x
x

Transformasi Tiongkok Keluar Dari Kemiskinan

Minggu, 01 Jun 2025 12:30 WIB

Reporter : Redaksi

Transformasi Republik Rakyat Tiongkok dari negara miskin dan tertutup menjadi kekuatan ekonomi dunia adalah salah satu cerita paling dramatis dalam sejarah modern.
 
Dalam kurun waktu kurang dari lima dekade, negara berpenduduk lebih dari 1,4 miliar jiwa ini berhasil mencengangkan dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten, terstruktur, dan penuh perhitungan.
 
Dulu, Tiongkok hanyalah negara agraris dengan rakyat hidup dalam kemiskinan yang sistemik. Namun kini, Tiongkok menjadi poros utama dalam arsitektur perdagangan global, bahkan mulai menyaingi dominasi Amerika Serikat di berbagai sektor strategis.
 
Kebangkitan Tiongkok sebagai raksasa ekonomi tidak terjadi secara kebetulan. Titik balik paling signifikan dalam sejarah ekonomi Tiongkok terjadi pada akhir dekade 1970-an, tepatnya sejak Deng Xiaoping mengambil alih kekuasaan setelah era Mao Zedong berakhir.
 
Di bawah kepemimpinan Deng, Tiongkok melakukan reformasi besar-besaran dalam kebijakan ekonominya. Ia tidak menggulingkan sistem komunis yang mendasari negara itu, tetapi mereformasinya secara pragmatis.
 
Deng memperkenalkan konsep “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok,” yang pada dasarnya adalah perpaduan antara sistem ekonomi pasar bebas dan kendali negara yang kuat. Langkah awal yang dilakukan adalah membuka Tiongkok kepada investasi asing dan memulai eksperimen ekonomi di wilayah pesisir seperti Shenzhen. Daerah ini kemudian menjelma menjadi zona ekonomi khusus yang mendorong masuknya modal asing dan transfer teknologi.
 
Deng pernah berkata, “Tidak peduli kucing itu berwarna putih atau hitam, selama ia bisa menangkap tikus, itu adalah kucing yang baik.” Kutipan itu mencerminkan pendekatan pragmatis pemerintah Tiongkok yang tidak terjebak pada ideologi kaku, melainkan berfokus pada hasil konkret: pertumbuhan dan kesejahteraan.
 
Dalam tiga dekade setelah reformasi itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok melonjak. Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat secara eksponensial, dan ratusan juta penduduk keluar dari garis kemiskinan. Infrastruktur dibangun besar-besaran bandara, pelabuhan, jalur kereta cepat, dan kawasan industri.
 
Pendidikan dan teknologi menjadi prioritas nasional. Pemerintah juga aktif mengembangkan manufaktur sebagai tulang punggung ekspor. Lambat laun, Tiongkok tidak hanya menjadi pabrik dunia, tetapi juga pemain penting dalam inovasi teknologi, kecerdasan buatan, dan perdagangan digital.
 
Dominasi Tiongkok dalam perdagangan global kini sulit terbantahkan. Negeri ini menjadi mitra dagang utama bagi lebih dari 120 negara di dunia. Dalam inisiatif ambisius Belt and Road (Jalur Sutra Baru), Tiongkok menginvestasikan triliunan dolar untuk membangun infrastruktur di Asia, Afrika, dan Eropa, memperluas pengaruhnya secara strategis melalui jalur logistik dan keuangan.
 
Data dari World Trade Organization menunjukkan bahwa Tiongkok menjadi eksportir terbesar di dunia sejak tahun 2009, melampaui Jerman dan Amerika Serikat.  Sejumlah ekonom dunia menilai bahwa pendekatan Tiongkok ini adalah “kapitalisme otoriter” sebuah sistem yang menggabungkan efisiensi pasar dengan kendali politik yang ketat.
 
Profesor Jeffrey Sachs, ekonom terkemuka dari Columbia University, pernah menyatakan, “Keberhasilan Tiongkok adalah hasil dari kombinasi kebijakan ekonomi jangka panjang, visi geopolitik, dan kedisiplinan politik dalam implementasi.
 
Banyak negara berkembang mencoba meniru model Tiongkok, tapi mereka gagal karena tidak memiliki stabilitas, kapasitas birokrasi, dan perencanaan yang konsisten. Pendapat ini menegaskan bahwa yang dilakukan Tiongkok bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi pembangunan sistematis yang menyentuh setiap sendi kehidupan sosial dan ekonomi.
 
Namun di balik semua kemajuan itu, keberhasilan Tiongkok juga datang dengan konsekuensi tertentu, terutama dalam hal kebebasan sipil. Pemerintah Tiongkok dikenal sangat keras terhadap siapa pun yang dianggap membangkang atau mengancam stabilitas politik negara.
 
Sistem satu partai yang dikendalikan oleh Partai Komunis Tiongkok tidak memberi ruang bagi oposisi atau gerakan separatis. Mereka yang menyuarakan kritik secara terbuka baik akademisi, aktivis, atau jurnalis independen sering kali menghadapi tekanan, penahanan, atau bahkan penghilangan.
 
Pemerintah berdalih bahwa stabilitas nasional dan persatuan negara adalah prasyarat utama bagi pembangunan ekonomi.  Dalam kerangka ini, pembangkangan dianggap sebagai ancaman terhadap proyek nasional jangka panjang.
 
Contoh paling mencolok adalah bagaimana pemerintah merespons gerakan pro-demokrasi di Hong Kong, yang berujung pada penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional yang mengekang kebebasan berekspresi. Atau bagaimana perlakuan terhadap komunitas Uighur di Xinjiang yang menuai kritik keras dari komunitas internasional.
 
Namun dari sudut pandang Beijing, semua langkah itu adalah bagian dari mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kelangsungan negara. Ketika Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan pada 2012, arah politik dan ekonomi Tiongkok semakin terpusat. Xi memperkuat posisi Partai Komunis, memberantas korupsi secara besar-besaran, dan menekankan pentingnya “kemandirian teknologi.”
 
Di bawah kepemimpinannya, Tiongkok mulai menantang dominasi teknologi Barat, khususnya dalam bidang 5G, AI, dan semikonduktor. Ia juga menegaskan bahwa masa depan dunia tidak hanya akan ditentukan oleh nilai-nilai Barat, tetapi juga oleh sistem pemerintahan yang menawarkan hasil nyata bagi rakyatnya.
 
Kisah Tiongkok bukanlah sekadar kisah tentang angka dan grafik pertumbuhan ekonomi. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah negara mampu bangkit dari keterpurukan dengan visi jangka panjang, perencanaan yang disiplin, dan ketegasan dalam menjalankan strategi nasional.
 
Tentu, ada sisi kelam dalam model ini terutama dalam hal kebebasan politik—tetapi dunia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dalam banyak hal, Tiongkok telah berhasil melakukan sesuatu yang belum pernah dicapai oleh negara lain dalam sejarah modern: menciptakan keajaiban ekonomi dalam sistem politik otoriter yang terkonsolidasi.
 
Dalam tatanan dunia yang semakin multipolar, Tiongkok berdiri bukan hanya sebagai negara besar, tetapi juga sebagai simbol alternatif kekuatan global yang tak harus mengandalkan demokrasi liberal ala Barat. Dunia pun kini harus beradaptasi dengan kenyataan itu.
 
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi  Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
 
 
 

Editor : Redaksi

LAINNYA