Jika ada yang bertanya apakah neraka bisa diciptakan di bumi, mungkin jawabannya bisa ditemukan dalam lingkup birokrasi Indonesia. Khususnya pada kasus korupsi Kemendikbudristek senilai Rp10 triliun di era Nadiem Makarim. Di negeri ini, tempat yang seharusnya menanam benih moral dan ilmu pengetauan justru dijadikan ladang garong berjubah cendekia.
Kita, rakyat biasa, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menatap langit, "Tuhan, apakah Kau juga bingung?"
Sejak era reformasi hingga transisi digitalisasi, dunia pendidikan kita tetap menjadi ajang mainan para oportunis. Dana pendidikan yang digelontorkan negara bisa mencapai 20ri total APBN setiap tahun, ini bukan angka kecil untuk sektor yang mestinya melahirkan generasi emas. Tapi apa yang terjadi? Anak-anak Indonesia disuguhi laptop-laptop berbasis Chromebook senilai hampir Rp 10 triliun yang sudah terbukti gagal saat uji coba.
Uji coba 1.000 unit pada 2019 jelas menyatakan perangkat itu tidak efektif. Jaringan internet yang timpang, infrastruktur tidak siap, kompetensi guru dalam mengoperasikan perangkat pun dipertanyakan. Namun, secara ajaib, program ini malah dinaikkan ke level nasional. Kalau bukan konspirasi, ini pasti kerja dukun.
KEJAHATAN KOLEKTIF
Jangan kira korupsi adalah kejahatan perorangan. Tidak. Korupsi adalah sebuah pesta, lengkap dengan undangan resmi, menu pilihan, serta iring-iringan lagu kebangsaan. Dalam kasus ini, dua staf khusus Menteri, yaitu Fiona Handayani (FH) dan Jurist Tan (JT)—menjadi pintu masuk penyidikan. Apartemen mereka digeledah, ditemukan bukti elektronik serta dokumen-dokumen penting.
Hanya jangan berharap ada adegan drama korea seperti pemborgolan atau jeruji besi. Biasanya, pelaku hanya perlu menunggu waktu sebelum "sakit jiwa", "dirawat inap" atau pindah ke sel VIP dengan kasur empuk, AC, dan layanan pesan antar. Semakin besar nilai korupsi semakin istimewa layanannya. Akhirul kisah, setelah dipenjara, bisa menikmati hasil korupsi yang tertunda.
Inilah wajah nyata dari sistem hukum kita yang lebih lunak daripada kasur air. Hukuman korupsi masih berkisar 4–12 tahun. Jika tidak "berkelakuan baik" ya tinggal potong masa tahanan. Tidak mengherankan jika korupsi menjadi "investasi masa depan" yang lebih menguntungkan dari Bitcoin atau saham BUMN.
Kenapa? Karena selama aset hasil korupsi belum dirampas, dan hukuman mati belum diberlakukan maka koruptor bisa tetap hidup mewah usai keluar penjara. Uang haram yang disembunyikan tetap bisa digunakan untuk "pensiun tenang". Setelah bebas, mereka masih bisa mendirikan partai baru atau ormas bertema "anti-korupsi". Ironis? Justru ini tragikomedi nasional.
KEMENTRIAN AGAMA
Sebelum kita menunjuk pendidikan sebagai satu-satunya lembaga amoral, mari kita buka lagi lembaran korupsi di Kementerian Agama. Ingat kasus pengadaan Al-Quran dan dana haji yang juga melibatkan para pejabat tinggi? Lembaga yang seharusnya mengurusi moral malah jadi arena perjudian iman. Barangkali Tuhan pun sedang menggodok revisi prosedur reinkarnasi agar pejabat seperti itu dilahirkan kembali sebagai tempayan air wudhu.
Dimana keadilan Tuhan?
Pertanyaan ini menggema dalam benak masyarakat miskin kota yang gagal mengakses pendidikan berkualitas. Atau, mereka yang tak bisa memberangkatkan anaknya ke sekolah karena tak mampu beli seragam. Sementara para pencuri uang rakyat bersolek di ruang tahanan.
Coba kita jujur. Keadilan Tuhan akan sulit terwujud jika keadilan manusia tidak ditegakkan terlebih dahulu. Tuhan tidak mengubah kondisi suatu bangsa jika bangsanya tidak mengubahnya sendiri. Artinya, hak prerogratif itu ada di tangan kita, bukan Dia.
Jika negara ini ingin berhenti jadi panggung sirkus moral, maka perlu melakukan langkah berikut: Hukum mati koruptor kakap. Bukan soal balas dendam tapi efek jera. Negara China telah memberikan contoh konkret.
Perampasan aset hasil korupsi. Tak hanya milik koruptor tetapi juga keluarganya yang turut menikmati hasil kejahatan. Aset disita, dikembalikan ke rakyat, bukan sekadar dipamerkan dalam konferensi pers.
Penjara tanpa fasilitas istimewa.
Hilangkan sel “rasa hotel”. Koruptor harus merasakan penderitaan rakyat, bukan sekadar liburan di hotel dengan seragam oranye. Pemiskinan sosial dan politik; larangan seumur hidup menjabat di jabatan publik, organisasi, bahkan jabatan sosial. Jangan beri ruang tampil di media.
Ajarkan kurikulum anti korupsi sejak dini. Pendidikan moral dan integritas ditanamkan sejak SD, bukan sekadar pelajaran hafalan Pancasila dan doa-doa, tetapi melalui latihan intensif tentang tanggung jawab, kejujuran dan empati sosial.
Selama hukum hanya menjadi jaring laba-laba yang kuat menangkap nyamuk tapi rapuh saat menghadang elang, selama itu pula Indonesia akan terus menjadi negara yang dipimpin oleh para bedebah berseragam necis. Jika kita tidak mengubah sistem, jangan salahkan jika anak-anak kita kelak tidak hanya miskin secara ekonomi tapi juga melarat secara moral.
Dan, kepada Tuhan. Jika Engkau sedang membaca tulisan ini, mungkin saatnya mengutus nabi baru. Tapi jangan membawa wahyu, bawalah audit investigasi.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi