Reporter : Redaksi
Di tengah gemerlap teknologi, kecanggihan transportasi, dan kemudahan digital yang memanjakan masyarakat modern, ada sekelompok manusia yang hidup jauh dari itu semua masyarakat pedalaman.
Mereka tinggal di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, minim fasilitas modern, namun justru terbukti lebih tangguh dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Mereka bisa bertahan hidup tanpa listrik, tanpa internet, bahkan tanpa akses medis konvensional.
Pertanyaannya: mengapa mereka lebih "survival" dibandingkan masyarakat kota yang hidup dalam kenyamanan?
Seorang anak di pedalaman sejak kecil diajarkan bagaimana membaca alam arah angin, suara binatang, pertanda cuaca, hingga tanaman yang bisa dimakan atau justru beracun.
Ini bukan sekadar pengetahuan turistik, tapi keterampilan hidup yang esensial.
Sementara anak-anak kota lebih akrab dengan layar gawai, Google Maps, dan layanan pesan-antar, anak-anak pedalaman belajar berburu, memancing, bercocok tanam, dan bertahan di tengah kondisi ekstrem.
Dr. Jared Diamond, ilmuwan dan penulis buku "Guns, Germs, and Steel", pernah menyatakan bahwa dalam konteks bertahan hidup, “anak-anak dari masyarakat tradisional sering kali memiliki keahlian praktis dan ketangguhan fisik yang jauh melebihi anak-anak dari masyarakat industri.”
Ia menyebut bahwa jika ia harus memilih siapa yang akan lebih mungkin selamat dalam situasi darurat alam atau bencana besar, ia tidak akan memilih orang kota.
Masyarakat pedalaman hidup dalam kesederhanaan, namun dengan ikatan sosial yang kuat. Di sana, komunitas masih menjadi pondasi utama: saling membantu membangun rumah, berburu bersama, berbagi hasil panen, hingga merawat yang sakit tanpa pamrih.
Ketahanan hidup mereka tidak hanya ditopang oleh keterampilan individu, tapi juga oleh solidaritas komunal yang telah mengakar kuat. Ini sangat kontras dengan kehidupan urban yang individualistik, di mana banyak orang bahkan tidak mengenal tetangganya sendiri.
Saat pandemi COVID-19 melanda dunia, masyarakat kota mengalami krisis mental besar-besaran. Isolasi sosial, tekanan ekonomi, dan ketergantungan pada sistem yang kolaps menjadikan banyak orang kota limbung.
Di sisi lain, banyak komunitas pedalaman tetap menjalani hidup seperti biasa, karena pola hidup mereka sejak awal tidak terlalu bergantung pada sistem global yang rentan.
Menyatu Dengan Alam
Di pedalaman, hubungan manusia dengan alam tidak bersifat eksploitatif, melainkan simbiosis. Mereka tahu kapan harus menebang pohon dan kapan harus menanam kembali.
Mereka tahu musim berburu dan kapan harus berhenti demi menjaga populasi hewan. Mereka adalah pelestari alam sejati, bukan karena slogan, tapi karena memang hidup mereka bergantung langsung pada keseimbangan ekosistem.
Hal ini juga berdampak pada kesehatan. Mereka mengonsumsi makanan yang tidak diproses, tidak mengandung bahan kimia, dan diperoleh langsung dari alam. Tanpa perlu membaca label “organik”, makanan mereka memang sudah organik secara alami.
Kontras dengan masyarakat kota yang meski hidup di era informasi, seringkali justru terjebak pada pola konsumsi tidak sehat.
Ketahanan Fisik
Tanpa kendaraan pribadi, masyarakat pedalaman berjalan berkilo-kilometer setiap hari, melewati hutan, sungai, dan medan berat lainnya.
Tubuh mereka terbiasa dengan kerja keras dan tidak bergantung pada kenyamanan buatan. Sistem imun mereka pun lebih kuat karena paparan alam yang konstan sejak kecil, berbeda dengan masyarakat kota yang hidup dalam sterilitas berlebihan, namun justru rentan terhadap penyakit.
Menurut penelitian oleh Universitas Harvard, gaya hidup aktif dan pola makan alami berkontribusi besar terhadap rendahnya tingkat penyakit degeneratif seperti diabetes dan hipertensi di komunitas-komunitas adat. Padahal fasilitas medis mereka jauh dari kata memadai.
Kita tidak sedang meromantisasi keterbatasan. Tentu saja, masyarakat pedalaman juga menghadapi tantangan berat, seperti keterbatasan pendidikan, akses kesehatan, dan potensi konflik lahan.
Namun, dalam konteks ketahanan hidup terutama bila menghadapi krisis global seperti perubahan iklim, bencana alam, atau keruntuhan sistemik mereka memiliki modal adaptasi yang lebih kuat.
Ironisnya, banyak teknologi modern justru menjauhkan manusia dari ketrampilan dasar bertahan hidup. Kita tidak tahu lagi bagaimana membuat api tanpa korek, menyaring air tanpa alat modern, atau membaca arah tanpa kompas.
Kita menyerahkan semua pada perangkat digital dan begitu perangkat itu mati, kita kehilangan kendali.
Sudah saatnya masyarakat modern menanggalkan arogansi peradaban dan mulai belajar dari kearifan masyarakat pedalaman.
Mereka tidak primitif, mereka hanya memilih jalur yang lebih selaras dengan alam dan lebih tangguh secara eksistensial.
Sebagaimana dikatakan oleh antropolog ternama, Wade Davis, “Ketika kita kehilangan sebuah budaya, kita tidak hanya kehilangan bahasa, tetapi juga seluruh pustaka pengetahuan yang telah teruji oleh waktu.”
Dalam masyarakat pedalaman, tersembunyi warisan keahlian yang mungkin suatu hari menjadi penyelamat kita semua, saat dunia modern goyah.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi