Ketika kita sendiri dalam hening ditengah malam yang dipenuhi bintang, dan kita sebagai manusia mengangkat wajah ke langit, menatap hamparan semesta yang begitu luas, lalu bertanya dalam hati: dari mana semua ini berasal? Apa makna keberadaan kita?
Di balik pertanyaan itu, dua jalan besar terbentang: sains dan keyakinan. Dua jalur yang berangkat dari pertanyaan yang sama, namun menempuh rute yang berbeda menuju pemahaman akan semesta dan Tuhan.
Sains tumbuh dari rasa ingin tahu yang tak kunjung padam. Ia membongkar realitas dengan instrumen, metode, dan keraguan.
Tidak ada yang suci dalam sains—segala klaim harus diuji, diulang, dan dibuktikan.
Newton, ketika melihat apel jatuh dari pohon, tak berhenti pada rasa kagum. Ia bertanya mengapa, lalu menyusun hukum gravitasi.
Einstein, dengan relativitasnya, membengkokkan waktu dan ruang, menggeser persepsi manusia tentang semesta dari kepastian ke relativitas.
Di dunia sains, Tuhan jarang disebut; bukan karena Ia disangkal, tetapi karena sains tidak berbicara dalam bahasa iman. Sains bertanya "bagaimana", bukan "mengapa".
Sebaliknya, keyakinan atau dogma tumbuh dari kebutuhan manusia akan makna dan kepastian. Ia tidak menunggu bukti, karena ia sudah yakin akan kebenarannya.
Dogma menawarkan jawaban final dan ketenangan batin: Tuhan menciptakan semesta. Titik.
Dalam dogma, pertanyaan besar telah dijawab oleh wahyu, oleh kitab suci, oleh para nabi dan leluhur yang dipercaya membawa suara ilahi.
Tak ada ruang untuk keraguan dalam keyakinan; justru keraguan dianggap sebagai ancaman.
Di sinilah benturan kadang terjadi, ketika sains meragukan apa yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, atau ketika iman mencemooh sains sebagai dingin dan tak berjiwa.
Namun, sejarah tidak selalu menyajikan keduanya sebagai musuh. Banyak pemikir besar dunia yang mencoba menjembatani keduanya.
Albert Einstein pernah berkata, “Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.” Ia tidak berbicara tentang agama dalam arti sempit, melainkan sebagai kesadaran kosmis perasaan takjub akan keteraturan dan keindahan semesta.
Einstein tak percaya pada Tuhan personal yang mencampuri urusan manusia, namun ia mengagumi “Tuhan” sebagai metafora hukum-hukum alam yang agung.
Di sisi lain, Stephen Hawking, dalam A Brief History of Time, mempertanyakan: jika kita bisa memahami hukum-hukum dasar alam, apakah kita akan mengetahui “pikiran Tuhan”?
Bagi Hawking, Tuhan bukan sosok berjanggut di langit, melainkan kemungkinan metafisis dari keteraturan yang luar biasa.
Di Timur, Jalaluddin Rumi menulis bahwa “ilmu tanpa cinta hanya akan membuat manusia sombong.”
Bagi Rumi, pengetahuan tertinggi adalah mengenal Sang Kekasih—Tuhan. Tapi bukan lewat laboratorium atau teori, melainkan melalui laku batin dan cinta yang mendalam.
Di antara gelombang sains dan dogma, Rumi menari, dan dalam tariannya ia menunjukkan bahwa mungkin ada jalan ketiga—jalan penyatuan, bukan pemisahan.
Di dunia modern, kita menyaksikan ketegangan antara saintisme dan fundamentalisme. Yang pertama menganggap bahwa sains bisa menjelaskan segalanya, termasuk kesadaran dan moralitas.
Yang kedua menolak temuan-temuan sains jika bertentangan dengan kitab suci. Dalam tarik ulur ini, publik sering terjebak dalam dikotomi palsu: seolah harus memilih antara percaya pada sains atau pada Tuhan.
Padahal, bagi banyak orang, keduanya bisa berdampingan—sains sebagai alat memahami ciptaan, dan keyakinan sebagai jalan merasakan Sang Pencipta.
Carl Sagan, seorang astronom dan komunikator sains terkenal, pernah menulis, “Kita semua terbuat dari bintang.” Pernyataan ilmiah itu mengandung gema spiritual.
Bahwa unsur-unsur yang membentuk tubuh kita berasal dari inti bintang yang meledak miliaran tahun lalu—ini bukan sekadar data astronomi, tapi juga puisi kosmik.
Bahwa kita, dalam cara yang paling literal, adalah bagian dari semesta yang mencoba memahami dirinya sendiri.
Namun, bahaya muncul ketika sains dijadikan dogma, dan dogma diperlakukan seperti sains.
Ketika para ilmuwan berhenti meragukan, dan pemuka agama menolak berdialog, maka yang tersisa hanya kebekuan dan pertengkaran.
Padahal semesta tidak berpihak pada salah satu. Ia tetap mengembang, bintang tetap mati dan lahir, dan manusia tetap kecil di hadapan misterinya.
Di antara para pemikir dunia, tokoh seperti Yuval Noah Harari juga mengingatkan bahwa mitos dan sains pernah berjalan berdampingan, memberi struktur pada peradaban.
Tapi kini, di era data dan kecerdasan buatan, kita dihadapkan pada tantangan baru: makna apa yang tersisa ketika manusia bisa menciptakan “Tuhan digital”?
Di titik ini, sains dan dogma sama-sama diuji relevansinya.
Akhirnya, mungkin kita harus kembali ke akar: manusia bertanya bukan hanya karena ingin tahu, tapi karena ingin merasa terhubung.
Entah melalui teleskop atau doa, kita mengarahkan mata dan hati ke arah yang sama ke langit, ke semesta, ke sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Kita mencari bukan hanya jawaban, tapi juga kehadiran. Maka, biarlah sains dan keyakinan berdansa di panggung yang sama.
Bukan untuk membuktikan siapa yang benar, tapi untuk mengingatkan kita bahwa dalam keheningan semesta, bertanya adalah bentuk tertinggi dari keberadaan.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi