Dalam perjalanan spiritual bangsa Indonesia, khususnya di tanah Jawa, terdapat simpul-simpul kebudayaan dan keyakinan yang tak mudah dilepaskan satu sama lain. Islam sebagai agama mayoritas yang masuk ke Jawa sejak abad ke-13 tidak datang dalam ruang hampa. Ia berjumpa dengan warisan kosmologi dan kepercayaan lokal yang sudah berakar jauh sebelumnya terutama keyakinan dalam kepercayaan Jawa yang bersifat sinkretik, mistis, dan sarat simbol.
Persinggungan antara Islam dan kepercayaan Jawa bukanlah kisah benturan, melainkan perjumpaan panjang yang saling mempengaruhi dan membentuk karakter religiositas masyarakat Jawa yang unik. Di titik inilah, konsep Ketuhanan menjadi ruang dialog yang paling menarik untuk direnungkan. Dalam Islam, konsep Ketuhanan bersandar pada tauhid yang tegas dan tidak terbagi: “L ilha ill Allh” tiada Tuhan selain Allah.
Tauhid adalah dasar segala ajaran, dan dari sanalah seluruh sistem keimanan, ibadah, hingga akhlak berpijak. Tuhan dalam Islam adalah Maha Esa, transenden, dan sekaligus imanen melalui sifat-sifat-Nya yang terungkap dalam Asmaul Husna. Ia bukan sekadar objek ibadah, tetapi juga inti dari eksistensi, pengatur seluruh alam, dan sumber segala kebenaran. Dalam Islam, hubungan manusia dengan Tuhan bersifat langsung, personal, tetapi juga normatif karena terikat syariat dan ketentuan-ketentuan yang bersumber dari wahyu.
Sementara itu, dalam tradisi kepercayaan Jawa yang kerap disebut kejawen atau ajaran kebatinan konsep Ketuhanan memiliki warna yang berbeda. Tuhan dikenal sebagai "Sang Hyang Tunggal", "Gusti Kang Murbeng Dumadi", atau "Sangkan Paraning Dumadi", yaitu asal dan tujuan dari segala yang ada.
Tuhan dalam kejawen tidak banyak dibicarakan dalam definisi teologis, tetapi lebih dirasakan dalam keheningan batin, dalam keselarasan antara manusia, alam, dan semesta.
Hubungan manusia dengan Tuhan dicapai melalui laku batin, tapa, semedi, dan pencarian jati diri. Tuhan tidak semata-mata dipandang secara personal, tetapi sebagai kekuatan semesta yang menyatu dalam diri dan lingkungan.
Perbedaan utama antara Islam dan kejawen dalam memandang Tuhan bukan pada intensitas penghayatan, melainkan pada pendekatan epistemologisnya. Islam memulai dari wahyu, dari teks kitab suci Qur'an yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, sedangkan kejawen memulai dari pengalaman batin dan intuisi manusia yang mencari makna terdalam dari hidup dan semesta.
Kejawen tidak memiliki kitab suci yang baku, tidak pula memiliki syariat formal, namun memiliki sistem nilai yang hidup dalam simbol, ritual, dan etika kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran kejawen, menjadi manusia yang "manunggal" dengan semesta dan Tuhan adalah puncak dari perjalanan spiritual, bukan dalam bentuk penyatuan esensial (pantheisme), melainkan kesadaran akan keterhubungan total antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Meskipun demikian, sejarah membuktikan bahwa antara Islam dan kejawen tidaklah saling meniadakan. Walisongo sebagai penyebar Islam di tanah Jawa memahami betul kearifan lokal dan menjadikannya sebagai jembatan dakwah. Sunan Kalijaga, misalnya, adalah tokoh yang mampu mensintesiskan nilai-nilai Islam dengan simbol-simbol budaya Jawa. Ia tidak memaksakan bentuk keberagamaan Arab dalam konteks Jawa, melainkan mengislamkan nilai-nilai lokal dengan ruh tauhid.
Wayang, gamelan, dan tembang-tembang macapat digunakan untuk menyampaikan nilai-nilai Islam dalam bahasa yang bisa diterima oleh masyarakat Jawa. Bahkan ajaran tentang Tuhan pun tidak dicabut dari akar spiritualitas Jawa, tetapi dibimbing menuju pencerahan tauhid. Fenomena seperti ini melahirkan bentuk Islam Jawa yang khas: Islam yang bersahaja, batiniah, dan sering kali tidak dogmatis. Banyak masyarakat Jawa yang secara formal menjalankan Islam, tetapi tetap menyimpan kearifan kejawen dalam praktik hidup mereka. Tradisi selamatan, slametan, ziarah kubur, tirakat, dan sesajen bukan sekadar ritus kosong, melainkan bentuk dari pencarian harmoni antara manusia dengan kekuatan tak kasat mata yang diyakini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konteks inilah, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi jembatan konseptual yang cerdas dan inklusif. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan sekadar kompromi politik, tetapi juga cermin dari realitas kultural dan spiritual bangsa ini.
Ia mampu menampung gagasan Ketuhanan dari berbagai agama dan kepercayaan tanpa mereduksi esensinya. Dalam Islam, sila ini menyatu dengan tauhid. Dalam kejawen, sila ini menyatu dengan kesadaran kosmis akan Sang Pencipta.
Negara tidak memaksa bentuk ibadah tertentu, tetapi mengakui hak setiap warga untuk menyembah Tuhan sesuai keyakinannya. Ini bukan bentuk relativisme, tetapi pengakuan bahwa jalan menuju Tuhan bisa memiliki bahasa dan simbol yang berbeda, selama mengarah pada kebaikan, keadilan, dan kedamaian.
Namun demikian, harmoni ini tetap perlu dirawat dengan kecermatan intelektual dan kedewasaan spiritual. Islam tidak boleh terjebak pada eksklusivisme yang menolak dialog, sementara kejawen pun perlu terbuka terhadap nilai-nilai universal yang dibawa oleh agama samawi.
Keduanya bisa saling mengingatkan: Islam mengajarkan arah dan struktur, kejawen mengajarkan kedalaman dan keluwesan. Jika keduanya bersatu, bukan hanya akan memperkaya spiritualitas bangsa, tetapi juga menciptakan model keberagamaan yang inklusif, damai, dan berakar dalam budaya sendiri.
Maka, memahami konsep Ketuhanan dalam dua ajaran ini bukan berarti membenturkan, tetapi merangkul perbedaan dalam satu nafas pencarian yang sama.
Baik Islam maupun kejawen sesungguhnya sedang menuju pada sumber yang satu Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan cara adalah keniscayaan, tetapi tujuan akhir adalah ketenangan batin, kedekatan dengan Sang Pencipta, dan perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi