yang akhirnya mendekam di penjara bukan karena membela rakyat, tetapi karena merampok hak-hak rakyat yang harusnya mereka lindungi.

Lihatlah daftar mereka yang terjerat kasus korupsi, yang seolah tak pernah habis. Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI, divonis karena kasus megakorupsi e-KTP dengan kerugian negara triliunan rupiah.

Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial, memotong dana bantuan sosial COVID-19 yang seharusnya menyelamatkan jutaan nyawa dari kelaparan.

Imam Nahrawi terjerat kasus suap dana hibah KONI, dan Romahurmuziy, mantan Ketua Umum PPP, memperdagangkan jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

Ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi luka moral bagi bangsa yang pernah menjunjung tinggi idealisme para pendiri negara.

Jika dahulu penjara menjadi saksi keberanian melawan kekuasaan yang menindas, kini penjara menjadi bukti betapa kekuasaan dapat menindas hati nurani.

Para pemimpin korup bukan hanya mengkhianati hukum, tetapi juga mencederai kepercayaan publik.  Francis Fukuyama, dalam bukunya Political Order and Political Decay, menyatakan bahwa kemerosotan institusi politik terjadi bukan karena lemahnya sistem, tetapi karena membusuknya nilai moral di antara elite kekuasaan.

Inilah yang kini kita saksikan, pembusukan nilai dalam balutan demokrasi prosedural. Demokrasi kita hari ini tidak kekurangan mekanisme pemilu, tetapi kekurangan integritas pemimpin. Jabatan bukan lagi instrumen pengabdian, melainkan peluang untuk memperkaya diri dan kelompok. Sementara rakyat, yang dulu menjadi pusat perjuangan, kini sekadar menjadi angka dalam statistik elektoral.

Rasa malu dan takut akan pengkhianatan terhadap amanah seakan telah hilang. Yang tersisa hanyalah kalkulasi untung rugi, bukan pertimbangan moral.

Kita tidak sedang menghadapi penjajahan fisik sebagaimana zaman kolonial, tetapi penjajahan dalam bentuk yang lebih halus namun berbahaya yakni penjajahan moral.

Inilah tantangan besar bangsa hari ini, bagaimana menjaga agar nilai-nilai luhur yang dahulu menjadi fondasi perjuangan tetap hidup di tengah arus pragmatisme politik yang kian dominan.

Pendidikan karakter, keteladanan, dan literasi sejarah menjadi penting agar generasi mendatang tidak melupakan bahwa republik ini dibangun di atas idealisme, bukan oportunisme.

Dalam perspektif sejarah, akan selalu ada dua jenis pemimpin, mereka yang dipenjara karena membela rakyat, dan mereka yang dipenjara karena mengkhianati rakyat.

Yang pertama dikenang, yang kedua dilupakan atau dicemooh.  Sejarah tidak pernah netral, dan rakyat pada akhirnya akan menulis narasi mereka sendiri siapa yang layak dipuja, dan siapa yang pantas dicela.

Di tengah ironi ini, kita sebagai warga negara masih punya peluang untuk menyelamatkan masa depan. Bukan dengan mencaci, tetapi dengan membangun kesadaran kolektif bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan tentang kejujuran dan keberanian moral.

Demokrasi yang sehat hanya bisa lahir dari rakyat yang sadar dan pemimpin yang benar. Sebab sejarah tidak hanya akan mencatat, tapi juga mengadili dan tak ada vonis yang lebih abadi daripada penghakiman dari ingatan kolektif sebuah bangsa.

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Berita Terbaru
Selasa, 08 Jul 2025 19:58 WIB

Kadin Jatim Sebut Tarif Impor AS 32% Justru Bikin Peluang Besar Ekspor Tekstil

JATIMKINI.COM, Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diterapkan pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap produk dari berbagai negara Asia menciptakan
Selasa, 08 Jul 2025 18:06 WIB

Problem Pendidikan, SDN Sepi Peminat

Di tengah mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045, negeri ini justru dihantui fenomena penuh tanda tanya, mengapa Sekolah Dasar Negeri makin ditinggalkan
Selasa, 08 Jul 2025 16:21 WIB

PLN Elektrifikasi 21 Ribu Petani Buah Naga di Banyuwangi, Dorong Ekonomi Kerakyatan

PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor pertanian berkelanjutan melalui program electrifyin
Selasa, 08 Jul 2025 15:37 WIB

Frank & co., Hadirkan Kemewahan Intim di Tengah Kota Surabaya

Frank & co., membuka gerai kelima di Surabaya, yang mengusung berlian dengan konsep perpaduan keintiman dan kemewahan menyatu.
Selasa, 08 Jul 2025 14:35 WIB

Pelatihan SDM Jadi Kunci TPS Tingkatkan Kinerja Terminal

TPS menjawab tantangan tata kelola pelabuhan melalui pelatihan SDM guna mendorong transformasi terminal bertaraf internasional.
Selasa, 08 Jul 2025 13:17 WIB

Kelompok Mahasiswa 96 UPN Veteran Dampingi RW 5 Pilang Makmur. Tujuaannya Ini

Guna menyiapkan kegiatan Lomba Kelurahan Berseri tingkat Kota Surabaya kelompok mahasiwa KKN 96 Universitas Pembanguna Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur