x
x

Mengapa, Negara Mayoritas Pemeluk Agama Samawi Sering Konflik ?

Di tengah percaturan geopolitik global, pertanyaan mengapa negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama samawi Yahudi, Kristen, dan Islam sering kali mengalami konflik, sementara negara-negara yang tidak menempatkan agama sebagai ideologi utama justru cenderung lebih damai dan maju, merupakan sebuah pertanyaan yang kompleks, namun menarik untuk diurai.

Agama, sebagai sistem kepercayaan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, seharusnya menjadi sumber kedamaian, moralitas, dan keadaban. Namun, sejarah mencatat bahwa justru di wilayah-wilayah yang kuat dengan identitas keagamaan samawi, konflik kekerasan sering kali terjadi dan berkepanjangan.

Salah satu alasan utama adalah karena agama-agama samawi memiliki klaim kebenaran absolut yang tidak mudah didamaikan satu sama lain. Islam, Kristen, dan Yahudi masing-masing meyakini dirinya sebagai jalan yang benar menuju Tuhan, bahkan dalam narasi teologisnya, saling mengklaim warisan spiritual yang sama.

Yerusalem, misalnya, adalah kota suci bagi ketiga agama tersebut dan telah menjadi pusat konflik selama ribuan tahun. Hingga kini, kota ini menjadi simbol dari ketegangan yang tak kunjung usai antara Israel dan Palestina, antara Yahudi, Kristen, dan Muslim, yang masing-masing melihat dirinya sebagai pewaris sah dari tanah yang sama.

Ketegangan keagamaan, yang dibalut oleh isu politik, etnisitas, dan nasionalisme, berubah menjadi kekerasan struktural yang sulit dipadamkan. Ambil contoh Timur Tengah. Kawasan ini adalah pusat kelahiran agama-agama samawi dan sekaligus merupakan kawasan paling bergolak di dunia. Irak, Suriah, Yaman, dan Libya telah mengalami perang saudara yang menghancurkan selama lebih dari satu dekade.

Meskipun akar konflik di negara-negara tersebut tidak semata-mata religius, identitas keagamaan sering dijadikan alat mobilisasi massa, justifikasi kekuasaan, dan penggiringan opini publik.

Sunni melawan Syiah, Islam melawan Barat, atau dalam kasus Israel-Palestina, Yahudi melawan Muslim semuanya menggunakan agama sebagai identitas yang mengeras, menciptakan polarisasi dan memperkuat garis batas antara "kita" dan "mereka".

Agama juga sering dimanfaatkan oleh elit politik untuk mengamankan legitimasi kekuasaan. Di banyak negara dengan mayoritas penganut agama samawi, agama dijadikan fondasi ideologi negara, bukan semata sebagai urusan spiritual pribadi.

Akibatnya, agama menjadi sangat politis. Ketika agama dijadikan alat negara, maka setiap perbedaan tafsir dianggap sebagai ancaman. Lihat saja Arab Saudi yang menjadikan Wahhabisme sebagai pijakan ideologis negara. Pemerintah mengontrol narasi keagamaan dan menggunakan hukum syariah sebagai alat kekuasaan.

Dalam situasi seperti ini, oposisi agama atau interpretasi berbeda dianggap sebagai pemberontakan. Rezim menjadi represif atas nama kesucian agama, bukan atas dasar hukum yang netral dan rasional.

Sementara itu, negara-negara yang lebih sekuler, yang tidak menempatkan agama sebagai ideologi utama dalam penyelenggaraan negara, justru menunjukkan tingkat kedamaian dan kemajuan yang lebih tinggi.

Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark bisa dijadikan contoh. Mereka adalah negara-negara yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu, termasuk kebebasan beragama, namun agama tidak menjadi pusat dari sistem hukum atau pemerintahan.

Justru karena agama diletakkan dalam ranah privat, tidak dipolitisasi, dan tidak dijadikan alat identitas eksklusif, masyarakatnya cenderung lebih toleran dan damai.

 

Tingkat kekerasan rendah, kesejahteraan tinggi, dan masyarakatnya terbuka terhadap perbedaan. Jerman, sebagai contoh lain, adalah negara yang berhasil bangkit dari reruntuhan Perang Dunia II menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan teknologi dunia.

Negara ini menjunjung tinggi prinsip sekularisme dalam pemerintahan meskipun memiliki sejarah panjang Kristen di dalam budayanya.  Agama tidak dihapus, namun diposisikan secara proporsional. Kepercayaan menjadi urusan individu, sementara negara mengatur kehidupan bersama dengan hukum positif yang rasional.

Inilah kunci dari stabilitas sosial yang langgeng: ketika agama dihormati, tapi tidak dipaksakan sebagai ideologi negara. Konflik bukan semata terjadi karena agama, tetapi karena cara manusia memperlakukan agama.

Ketika iman dijadikan alat kekuasaan, sumber identitas politik, dan pembenaran untuk menindas yang berbeda, maka agama kehilangan fungsi spiritualnya dan berubah menjadi ideologi eksklusif yang destruktif.

Dalam kondisi ini, konflik adalah keniscayaan. Sebaliknya, negara-negara yang memilih jalan sekularisme bukan berarti anti-agama, melainkan memisahkan agama dari urusan pemerintahan agar tidak ada satu pun kelompok yang merasa lebih benar secara absolut dan layak mengatur yang lain atas nama Tuhan.

India, misalnya, menjadi menarik untuk diamati.

Negara ini bukanlah negara samawi, tetapi memiliki tantangan serupa: keragaman agama dan etnis yang tinggi. Namun, konstitusinya menjamin sekularisme sebagai dasar negara, meskipun dalam praktiknya akhir-akhir ini muncul gejala politisasi agama.

Ketika politik menyusupi agama, kekerasan dan polarisasi mudah tumbuh. Ini menegaskan bahwa damai tidak ditentukan oleh agama apa yang dianut masyarakat, tetapi bagaimana negara mengelola keberagaman itu dengan adil dan rasional.

Dengan demikian, yang menjadi masalah bukanlah agama itu sendiri, melainkan sikap manusia terhadap agama. Ketika agama disakralkan secara eksklusif, dijadikan simbol superioritas kelompok, dan ditarik ke ranah politik praktis, maka perpecahan adalah akibat logis.

Negara-negara yang berhasil menempatkan agama secara proporsional, sebagai bagian dari kebebasan pribadi dan bukan ideologi negara, justru lebih mampu membangun masyarakat yang inklusif, damai, dan maju. Maka dari itu, dunia tidak kekurangan agama, yang kurang adalah kebijaksanaan dalam memaknai dan mengelolanya.

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi  Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Berita Terbaru
Selasa, 08 Jul 2025 19:58 WIB

Kadin Jatim Sebut Tarif Impor AS 32% Justru Bikin Peluang Besar Ekspor Tekstil

JATIMKINI.COM, Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diterapkan pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap produk dari berbagai negara Asia menciptakan
Selasa, 08 Jul 2025 18:06 WIB

Problem Pendidikan, SDN Sepi Peminat

Di tengah mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045, negeri ini justru dihantui fenomena penuh tanda tanya, mengapa Sekolah Dasar Negeri makin ditinggalkan
Selasa, 08 Jul 2025 16:21 WIB

PLN Elektrifikasi 21 Ribu Petani Buah Naga di Banyuwangi, Dorong Ekonomi Kerakyatan

PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor pertanian berkelanjutan melalui program electrifyin
Selasa, 08 Jul 2025 15:37 WIB

Frank & co., Hadirkan Kemewahan Intim di Tengah Kota Surabaya

Frank & co., membuka gerai kelima di Surabaya, yang mengusung berlian dengan konsep perpaduan keintiman dan kemewahan menyatu.
Selasa, 08 Jul 2025 14:35 WIB

Pelatihan SDM Jadi Kunci TPS Tingkatkan Kinerja Terminal

TPS menjawab tantangan tata kelola pelabuhan melalui pelatihan SDM guna mendorong transformasi terminal bertaraf internasional.
Selasa, 08 Jul 2025 13:17 WIB

Kelompok Mahasiswa 96 UPN Veteran Dampingi RW 5 Pilang Makmur. Tujuaannya Ini

Guna menyiapkan kegiatan Lomba Kelurahan Berseri tingkat Kota Surabaya kelompok mahasiwa KKN 96 Universitas Pembanguna Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur