Di tengah harapan akan transformasi pendidikan nasional yang lebih maju dan digital, sebuah ironi pahit justru mencuat ke permukaan.
Kejaksaan Agung Republik Indonesia kini tengah mengusut dugaan korupsi pengadaan laptop senilai Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang berlangsung pada periode 2019–2022, tepat saat kementerian itu masih dipimpin oleh Nadiem Anwar Makarim.
Proyek pengadaan yang seharusnya menjadi tonggak penting dalam digitalisasi pendidikan justru terjerumus ke dalam pusaran kepentingan dan dugaan penyelewengan dana rakyat.
Anggaran hampir sepuluh triliun rupiah itu awalnya digelontorkan untuk mendukung pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) serta memperkuat akses teknologi informasi di sekolah-sekolah.
Namun, prosesnya menyimpan banyak kejanggalan. Salah satu titik krusial adalah keputusan untuk mengubah spesifikasi teknis perangkat menjadi Chromebook, padahal uji coba sebelumnya pada tahun 2018–2019 menunjukkan bahwa Chromebook tidak cocok digunakan secara luas di Indonesia karena keterbatasan koneksi internet di banyak daerah.
Tim teknis internal sejatinya menyarankan penggunaan perangkat dengan sistem operasi Windows yang lebih kompatibel dan adaptif terhadap kondisi infrastruktur digital nasional.
Tetapi, keputusan itu berubah secara sepihak bukan oleh pertimbangan teknis, melainkan, seperti yang diungkap Kejaksaan Agung, karena adanya arahan tertentu yang diduga menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Dugaan pemufakatan jahat ini makin mencuat setelah Kejaksaan Agung menggeledah rumah serta apartemen dua staf khusus Menteri Nadiem, yakni Jurist Tan dan Fiona Handayani, pada 21 Mei 2025.
Penggeledahan tersebut menyita berbagai barang elektronik dan dokumen, yang kini tengah dianalisis lebih lanjut. Hingga saat ini, setidaknya 28 saksi telah diperiksa untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam perkara yang semakin kompleks ini.
Yang menyakitkan dari kasus ini bukan hanya kerugian negara yang mencapai angka fantastis, tetapi juga penghianatan terhadap amanah publik.
Kementerian yang semestinya menjadi penjaga nilai-nilai moral, pendorong literasi, dan agen pencerahan justru dicoreng oleh perilaku tikus-tikus birokrasi yang menjadikan proyek pendidikan sebagai ladang basah untuk dikuras.
Ketika dana pendidikan yang sangat besar tidak menjangkau siswa-siswa di pelosok, ketika guru-guru masih berjibaku dengan minimnya sarana, dan ketika fasilitas belajar di daerah terpencil masih jauh dari kata layak, praktik seperti ini bukan hanya korupsi biasa — ini pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, memang menyatakan bahwa proyek ini telah dihentikan pada era Nadiem, dan pihak kementerian akan mendukung penuh penyelidikan hukum.
Namun, pernyataan ini tak cukup untuk meredam kekecewaan publik. Pertanyaannya kini bergulir lebih tajam: bagaimana bisa proyek sebesar ini lolos dari pengawasan internal selama bertahun-tahun? Dan mengapa proses pengambilan keputusannya begitu mudah ditunggangi oleh arahan non-teknis?
Kasus ini harus menjadi pelajaran penting bahwa semangat digitalisasi tidak boleh didekati dengan cara-cara digitalisasi anggaran.
Kemajuan teknologi pendidikan bukan hanya soal pengadaan perangkat keras, tetapi soal niat baik, integritas birokrasi, dan keberpihakan nyata pada siswa dan guru.
Ketika keputusan teknis dapat dipengaruhi oleh faktor di luar kebutuhan riil pendidikan, maka yang terjadi bukan akselerasi kemajuan, melainkan percepatan penyimpangan.
Jika dunia pendidikan saja, tempat nilai-nilai luhur bangsa ditanamkan, tidak mampu menjadi contoh integritas, maka kita patut khawatir terhadap arah reformasi di sektor lain. Pendidikan seharusnya menjadi fondasi moral bangsa, bukan menjadi refleksi dari ketamakan elite birokrasi. Dalam konteks ini, publik berhak untuk marah, bertanya, dan menuntut pertanggungjawaban moral yang setimpal tidak hanya dari pelaksana teknis proyek, tetapi juga dari pimpinan kementerian yang mengemban amanat besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di tengah era baru pemerintahan Prabowo Subianto, ketika kementerian pendidikan kini telah dipecah menjadi tiga institusi berbeda, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa pembenahan sistemik harus dimulai dari akarnya.Transparansi dalam perencanaan, pengawasan dalam pelaksanaan, dan akuntabilitas dalam evaluasi.
Pembentukan kementerian baru semestinya tidak hanya kosmetik kelembagaan, tetapi menjadi titik balik untuk membangun tata kelola yang lebih bersih, efektif, dan berorientasi pada kemajuan pendidikan yang berkeadilan.
Pendidikan bukan ladang proyek. Ia adalah ladang masa depan.
Dan setiap rupiah yang dikorupsi dalam sektor ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan negara melainkan mimpi anak-anak Indonesia yang dirampas, harapan guru yang diingkari, dan masa depan bangsa yang dikorbankan.
Maka, penyelesaian kasus ini bukan hanya soal hukum, tapi soal moral. Karena hanya dengan moralitas yang tinggi, pendidikan bisa benar-benar menjadi pilar kemajuan, bukan sekadar slogan di atas kertas kebijakan.
Dari skandal ini, semoga lahir kesadaran kolektif bahwa menjaga integritas dunia pendidikan bukan tanggung jawab segelintir orang, tapi tugas seluruh bangsa. Karena dari ruang kelas yang jujur dan bersihlah, peradaban dimulai.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi