x
x

Framing Politik

Minggu, 18 Mei 2025 13:17 WIB

Reporter : Redaksi

Dalam lanskap politik modern, informasi menjelma menjadi senjata yang sangat ampuh. Di era digital saat ini, kecepatan penyebaran informasi hanya dibatasi oleh koneksi internet, bukan lagi oleh batas geografis atau birokrasi. Namun, kekuatan besar itu tidak selalu digunakan dengan bijak.

Ketika framing politik dibangun atas dasar subjektivitas yang berlebihan, apalagi diperparah dengan hoaks dan fitnah, dampaknya bisa jauh melampaui perbedaan pendapat.

Ia bisa menggoyahkan stabilitas politik dan menciptakan fragmentasi sosial yang sulit untuk dipulihkan. Framing, dalam konteks komunikasi politik, sejatinya merupakan cara untuk menyederhanakan realitas yang kompleks agar lebih mudah dipahami publik.

Ia bisa menjadi alat penting untuk mengurai persoalan kebijakan, memberikan perspektif yang jernih, serta mendorong diskursus yang sehat.

Sayangnya, dalam praktiknya framing kerap disalahgunakan sebagai instrumen propaganda demi kepentingan kelompok atau individu tertentu.

Ketika framing tidak lagi berangkat dari data dan analisis objektif, tetapi justru mengandalkan persepsi personal, emosi, dan bahkan kebencian, maka ia menjadi alat penyesatan publik.

Subjektivitas dalam melihat persoalan politik memang tak bisa dihindari. Setiap individu memiliki latar belakang nilai, pengalaman, dan keyakinan yang memengaruhi cara mereka menafsirkan suatu isu.

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika subjektivitas itu dijadikan landasan utama dalam membangun narasi politik yang menyudutkan pihak lain tanpa landasan fakta.

Di sinilah framing berubah wajah dari jembatan menuju pemahaman menjadi dinding yang membatasi rasionalitas.

Dalam konteks ini, kita tak bisa menutup mata terhadap peran hoaks dan fitnah yang sering kali menyertai framing semacam itu.  Informasi palsu yang dikemas secara emosional akan lebih mudah diterima oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang belum memiliki kemampuan literasi digital yang memadai.

Ketika hoaks disebarluaskan secara sistematis, bukan hanya kebenaran yang terabaikan, tetapi juga muncul ketidakpercayaan yang menggerogoti keutuhan sosial dan kepercayaan terhadap institusi negara.

Ilmuwan politik Amerika, George Lakoff, dalam karyanya "Don’t Think of an Elephant!" menyebut bahwa framing bukan hanya soal menyusun kata, tetapi soal menyusun cara berpikir.

Ketika kerangka berpikir yang dibentuk bersifat manipulatif, maka publik akan diseret masuk ke dalam narasi yang bukan saja tidak sehat, tapi juga berbahaya bagi demokrasi. Mengontrol framing, bagian daripada mengontrol bagaimana orang memahami kenyataan.

Artinya, framing bukan lagi alat komunikasi, melainkan alat kontrol sosial yang efektif—jika disalahgunakan.

Contoh nyata betapa berbahayanya framing politik yang manipulatif bisa kita saksikan dalam masa kampanye politik, di mana narasi yang dibangun terhadap kandidat tertentu sering kali tidak berangkat dari rekam jejak atau gagasan, melainkan serangan terhadap karakter pribadi.

Dalam dunia digital yang begitu cepat dan masif, framing negatif menyebar luas—menjangkau hingga pelosok masyarakat.

Publik pun mudah terjebak dalam narasi-narasi yang menyulut emosi, bukan logika. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya menjadi aktor utama dalam demokrasi justru menjadi korban dari perang informasi yang tidak sehat.

Polarisasi pun menjadi tak terelakkan. Warga yang berbeda pilihan politik bukan lagi dipandang sebagai rekan berdemokrasi, melainkan musuh yang harus disingkirkan.

Demokrasi yang idealnya dirayakan sebagai ruang kontestasi ide berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan yang penuh kebohongan.

Lebih jauh lagi, framing yang berangkat dari fitnah dan kebencian justru merusak kualitas partisipasi politik.

Ketika masyarakat memilih bukan karena pertimbangan rasional terhadap program dan visi calon pemimpin, tetapi karena emosi yang dikobarkan oleh framing negatif, maka hasil dari proses demokrasi itu pun menjadi bias.

Ini bukan lagi soal siapa yang terbaik, melainkan siapa yang paling berhasil membangun narasi meski narasi itu menyesatkan. Konsekuensinya sangat serius. Framing yang menyesatkan bisa memicu keresahan sosial hingga konflik horizontal.

Kita pernah menyaksikan bagaimana benturan antarwarga dipicu oleh isu politik yang telah mengalami distorsi luar biasa.

Tindakan kekerasan, ujaran kebencian, bahkan penghakiman di ruang publik muncul sebagai respons terhadap framing yang tidak bertanggung jawab.

Dalam situasi seperti ini, stabilitas politik pun goyah. Energi bangsa yang seharusnya diarahkan untuk pembangunan justru terkuras untuk meredam konflik yang bersumber dari narasi palsu.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen bangsa—terutama elite politik, media, dan masyarakat sipil untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya integritas informasi.

Framing politik harus dibangun di atas fondasi data, analisis objektif, dan niat tulus untuk mencerdaskan publik.

Perbedaan pendapat adalah keniscayaan dalam demokrasi, tapi harus disampaikan dalam bingkai diskursus yang sehat, bukan provokasi yang memecah-belah.

Meningkatkan literasi politik dan digital di kalangan masyarakat juga menjadi agenda mendesak. Masyarakat harus dibekali dengan kemampuan untuk menyaring informasi, mengenali bias, dan membedakan antara fakta dan opini.

Hanya dengan publik yang cerdas dan kritis, demokrasi bisa bertahan dari gempuran narasi-narasi manipulatif. Demokrasi tidak akan tumbuh di tanah yang diracuni kebohongan. Ia hanya akan hidup dan berkembang jika ruang publiknya dipenuhi oleh narasi yang mencerdaskan, bukan yang menyesatkan.

Ketika framing digunakan untuk membangun ilusi musuh bersama, untuk mengaburkan kebenaran, dan untuk mengobarkan kebencian, maka kita bukan sedang merayakan demokrasi. Kita sedang menggali kuburnya.

Dan jika keadaan ini terus dibiarkan, ketidakstabilan politik bukan lagi ancaman, melainkan keniscayaan.

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA