Di zaman ketika manusia bisa mengedit gen seperti menyunting naskah berita ternyata masih banyak yang meyakini bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah liat, diberi nafas dari langit lalu ditugaskan menjaga bumi dimana setan menggoda dari balik semak surga. Ketika para ilmuwan bersusah payah membedah fosil, membaca DNA dan mengamati galaksi jauh dengan teleskop James Webb, di sisi lain sebagian umat masih membaca kitab kuno dengan kacamata zaman perunggu. Tuhan sendiri bingung membaca fenomena tersebut.
Zaman ini adalah zaman ketika dogma harus berani diuji berdasar data. Namun yang mengecewakan, banyak penganut agama yang menutup pintu dialog dengan beribu alasan. Seolah Tuhan merasa terancam oleh mikroskop atau imannya bisa goyah hanya karena ada yang membaca makalah ilmiah.
MENGUJI KEBENARAN
Ilmu pengetauan adalah arena pertarungan gagasan. Teori tak cukup hanya tampak indah tapi harus siap digugat, diuji, dibantah jika perlu dibakar di tungku eksperimen. Sebaliknya, dogma datang sebagai paket kepercayaan: “Terima atau tinggalkan.” Maka tidak heran jika banyak yang memilih menjadi penumpang dalam bus 'Perasaan' yang nyaman meski arah jalannya semakin tidak relevan dengan peta zaman.
Temuan Charles Darwin di abad ke-19 bahwa manusia berasal dari proses evolusi panjang bukan dari kreasi instan seperti Indomie rasa agama, membuat sebagian besar institusi keagamaan meradang. Mereka lebih rela mengutuk teori daripada merevisi tafsir. Padahal keingintauan Darwin soal asal-usul manusia berakar dari rasa takjub pada ciptaan Tuhan itu sendiri.
Homo sapiens muncul sekitar 300 ribu tahun lalu di Afrika Timur. Dari studi genetik dari Human Genome Project dan riset-paleontologis atas fosil-fosil Afrika Timur, kita berbagi sekitar 98,8% DNA dengan simpanse. Lebih dari 30 gen yang berkaitan dengan pertumbuhan otak dan kemampuan berbahasa menjadi pembeda utama kita.
Bonobo, kerabat dekat simpanse juga menunjukkan perilaku sosial yang mencerminkan embrio moralitas manusia, yakni suka berbagi, berdamai bahkan menghibur temannya yang stres. Jika Tuhan meniupkan ruh pada manusia barangkali lebih dulu berbisik pada bonobo.
Ketika ada yang berkata “kita ini keturunan kera,” respon yang muncul bukan keingintauan melainkan kemarahan. Dalam hal ini agama seperti seorang nenek yang tak mau diingatkan bahwa foto masa mudanya tanpa jilbab dengan alis lebat. Ingatan tentang masa lalu dianggap mencederai martabat spiritual padahal justru itulah akar sejarah kita.
SEKS YANG DISENSOR
Letusan Gunung Toba purba pada 74 ribu tahun lalu adalah kiamat lokal yang nyaris membuat manusia punah. Dalam kondisi krisis, seleksi alam tak memilih yang paling beriman tapi yang paling adaptif. Dari sisa sekitar dua ribu individu, lahirlah pola perkawinan poliandri - dua wanita dengan 5-7 pria - demi menjaga garis keturunan. Bagi sebagian besar penganut agama, menyebut fakta ini seperti membuka aib yang selama ini dikunci rapat oleh moralitas buatan. Hanya saja sejarah tidak tunduk pada sopan santun.
Pola pikir dan bahasa berkembang pesat ketika manusia menemukan api, kapak, jarum tulang, dan... jagongan malam. Ya, percakapan ringan di sekitar api unggun adalah asal muasal filsafat, dongeng, mitos dan akhirnya, Tuhan. Ketika hujan deras atau petir menyambar, satu orang berkata, “Ini pasti ada yang ngatur.” Dan semua sepakat tanpa debat panjang. Lahirnya Tuhan merupakan hasil konsensus rasa takut dan rasa ingin tau.
Agama pernah menjadi sistem pengendali terbaik untuk mengatur masyarakat yang buta adab. Ia memberi makna, struktur sosial dan rambu-rambu moralitas. Namun kini, kita hidup dalam dunia yang bisa menciptakan simulasi otak di laboratorium. Neurosains sudah bisa menjelaskan cinta sebagai kerja dopamin yang dikenal sebagai "hormon bahagia" maupun perasaan berdosa sebagai bentuk konsekuensi perilaku.
Sejarawan Israel, Yuval Noah Harari menyebut Homo sapiens sebagai “hewan yang percaya pada fiksi.” Agama adalah salah satu fiksi paling sukses. Namun seperti semua teknologi kognitif perlu update, bukannya dihapus. Tapi jika agama hari ini hanya jadi franchise bisnis spiritual ketika “pasarnya” hilang, Tuhan pun ikut terpental dari etalase kepercayaan.
MUNAFIK
Kata pepatah, kebenaran melahirkan kebencian. Itulah yang terjadi ketika sains menggedor pintu-pintu doktrin yang mapan. Seharusnya tidak begitu, iman perlu mencari pengertian. Seharusnya kepercayaan menjadi jembatan antara religiusitas dan rasionalitas. Namun ketika iman dijadikan tameng untuk menolak semua hal baru maka agama berubah menjadi pagar berduri.
Jika pemuka agama tak berani membedah dogma maka umat secara diam-diam akan membakarnya dalam pikiran. Tuhan bagaimana? Tuhan tak akan mati tapi dia akan mencari rumah baru pada nalar yang rendah hati, pada moralitas tanpa pamrih, pada pertanyaan yang tak butuh jawaban dari orang lain.
Generasi Z dan Alpha adalah anak kandung algoritma, suatu urutan langkah-langkah yang logis dan sistematis yang digunakan untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu. Mereka lahir di dunia dimana jawaban lebih cepat dicari di Google daripada di mimbar. Bagi mereka, agama yang tak mau diajak diskusi akan ditinggal. Mereka ingin jujur pada sejarah, terbuka pada kemungkinan dan tak ingin hidup dalam kepalsuan kolektif meski dikemas dengan “kesakralan”. Bagi mereka itu munafik.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi