x
x

Memahami Dan Memaknai Hadist

Dalam sejarah panjang Islam, hadis menempati posisi yang sangat penting sebagai salah satu sumber ajaran setelah Al-Qur’an. Hadist merupakan kumpulan perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang menjadi rujukan dalam menjabarkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an.

Namun, tidak sedikit dari umat Islam yang belum memahami bahwa penyusunan hadist sebagai karya kodifikasi tertulis tidak terjadi pada masa Nabi hidup, melainkan baru berlangsung ratusan tahun setelah wafatnya Rasulullah.

Hal ini telah membuka ruang bagi kemunculan hadis-hadis palsu (maudhu') dan kesalahan dalam penafsiran yang berujung pada sikap keberagamaan yang sempit dan kaku.  Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memaknai hadis dengan pendekatan yang cerdas dan kritis agar tidak terjebak dalam dogmatisme yang membatasi akal dan nurani.

Rasulullah SAW wafat pada tahun 632 Masehi. Sementara itu, tokoh-tokoh besar dalam dunia periwayatan dan kodifikasi hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan lainnya lahir dan hidup lebih dari satu abad setelah wafatnya Nabi.

Misalnya, Imam Bukhari, penyusun kitab Shahih al-Bukhari yang sangat masyhur, lahir pada tahun 810 M, sekitar 178 tahun setelah wafatnya Nabi. Imam Muslim, penyusun Shahih Muslim, lahir pada tahun 821 M. Imam Abu Dawud lahir pada 817 M, sementara Imam Tirmidzi lahir pada 824 M.

Jelas bahwa para penyusun hadis itu hidup dalam konteks sejarah dan budaya yang sangat berbeda dari zaman Nabi. Maka, kerja mereka bukan hanya sekadar mengumpulkan ucapan Nabi, tetapi juga memilah mana yang sahih, mana yang dhaif, dan mana yang palsu, melalui metode ilmiah yang sangat ketat.

Metode yang mereka gunakan dikenal sebagai ilmu al-jarh wa al-ta'dil, yaitu ilmu yang meneliti kejujuran dan kapasitas intelektual para perawi hadist.  Mereka menelusuri mata rantai sanad hadis dengan sangat cermat, mengevaluasi apakah seorang perawi dapat dipercaya, apakah ia sezaman dengan perawi sebelumnya, apakah ada catatan bahwa ia pernah berdusta atau memiliki ingatan yang lemah, dan seterusnya.

Kerja ini sangat monumental dan menjadi tonggak penting dalam sejarah pemikiran Islam. Namun, meskipun sudah menggunakan metodologi ilmiah yang ketat, tetap ada ruang bagi kekeliruan, bias, bahkan kepentingan politik atau ideologis yang bisa memengaruhi validitas sebagian riwayat.

Salah satu tantangan terbesar dalam memahami hadis adalah membedakan antara konteks sejarah (asbab al-wurud) dan pesan universalnya.

Banyak hadist yang lahir sebagai respon terhadap situasi sosial-politik di masa Nabi, yang mungkin tidak relevan secara literal dalam konteks modern. Misalnya, hadis-hadis yang membahas soal perbudakan, peran perempuan, atau hukum-hukum yang berkaitan dengan peperangan, sering kali dipahami secara sempit dan tekstual oleh sebagian kalangan tanpa mempertimbangkan konteks historisnya.

Akibatnya, hadist diperlakukan seperti teks hukum yang kaku, bukan sebagai sumber inspirasi etis yang hidup dan dinamis. Agar tidak terjebak dalam cara pandang dogmatis, penting bagi umat Islam masa kini untuk membaca hadis dengan pendekatan hermeneutika kontekstual.

Ini berarti kita perlu memahami latar sosial, budaya, dan politik ketika hadist itu muncul, serta menimbang kesesuaian maknanya dengan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan yang menjadi inti ajaran Islam.

Para ulama besar dalam sejarah Islam, seperti Imam al-Ghazali dan Ibn Rushd, sudah lama mengingatkan bahwa akal sehat dan ilmu pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari interpretasi agama.

Bahkan, Umar bin Khattab sendiri pernah membatalkan praktik yang berdasarkan teks hadis karena ia menilai bahwa situasi sosial saat itu sudah berbeda dari zaman Nabi. Sayangnya, dalam sebagian besar pendidikan Islam tradisional, pendekatan kritis terhadap hadist sering dianggap tabu. Mengkritisi sanad atau matan hadis, atau menolak hadis yang bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan, sering kali dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap sunnah Nabi.

Padahal, justru semangat untuk menyaring hadis berdasarkan nilai dan konteks adalah wujud kecintaan terhadap Nabi yang sejati yakni dengan menjaga agar ajarannya tidak disalahgunakan untuk kepentingan ideologis atau politik yang menyimpang.

Sejarah Islam juga mencatat bahwa hadis palsu bukan sekadar isu akademis, melainkan juga alat kekuasaan.  Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, hadis-hadis tertentu disebarluaskan untuk melegitimasi kekuasaan, mengerdilkan kelompok oposisi, atau mengatur norma sosial sesuai kepentingan elite politik.

Maka tidak heran jika sebagian hadis mengandung glorifikasi terhadap penguasa tertentu atau pernyataan-pernyataan yang melemahkan peran kritis rakyat.  Dalam konteks inilah, upaya memilah dan memahami hadist secara mendalam menjadi tugas intelektual dan spiritual yang sangat mendesak bagi umat Islam kontemporer.

Dengan membaca hadis secara cerdas yakni tidak hanya menghafalnya tetapi juga mengkaji sanad, matan, serta relevansinya kita akan terhindar dari jebakan pemikiran tekstual yang rigid.

Kita bisa menumbuhkan sikap keagamaan yang inklusif, humanis, dan berorientasi pada tujuan-tujuan mulia Islam itu sendiri: keadilan, kemaslahatan, dan kasih sayang.

Sebab, pada akhirnya, Nabi Muhammad sendiri dikenal bukan semata karena kata-katanya yang dikutip, melainkan karena akhlaknya yang mulia, yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, memahami hadis bukan sekadar menghafal lafaz dan sanad, tetapi juga menghidupkan semangat profetik yang menjadi ruh ajaran Islam.  Kita perlu terus belajar, menggali,memahami dan mendialogkan hadis dengan realitas kekinian. Agar warisan Nabi tidak membatu dalam doktrin dangkal, tetapi mengalir sebagai hikmah yang mampu menerangi zaman. Karena Islam hakekatnya adalah Agama Rahmatan Lil Alamin

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi  Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

Berita Terbaru
Selasa, 08 Jul 2025 19:58 WIB

Kadin Jatim Sebut Tarif Impor AS 32% Justru Bikin Peluang Besar Ekspor Tekstil

JATIMKINI.COM, Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diterapkan pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap produk dari berbagai negara Asia menciptakan
Selasa, 08 Jul 2025 18:06 WIB

Problem Pendidikan, SDN Sepi Peminat

Di tengah mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045, negeri ini justru dihantui fenomena penuh tanda tanya, mengapa Sekolah Dasar Negeri makin ditinggalkan
Selasa, 08 Jul 2025 16:21 WIB

PLN Elektrifikasi 21 Ribu Petani Buah Naga di Banyuwangi, Dorong Ekonomi Kerakyatan

PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor pertanian berkelanjutan melalui program electrifyin
Selasa, 08 Jul 2025 15:37 WIB

Frank & co., Hadirkan Kemewahan Intim di Tengah Kota Surabaya

Frank & co., membuka gerai kelima di Surabaya, yang mengusung berlian dengan konsep perpaduan keintiman dan kemewahan menyatu.
Selasa, 08 Jul 2025 14:35 WIB

Pelatihan SDM Jadi Kunci TPS Tingkatkan Kinerja Terminal

TPS menjawab tantangan tata kelola pelabuhan melalui pelatihan SDM guna mendorong transformasi terminal bertaraf internasional.
Selasa, 08 Jul 2025 13:17 WIB

Kelompok Mahasiswa 96 UPN Veteran Dampingi RW 5 Pilang Makmur. Tujuaannya Ini

Guna menyiapkan kegiatan Lomba Kelurahan Berseri tingkat Kota Surabaya kelompok mahasiwa KKN 96 Universitas Pembanguna Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur