Setiap negara di dunia ini pasti memiliki masa lalu yang kelam. Tak satupun bangsa yang luput dari sejarah penuh luka. Namun apa yang membuat sebuah negara bisa maju dan berkembang adalah kemampuannya untuk berdamai dengan masa lalu. Menyelesaikan konflik yang terjadi dan tidak membiarkan sejarah kelam tersebut membelenggu langkah meraih kemajuan.
Sejarah bukanlah sesuatu yang harus dihindari tetapi perlu dipahami sebagai pelajaran berharga. Negara-negara yang berhasil menyelesaikan masa lalunya dengan kebesaran jiwa dapat melangkah lebih cepat menuju masa depan yang cerah. Kedewasaan dalam berpolitik dan kebijaksanaan dalam mengelola sistem kenegaraan menjadi kunci keberhasilan.
Amerika Serikat misalnya, pernah mengalami masa-masa penuh diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam. Bahkan gerakan separatis bernama Ku Klux Klan sempat tumbuh subur di sana. Namun, dengan perjuangan panjang untuk hak-hak sipil, Amerika berhasil melangkah keluar dari bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Di Afrika Selatan, apartheid pernah menjadi noda hitam dalam sejarah, namun keberanian untuk melakukan rekonsiliasi dan membangun negara yang inklusif membuatnya menjadi contoh bagi dunia.
Tak hanya dalam bidang politik, bahkan dalam sejarah keagamaan kita juga menemukan kisah-kisah kelam. Perang Siffin di kalangan Muslim, Perang Salib antara Kristen dan Islam, hingga perebutan kekuasaan antara Hindu dan Buddha pada masa kerajaan Majapahit — semua ini adalah catatan kelabu yang seringkali ditutup rapat demi menjaga citra keagamaan. Namun, sebagaimana negara-negara, agama-agama pun perlu menghadapi masa lalunya dengan hati yang besar untuk merangkul persatuan.
Indonesia juga tidak luput dari sejarah kelamnya. Setiap bulan September kita diingatkan pada peristiwa 30 September 1965, di mana banyak korban berjatuhan, baik dari simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun mereka yang salah tangkap. Lebih dari setengah abad telah berlalu sejak peristiwa tersebut, namun hingga kini rekonsiliasi yang utuh belum tercapai.
Banyak pihak terus memperjuangkan penyelesaian atas tragedi ini, tetapi juga tak sedikit yang terjebak dalam nostalgia masa lalu tanpa pernah bergerak maju.
Jika Indonesia tidak segera menuntaskan lembaran kelam ini melalui rekonsiliasi, kita mungkin akan terus terperangkap dalam siklus masa lalu yang tidak memberikan ruang bagi kemajuan yang berarti.
Negara ini memiliki potensi luar biasa, namun hanya dengan keberanian untuk menutup buku sejarah kelam dengan penuh kebesaran jiwa, kita dapat membuka lembaran baru yang lebih cerah. Kita songsong masa depan dengan kebesaran jiwa.
Sejarah bukanlah untuk dilupakan tetapi untuk dipelajari. Dengan menerima masa lalu sebagai bagian dari proses pertumbuhan, kita dapat terus bergerak maju. Masa depan adalah milik mereka yang tidak terpenjara oleh masa lalu tetapi mampu menjadikannya sebagai batu pijakan untuk meraih kemajuan yang lebih tinggi.
Penulis : Rokimdakas
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi