Reog tak hanya sebuah tontonan kesenian tradisional yang menghibur, melainkan bentuk dari wujud manifestasi kompleks dari perlawanan budaya, kekuasaan spiritual, dan perenungan filosofis masyarakat Jawa.
Visualnya yang khas topeng besar dengan hiasan bulu merak, sosok macan yang garang, serta kehadiran tokoh Warok yang misterius merupakan rangkaian simbol yang berbicara tentang lebih dari sekadar estetika.
Di balik kemegahannya tersembunyi narasi panjang tentang identitas lokal, perlawanan terhadap kekuasaan, serta upaya menjaga spiritualitas dan kearifan lokal di tengah arus zaman.
Topeng besar yang dikenal sebagai Dadak Merak adalah elemen paling mencolok dalam kesenian ini. Berbentuk kepala singa atau macan dengan hiasan bulu merak yang menjulang tinggi, topeng ini tidak hanya menunjukkan kekuatan fisik penarinya yang memanggul beban seberat 50 kilogram hanya dengan gigi tetapi juga menjadi lambang kekuasaan.
Singa atau macan melambangkan kekuatan raja, sementara bulu merak yang indah dan berlapis-lapis mencerminkan tipu daya dan kemewahan istana.
Dalam perspektif budaya Jawa, seperti yang sering dikatakan budayawan Sindhunata, kekuasaan bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga soal kelicikan yang tersembunyi di balik keindahan.
Dengan demikian, Dadak Merak tidak hanya tampil sebagai simbol kemegahan, melainkan juga sebagai sindiran halus terhadap elit kekuasaan yang gemar menutupi ketimpangan dengan kemewahan.
Reog Ponorogo sendiri memiliki akar sejarah yang cukup jelas. Ia diyakini berasal dari masa transisi antara runtuhnya Kerajaan Majapahit dan bangkitnya Kesultanan Islam di Demak, sekitar abad ke-15.
Dikisahkan bahwa pencipta awal Reog adalah Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan yang kecewa terhadap arah politik Majapahit.
Melalui pertunjukan seni, ia menyampaikan kritiknya terhadap penguasa. Tokoh Singa Barong menjadi representasi dari raja yang tamak dan arogan, sedangkan tokoh-tokoh lain dalam Reog adalah gambaran masyarakat yang berusaha melawan dengan cara simbolik.
Pertunjukan Reog menjadi saluran aspirasi, bentuk seni yang menyamar sebagai kritik sosial-politik.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan Y.B. Mangunwijaya, seni adalah ruang persembunyian terakhir bagi suara-suara yang dibungkam.
Dalam konteks Reog, suara itu muncul dalam tarian, topeng, dan keteguhan spiritual sang Warok.
Tokoh Warok dalam Reog memegang peran kunci dalam konteks spiritual dan filosofi. Kata “Warok” berasal dari wewarah, yang berarti memberikan petunjuk.
Warok bukan hanya penampil, melainkan juga pemimpin moral dan spiritual dalam masyarakat. Ia digambarkan sebagai laki-laki kuat yang hidup dalam laku prihatin—menghindari kesenangan duniawi demi menjaga kesaktiannya.
Warok menjadi penjaga keseimbangan, tokoh kebatinan yang menjalankan ajaran tradisi Jawa yang sinkretik dan penuh nilai-nilai spiritual lokal.
Dalam mitologi dan cerita rakyat, Warok bahkan dianggap mampu mengakses kekuatan supranatural, menjadi penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib.
Dalam tradisi ini pula lahir praktik-praktik yang sering disalahpahami, seperti hubungan simbolik dengan gemblakan yang bagi sebagian orang dilihat secara moral ambigu, padahal dalam konteks tradisional, hal tersebut lebih merupakan bagian dari simbol keseimbangan energi dan pengendalian hawa nafsu.
Tokoh-tokoh lain dalam pertunjukan Reog seperti Bujang Ganong atau Kelana Sewandana tidak kalah penting dalam membangun narasi filosofis.
Wajah-wajah raksasa yang ditampilkan adalah perwujudan dari sifat dasar manusia amarah, ambisi, dan nafsu kekuasaan. Kelana Sewandana, yang digambarkan sebagai raja sombong yang ingin meminang putri Sanggalangit dengan paksa, merupakan simbol keangkaramurkaan.
Sementara Bujang Ganong, dengan gerakan lincah dan lucunya, menjadi penyeimbang narasi ia adalah karakter yang menunjukkan keberanian rakyat kecil yang cerdik dan cepat tanggap.
Kedua tokoh ini memainkan peran penting dalam mengajak penonton merefleksikan watak manusia dan bagaimana sikap-sikap itu harus dikendalikan, sebagaimana ajaran Jawa tentang pentingnya menguasai diri sebelum menguasai dunia.
Yang menarik, dalam setiap pertunjukan Reog, terdapat dualitas yang selalu hadir: antara kekuasaan dan rakyat, antara kegelapan dan pencerahan, antara jasmani dan rohani.
Reog seolah menjadi cermin dari dinamika masyarakat Jawa yang selalu mencari keseimbangan dalam menghadapi perubahan zaman. Ia tidak melawan secara frontal, tetapi mengalir seperti air, menyelipkan kritik dalam keindahan, menyuarakan keresahan dalam keheningan. Itulah kekuatan Reog ia tidak berteriak, tetapi menggetarkan.
Dalam konteks kekinian, Reog menghadapi tantangan besar: dari arus globalisasi, ancaman klaim budaya, hingga komersialisasi yang kerap mereduksi kedalamannya hanya menjadi tontonan wisata.
Namun demikian, semangat yang terkandung dalam Reog tetap relevan: keberanian untuk menjaga jati diri, kebijaksanaan dalam menghadapi kekuasaan, dan keteguhan dalam merawat spiritualitas lokal.
Peran generasi muda sangat penting bukan hanya dalam mempelajari teknik tari dan irama musiknya, tetapi juga dalam memahami akar sejarah, nilai-nilai simbolik, dan pesan moral di dalamnya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Emha Ainun Nadjib, kita tidak akan pernah menjadi bangsa besar jika tak mengenali dan menghargai akar kebudayaan sendiri.
Reog Ponorogo adalah salah satu akar itu kokoh, dalam, dan penuh makna. Ia bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan lentera yang bisa menerangi arah masa depan.
Menjaga Reog bukan hanya soal mempertahankan tradisi, tetapi juga mempertahankan cara pandang terhadap hidup, manusia, dan dunia yang lebih seimbang dan bermakna.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi