x
x

Ketika Dogma Tersesat  di Lorong Usang

Selasa, 11 Mar 2025 12:10 WIB

Reporter : Redaksi

Di zaman yang terus bergerak cepat, di mana peradaban berpacu dengan teknologi dan nalar berkembang lebih pesat dari sekadar hafalan teks-teks suci, muncul pertanyaan mendasar: apakah agama masih relevan?

Atau, seperti yang telah lama diramalkan oleh para filsuf dan pemikir besar, agama tengah memasuki fase 'kematiannya' bukan karena ditentang oleh kaum ateis atau kaum revolusioner, tetapi karena dikorupsi oleh para pemangkunya sendiri?

Agama lahir sebagai peta moral bagi manusia, sebagai pedoman untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, tidak hanya di dunia tetapi juga di alam setelahnya.

Namun, dalam realitas modern, agama kerap berubah menjadi sekadar rangkaian ritual kosong yang kehilangan makna substansialnya.

Begitu banyak individu beribadah dengan khusyuk, namun tak lama setelahnya melupakan nilai-nilai moral yang mereka agungkan.

"Hidup dan matiku hanya untuk Tuhan," demikian mereka berujar, namun dalam praktik sehari-hari, nilai-nilai ketuhanan justru terkikis oleh kepentingan pribadi dan materialisme.

Agama telah menjadi industri, di mana "sales-sales surga" bekerja tanpa lelah, menawarkan janji keselamatan dengan imbalan materi.

Hal ini mengingatkan pada kritik tajam Ibn Khaldun, seorang sejarawan dan filsuf Muslim abad ke-14, yang menyatakan bahwa ketika agama berada di tangan penguasa atau elite tertentu, ia sering kali digunakan sebagai alat politik dan ekonomi, bukan lagi sebagai jalan spiritual yang membebaskan.

Agama yang sejatinya mengajarkan keadilan dan kesetaraan justru sering kali menjadi alat penindasan bagi mereka yang kurang beruntung.

Akal Terbuang

Di era modern, muncul tren berbahaya, tafsir agama yang tidak mampu berdansa dengan logika. Dogma diulang tanpa boleh diperdebatkan, dan mereka yang mencoba berpikir kritis kerap dicap sesat.

Pemikiran seperti ini telah dikritik oleh Muhammad Abduh, seorang reformis Islam dari Mesir, yang percaya bahwa agama harus selaras dengan akal.

Bagi Abduh, ajaran agama yang tidak bisa dijelaskan dengan logika dan akal sehat tidak akan bertahan dalam peradaban yang maju.

Namun, kenyataan yang terjadi sering kali sebaliknya. Tafsir agama cenderung statis, membeku di lorong waktu yang telah usang.

Sementara itu, di belahan dunia lain, masyarakat telah meninggalkan pendekatan dogmatis dan menggantinya dengan pemikiran berbasis sains, rasionalitas, dan kerja keras.

Kita dapat melihat bagaimana negara-negara seperti Jepang dan Skandinavia, yang tidak terlalu religius dalam praktiknya, justru berhasil menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan harmonis.

Sementara itu, di banyak negara yang masih terjebak dalam dogma agama yang kaku, konflik sosial, korupsi, dan kemunduran masih menjadi pemandangan sehari-hari.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa peradaban manusia terus berkembang, dan setiap ideologi, termasuk agama, harus mampu beradaptasi atau akan ditinggalkan.

Karl Marx pernah menyebut agama sebagai "candu masyarakat," bukan dalam arti bahwa agama itu buruk, tetapi karena agama sering kali digunakan untuk membuat manusia pasrah dan tidak melawan ketidakadilan.

Jika agama terus bertahan dalam bentuk yang kaku dan tertutup terhadap perubahan, maka "kematiannya" hanya tinggal menunggu waktu

Namun, jika agama mampu berevolusi meninggalkan pendekatan dogmatis dan lebih berfokus pada nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan kerja keras maka ia akan tetap relevan.

Agama tidak boleh hanya sekadar menjadi teks-teks tua yang membeku dalam kitab suci, melainkan harus mampu menyatu dengan realitas kehidupan sehari-hari, hadir dalam keringat kerja dan perjuangan sosial, bukan hanya dalam ritual dan doa.

Dalam dunia yang terus berubah, agama tidak harus mati, tetapi perlu mengalami transformasi.

Tuhan tidak hanya ada di altar atau dalam doa-doa panjang, tetapi juga dalam upaya manusia untuk menciptakan keadilan, dalam kerja keras yang jujur, dan dalam nalar yang terus berkembang.

Jika agama tetap membiarkan dirinya dikendalikan oleh segelintir elite yang hanya mencari keuntungan, maka ia akan menjadi fosil peradaban terpajang di museum tanpa cahaya, diingat tetapi tidak lagi dijalankan.

Sebaliknya, jika agama mampu menghidupkan kembali semangat pencarian kebenaran, berdialog dengan sains, dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman, maka ia akan tetap bertahan.

Bukan sebagai beban, tetapi sebagai sumber inspirasi bagi peradaban yang lebih maju.

Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA