Reporter : Redaksi
Keputusan tanpa kajian mendalam hanya akan menjadi bumerang bagi pembuat kebijakan. Inilah yang kini terjadi pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang mencoba menata sistem distribusi gas elpiji bersubsidi. Alih-alih menciptakan ketertiban, kebijakan ini justru menimbulkan kelangkaan gas di berbagai daerah dan memicu keresahan publik hingga menelan korban jiwa.
Sejak 1 Februari 2025, pemerintah memangkas jalur distribusi gas elpiji 3 kg dengan melarang pengecer menjualnya. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat membeli langsung dari pangkalan resmi dengan harga yang telah ditetapkan. Tetapi kebijakan tersebut justru membuat antrean panjang di pangkalan, memperparah kelangkaan dan menyulitkan rakyat kecil yang selama ini mengandalkan pengecer untuk mendapatkan gas bersubsidi.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bersikeras bahwa tidak ada kelangkaan. "Stok LPG 3 kg masih sama," ujarnya dalam pernyataan resmi. Ia juga menyebut pemerintah tengah mengubah status pengecer menjadi pangkalan agar harga tetap terkendali. Pernyataan ini justru semakin memperburuk citranya seolah hanya mencari pembenaran tanpa memahami realitas di lapangan.
Ironisnya, keputusan ini berujung pada tragedi. Seorang lansia di Pamulang, Tangerang Selatan, meninggal dunia akibat kelelahan setelah mengantre gas. Yonih (62) pingsan dan tak sadarkan diri usai membawa tabung gas sejauh 300 meter menuju rumahnya. Peristiwa ini menguatkan tudingan bahwa kebijakan ini dibuat tanpa memperhitungkan dampak sosial bagi kelompok rentan.
Menyadari situasi yang semakin panas, Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan. Ia memerintahkan Bahlil untuk mengaktifkan kembali pengecer gas LPG 3 kg secara parsial. Keputusan ini menandakan bahwa kebijakan sebelumnya memang bermasalah dan tidak realistis.
STOP EKSPOR
Di tengah kegaduhan kebijakan elpiji subsidi, pemerintah juga mengambil langkah radikal dengan menghentikan ekspor gas alam ke Singapura dan Malaysia. Keputusan ini diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam peresmian proyek ketenagalistrikan nasional pada 20 Januari 2025.
Menurut pemerintah, kebijakan ini bertujuan untuk memastikan pasokan gas dalam negeri tetap aman serta mengurangi ketergantungan impor energi dan mendorong industrialisasi nasional. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menegaskan bahwa semua produksi gas kini akan dialokasikan untuk kebutuhan domestik.
Namun, langkah ini tidak lepas dari tantangan. Negara-negara yang selama ini bergantung pada pasokan gas Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia, harus segera mencari sumber alternatif. Singapura, misalnya, selama ini mengandalkan gas dari Panaran, Batam, untuk kebutuhan energi domestiknya. Jika pasokan terputus, konsekuensinya bisa berdampak pada stabilitas energi di negara tersebut.
Selain itu, kebijakan ini memerlukan penguatan infrastruktur dan sistem distribusi dalam negeri. Saat ini, harga gas domestik masih jauh lebih rendah dibandingkan harga internasional—sekitar US$ 3-3,5 per MMBTU, sementara harga global mencapai US$ 5 per MMBTU. Untuk menarik minat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KPS) agar lebih banyak menjual gas ke dalam negeri, pemerintah terpaksa menurunkan porsi bagi hasilnya, dari 70% menjadi 51%, memberi insentif bagi KPS dengan kenaikan bagi hasil menjadi 49%.
Pertanyaannya, apakah kebijakan ini akan efektif? Jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi dan efisiensi distribusi maka penghentian ekspor gas justru bisa menciptakan kelangkaan di dalam negeri. Situasi ini diperparah dengan adanya gangguan distribusi elpiji 3 kg yang sudah terjadi lebih dulu.
GEOPOLITIK
Dari perspektif geopolitik, kebijakan ini dapat mengubah peta kekuatan energi di Asia Tenggara. Malaysia, meskipun memiliki sumber daya sendiri, tetap menjadikan gas Indonesia sebagai bagian dari kebijakan energinya. Timor Leste, yang masih dalam tahap awal pembangunan ketahanan energi, juga bisa menghadapi kesulitan besar akibat penghentian ekspor ini.
Indonesia memang berpotensi menjadi pemain utama dalam politik energi regional. Namun, untuk mencapai posisi tersebut, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya bersifat populis tetapi juga realistis dan berbasis data akurat.
Kemandirian energi adalah visi yang mulia, tetapi tanpa eksekusi yang matang, ia bisa menjadi senjata makan tuan. Pemerintah harus belajar dari kegagalan kebijakan elpiji 3 kg—bahwa setiap perubahan dalam sistem energi harus mempertimbangkan dampak riil bagi masyarakat. Jika tidak, kemandirian yang diimpikan hanya akan menjadi ilusi, sementara rakyat tetap menjadi korban kebijakan yang serampangan.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi