Pasca Pemilu 2024 dinamika politik Indonesia penuh gejolak, praktik delegitimasi pemerintah tampak semakin menonjol mengisi ruang media, baik media mainstream maupun media sosial
Meski pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum dan Mahkamah Konstitusi telah memutus sengketa hasil secara resmi. Gelombang penolakan terhadap legitimasi kekuasaan ini tidak mereda.
Bahkan, muncul dua narasi besar yang digunakan sebagai senjata untuk mendelegitimasi pemerintahan yakni isu ijazah palsu Presiden Joko Widodo dan gugatan terhadap posisi Gibran sebagai wakil presiden yang dianggap inkonstitusional.
Dua isu ini menggambarkan bagaimana pertarungan politik di Indonesia kini tidak hanya terjadi di dalam parlemen atau kotak suara dalam Pemilu, tetapi juga di ruang opini publik dan media sosial.
Isu ijazah palsu Jokowi bukanlah hal baru, namun ia terus dihidupkan bahkan setelah Jokowi memasuki masa akhir jabatannya.
Meski berbagai pengadilan telah memutuskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar, isu tetap kembali diangkat untuk menyerang legitimasi moral dan historis Jokowi, yang dinilai turut memberi jalan bagi Gibran maju sebagai cawapres melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.
Dalam konstruksi narasi ini, jika Jokowi dianggap bukan presiden yang sah sejak awal, maka segala kebijakan, pengaruh, dan bahkan 'warisan politik' yang ia tinggalkan menjadi cacat sejak akarnya.
Ini adalah bentuk delegitimasi total yang tidak hanya menyerang personalitas Jokowi, tetapi juga institusi kepresidenan itu sendiri.
Sementara itu, gugatan terhadap status Gibran sebagai wakil presiden terpilih juga menjadi salah satu titik panas delegitimasi politik saat ini.
Sejumlah pihak, termasuk tokoh masyarakat dan aktivis demokrasi, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) agar membatalkan pencalonan Gibran karena dinilai melanggar prinsip keadilan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden di menit-menit akhir—dan dalam posisi ketua majelisnya adalah paman Gibran—dipersepsikan sebagai bentuk intervensi kekuasaan.
Ini menjadi bahan bakar utama kampanye delegitimasi yang menyebut kemenangan Prabowo-Gibran sebagai hasil dari rekayasa hukum, bukan kehendak rakyat yang murni.
Menurut Dr. Indra Prawira, pakar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada, pola ini menunjukkan bahwa delegitimasi di Indonesia berkembang dari sekadar kritik menjadi serangan yang terstruktur dan simbolik.
“Kita melihat bagaimana simbol-simbol kenegaraan dijadikan sasaran. Mulai dari ijazah presiden, integritas Mahkamah Konstitusi, hingga kemurnian proses pemilu,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kampanye delegitimasi ini bukan tanpa efek. “Jika narasi-narasi ini terus disebarluaskan, akan tercipta persepsi luas di masyarakat bahwa negara dikuasai oleh kelompok yang bermain curang, dan itu berbahaya bagi stabilitas demokrasi.”
Sayangnya, di era media sosial, narasi seperti ini sulit dibendung. Disinformasi menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasi.
Potongan video, meme, dan teori konspirasi bertebaran, membentuk opini publik yang kadang lebih percaya pada wacana viral daripada dokumen resmi atau keputusan hukum.
Dalam situasi ini, pemerintah seperti terjebak dalam posisi defensif. Setiap penjelasan atau klarifikasi dianggap sebagai pembelaan yang lemah atau malah menambah kecurigaan.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah, institusi hukum, dan proses demokrasi secara keseluruhan terus mengalami erosi.
Prof. Lili Ramadhani, ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia, mengingatkan bahwa delegitimasi yang dibiarkan tanpa penanganan institusional akan berujung pada delegitimasi hukum secara keseluruhan.
“Ketika masyarakat percaya bahwa presiden sebelumnya tidak sah dan wakil presiden terpilih melanggar konstitusi, maka semua keputusan politik yang diambil pemerintahan baru akan dianggap cacat. Ini berbahaya, karena dapat membuka ruang bagi disobedience sipil, bahkan kerusuhan,” katanya.
Ia juga menilai bahwa Mahkamah Konstitusi telah gagal menjaga marwahnya dalam putusan soal Gibran, dan itu memberi amunisi bagi pihak-pihak yang ingin menggugat legitimasi kekuasaan.
Namun ia juga mengingatkan bahwa “perbaikan sistem tidak bisa dilakukan melalui delegitimasi total. Kita tetap harus menjaga pilar-pilar konstitusi sambil mendorong reformasi kelembagaan secara elegan.”
Respons pemerintah atas isu-isu ini juga menjadi sorotan. Dalam beberapa kasus, justru pendekatan yang digunakan malah memperkuat narasi lawan politik.
Misalnya, saat pihak yang mempertanyakan ijazah Jokowi dilaporkan ke polisi atau akun-akun kritis diblokir, publik tidak melihat ini sebagai bentuk penegakan hukum, melainkan pembungkaman.
Pemerintah harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pendekatan koersif yang justru memperparah krisis legitimasi.
Delegitimasi memang bagian dari dinamika politik, terutama dalam sistem demokrasi terbuka.
Namun jika delegitimasi dibangun dengan narasi hoaks, fitnah, dan manipulasi hukum, maka ia bisa menjadi instrumen yang merusak tatanan negara.
Di sisi lain, jika pemerintah menanggapi dengan sikap anti-kritik dan tertutup terhadap transparansi, maka kepercayaan publik akan terus melemah.
Jalan tengahnya adalah dengan membuka ruang diskusi yang sehat, menjawab keraguan publik secara terbuka dan faktual, serta menunjukkan kinerja pemerintahan yang kuat dan inklusif.
Pada akhirnya, legitimasi bukan hanya soal siapa yang menang pemilu, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dijalankan.
Isu-isu seperti ijazah Jokowi atau pencalonan Gibran bisa saja mereda seiring waktu, tetapi luka kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi tidak akan sembuh dengan sendirinya.
Pemerintah ke depan harus menunjukkan bahwa mereka bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga layak secara etika dan demokratis.
Karena dalam politik, kepercayaan adalah modal yang lebih berharga daripada kekuasaan itu sendiri.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi