Sejarah mencatat tanggal 20 Mei 1908 sebagai hari penting lahirnya organisasi modern pertama di Indonesia, Budi Utomo.
Sebuah inisiatif dari kaum muda terdidik di kalangan priyayi Jawa, yang tak sekadar mendirikan organisasi sosial, tetapi memulai gerakan kesadaran kolektif tentang pentingnya persatuan dan pendidikan untuk kemajuan bangsa. Di tengah belenggu penjajahan kolonial.
Budi Utomo lahir sebagai simbol kebangkitan akal sehat, semangat nasionalisme, dan harapan akan masa depan yang lebih adil. Kini, lebih dari satu abad berlalu. Mengenang berdirinya Budi Utomo bukanlah ritual masa lalu semata, melainkan sebuah refleksi penting bagi generasi muda Indonesia di zaman kini.
Dalam suasana Hindia Belanda yang timpang, di mana akses pendidikan terbatas dan kesadaran kebangsaan masih terpecah-pecah oleh sekat suku, kelas, dan wilayah. Budi Utomo hadir membawa cahaya baru. Didirikan oleh Dr. Soetomo dan mahasiswa STOVIA lainnya, organisasi ini menandai pergeseran besar dalam cara pandang anak bangsa: dari ketundukan pada penjajah, menjadi keberanian untuk mengorganisasi diri, menyuarakan keadilan, dan menyusun kekuatan bersama.
Mereka sadar bahwa kemerdekaan bukan sesuatu yang turun dari langit, tetapi harus diperjuangkan dengan ilmu, kesadaran, dan kesatuan. Kini, ketika kita hidup dalam negara merdeka, dengan segala kebebasan dan kemudahan yang tak pernah dibayangkan oleh generasi 1908, seharusnya semangat Budi Utomo tidak luntur. Justru, generasi muda zaman sekarang memiliki tanggung jawab yang lebih besar: menjaga dan melanjutkan perjuangan itu dengan bentuk yang relevan dengan zaman.
Perjuangan saat ini bukan lagi melawan kolonialisme bersenjata, melainkan melawan ketidakpedulian, ketergantungan, dan keterjebakan dalam budaya instan yang mengikis daya juang. Kita hidup di era informasi yang bergerak cepat, tetapi ironisnya, semangat literasi dan pemikiran kritis justru melemah. Media sosial sering kali lebih membentuk persepsi publik daripada diskusi ilmiah atau pemahaman sejarah.
Di tengah banjir informasi, banyak anak muda justru kehilangan arah, terjebak pada popularitas semu, dan lupa bahwa sejarah bangsa ini dibangun dengan keringat dan pengorbanan. Mengenang Budi Utomo adalah upaya untuk menarik kembali kesadaran sejarah sebagai fondasi identitas dan motivasi perjuangan.
Budi Utomo tidak lahir dari generasi yang apatis. Ia lahir dari pemuda-pemuda terdidik yang rela meninggalkan kenyamanan demi memperjuangkan martabat bangsanya. Dalam konteks hari ini, semangat itu harus diterjemahkan dalam bentuk kontribusi nyata generasi muda terhadap bangsa: melalui inovasi, etos kerja, dan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan sosial. Indonesia butuh pemuda yang tidak hanya bangga menjadi anak bangsa, tapi juga siap mengubah bangsa ini menjadi lebih maju dan bermartabat.
Refleksi terhadap perjuangan Budi Utomo juga mengajarkan kita pentingnya kolaborasi lintas identitas. Organisasi itu tidak bergerak dalam semangat sektarian, melainkan mengajak semua anak bangsa untuk berpikir dan bertindak demi kepentingan bersama.
Ini adalah pelajaran penting di tengah arus polarisasi politik dan identitas yang kadang meretakkan persatuan kita. Generasi muda harus menjadi penenun kembali jalinan kebangsaan, bukan malah memperuncing perbedaan. Sebab dalam sejarah kita, kemajuan selalu datang ketika berbagai kelompok bersatu dalam visi yang sama Indonesia yang adil, berdaulat, dan sejahtera.
Di sisi lain, generasi muda juga perlu belajar bahwa perubahan besar tidak selalu lahir dari gerakan besar. Budi Utomo dimulai dari ruang kelas kecil, dari diskusi-diskusi sederhana, dan dari kemauan untuk bertindak.
Artinya, setiap pemuda punya potensi untuk menjadi agen perubahan, tak peduli latar belakangnya. Membaca, menulis, membangun komunitas, mengembangkan teknologi, menjaga integritas—semua adalah bentuk perjuangan yang jika dilakukan dengan tekun, akan menjadi kekuatan besar bagi bangsa.
Namun semua itu hanya mungkin jika generasi muda memiliki kesadaran sejarah. Tanpa mengenal siapa kita dan dari mana kita berasal, kita mudah terseret arus globalisasi yang mengikis jati diri.
Di sinilah pentingnya pendidikan sejarah yang membumi dan inspiratif, bukan sekadar hafalan nama dan tanggal. Budi Utomo harus diajarkan bukan hanya sebagai organisasi pertama, tapi sebagai simbol keberanian kaum muda yang melampaui batas zaman.
Kini, di tahun-tahun krusial menuju Indonesia Emas 2045, generasi muda memegang peran sentral. Mereka adalah penggerak ekonomi kreatif, penjaga demokrasi digital, dan pencipta narasi masa depan. Tapi peran itu hanya bisa dijalankan jika mereka punya jiwa sebagaimana pendiri Budi Utomo: berani berpikir, berani bertindak, dan berani bertanggung jawab atas nasib bangsanya.
Maka, mengenang Budi Utomo bukan hanya mengenang masa lalu. Ia adalah panggilan untuk masa depan. Ia adalah pengingat bahwa kemajuan tidak datang dari mereka yang pasrah, melainkan dari mereka yang gelisah melihat ketimpangan dan bertindak untuk mengubahnya.
Di tangan generasi mudalah semangat itu harus terus menyala, tidak sebagai kenangan, tetapi sebagai gerakan. Jika Budi Utomo mampu memulai kebangkitan bangsa dari ruang kelas sempit, maka hari ini, dengan teknologi dan akses pengetahuan yang luas, kita tidak punya alasan untuk tidak melanjutkan perjuangan itu.
Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kaya sumber daya, tapi bangsa yang besar karena semangat pemudanya untuk terus maju, menyatukan kekuatan, dan membela nilai-nilai luhur bangsanya.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi