Di sebuah negeri gurun bernama Maroko, gema takbir tahun ini tak diiringi acara penyembelihan hewan qurban. Iduladha hari raya besar umat Islam terasa sunyi. Bukan karena iman yang pudar melainkan karena cuaca yang keras kepala. Kekeringan panjang membuat padang gembala kehilangan hewan ternak. Lalu kerajaan angkat bicara: tahun ini tidak boleh ada kurban.
Perintah itu datang dari Raja Mohammed VI, pemegang gelar Amir al-Mu'minin Panglima Umat Beriman memutuskan atas nama kelestarian agar umatnya tak menyembelih satu ekor kambing pun. Sebuah keputusan langka tapi bukan tanpa preseden. Ayahnya, Raja Hassan II, pernah mengambil langkah serupa saat perang, saat paceklik juga saat IMF memaksakan penghematan yang mencabut subsidi rakyat.
Kini sejarah berulang namun dalam tafsir yang bersifat ekologis. “Ini adalah keputusan sulit, tapi ternak adalah masa depan kami,” keluh Mourad Soussi, penggembala dari Azrou, kepada The New Arab. Ia menyebut kehilangan hingga 50 persen modal dan kerja keras berbulan-bulan yang tak berbuah.
Larangan menyembelih qurban bukan soal iman yang ditangguhkan. Ini tentang air yang menipis, rumput yang hilang serta populasi domba yang anjlok hingga titik terendah sejak tahun 1970-an ketika populasi Maroko hanya setengah dari jumlah penduduk saat ini. Pemerintah meluncurkan subsidi pakan, keringanan utang dan menutup pasar ternak dadakan. Namun badai ekonomi lebih dulu menerjang.
Perayaan tetap berlangsung tapi tanpa darah. Tanpa bau amis panggangan boulfaf, hidangan hati domba yang jadi ikon pesta Iduladha. Sebagai gantinya, ayam supermarket, ikan laut dan daging beku impor. Di Rabat, harga unggas melonjak, daging sapi membengkak, dan hati domba menjadi barang selundupan
Hanya saja rakyat punya cara untuk melawan sepi. Tradisi Boujloud bangkit sebuah pesta rakyat pasca-Iduladha yang berakar dari kepercayaan Amazigh kuno, agama pagan. Para pemuda menari di jalan dengan kostum kulit kambing diiringi genderang dan sorak sorai. Meski tak ada kurban tapi ada tarian. Tak ada kambing tapi ada semangat. “Ini Iduladha kami,” kata Siham Azeroual, perempuan muda dari suku Amazigh.
TAFSIR BARU
Apa yang terjadi di Maroko mengingatkan kita pada kisah seekor makhluk yang dihukum sejarah, yakni babi. Binatang yang kini dianggap najis dalam banyak agama pernah menjadi simbol pertarungan pangan di gurun gersang. Di masa silam, babi bukan hanya tidak praktis juga dianggap musuh ekosistem.
Babi rakus air. Tak bisa digembala. Makanannya sama dengan manusia. Dalam kondisi krisis pangan, babi lebih dilihat sebagai pesaing daripada peliharaan. Maka mulailah larangan. Dari bisik-bisik para tetua, jadi aturan lokal lalu diangkat ke langit dijadikan hukum Tuhan.
Rod Preece dalam The Pig: A Symbol of Spirit menyebut stigma babi sebagai “produk narasi sosial” bukan fakta biologis. Antropolog Marvin Harris bahkan menyebut larangan babi sebagai strategi ekologi purba yang berubah menjadi doktrin suci.
Bayangkan, jika para nabi saat itu lahir di Lembah Yangtze China atau tanah subur Nusantara, mungkinkah babi malah disucikan?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggoda kita untuk mengkritisi tafsir. Bukan untuk mencemooh iman tapi demi menyadari bahwa banyak hukum spiritual lahir dari krisis lingkungan.
Maroko hari ini mengajarkan satu hal, Tuhan dan langit kadang bicara tentang hal yang sama, yakni masalah bertahan hidup. Pelarangan kurban bukan karena kebencian pada darah melainkan kasih sayang pada ekosistem. Seperti pelarangan babi sekitar sepuluh ribu tahun silam, ia berakar dari logika zaman yang kemudian dilapisi narasi ilahiah.
Namun sejarah juga mencatat, ketika krisis berlalu ritual bisa kembali. Tapi ingatan pada sebab-musabab krisis itulah dasar pengetauannya seharusnya diwariskan. Jangan sampai anak cucu kita memikul larangan-larangan yang tak mereka pahami. Atau hidup dalam dogma yang lahir dari tanah dan iklim yang tidak mereka huni.
Karena tugas manusia bukan hanya hidup tetapi mewariskan kehidupan. Bukan dengan kepatuhan membabi buta namun dengan estafet kecerdasan.
“Kita harus tau kapan ajaran menjadi pelindung, kapan jadi penjara. Karena iman yang bijak adalah iman yang bisa bernegosiasi dengan kenyataan.”
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi