Beberapa hari lalu, kami masih bersenda gurau di grup WhatsApp. Canda dan tawa berderai, seolah dunia akan terus berputar tanpa jeda.
Namun pada sore 22 Mei 2025, kabar duka menyelinap pelan, seorang sahabat meninggal dunia, beliau telah tiada. Dipanggil menghadap Sang Khalik, kembali ke pangkuan-Nya dengan tenang. Hening.
Dunia seolah berhenti berputar sejenak bagi kami yang ditinggalkan. Kematian. Sebuah kata yang begitu pendek, namun memiliki getar yang menghunjam relung hati paling dalam.
Kita sering kali menghindarinya dalam pembicaraan sehari-hari. Kita menundanya dari pikiran, seolah hidup ini abadi. Namun kenyataannya, tidak ada satu jiwa pun yang mampu lari darinya.
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati,” begitu firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 185. Ayat itu sering kita dengar, bahkan mungkin telah kita hafal.
Tapi saat kematian benar-benar menyapa orang terdekat, baru kita sadar bahwa hidup ini hanya pinjaman. Sebuah fase sementara dari perjalanan yang jauh lebih panjang.
Dalam Islam, kematian bukanlah akhir. Ia adalah gerbang menuju kehidupan yang hakiki, alam keabadian yang sesungguhnya.
Al-Ghazali, ulama besar dan filsuf Islam abad ke-11, menulis dalam karya agungnya Ihya Ulumuddin bahwa kematian bukanlah kehancuran, melainkan perpindahan dari rumah dunia yang sempit menuju tempat tinggal akhirat yang luas.
Ia menyebut kematian sebagai proses pindah rumah, bukan hilang tanpa jejak. Bahkan, menurut beliau, orang yang wafat dalam keadaan beriman ibarat seorang tahanan yang dibebaskan, keluar dari penjara dunia menuju kebebasan sejati.
Rasa kehilangan tentu bagian dari kemanusiaan. Tangisan, duka, bahkan kesedihan mendalam adalah hal yang wajar. Bahkan Rasulullah Muhammad SAW pun menangis ketika putranya, Ibrahim, wafat. Dalam kesedihannya beliau bersabda, “Sesungguhnya mata meneteskan air mata dan hati pun bersedih, namun kami tidak mengatakan kecuali yang diridhai oleh Allah.”
Betapa indahnya pelajaran ini: bahwa berduka itu manusiawi, tetapi tetap harus dalam batas keikhlasan dan ketundukan kepada takdir Allah.
Kematian mengajarkan kita untuk tidak menggantungkan seluruh hati pada dunia. Ia membangunkan kita dari ilusi kekekalan yang sering kita bangun sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah, “Dunia ini bagaikan mimpi, dan saat mati, kita baru terbangun.”
Maka setiap kehilangan bukanlah bentuk akhir, tapi panggilan untuk merenung: sudah seberapa siapkah kita menghadapi giliran kita? Bukan hanya para ulama Islam, pemuka agama dunia pun sepakat bahwa kematian adalah bagian dari siklus agung yang tak dapat dielakkan.
Dalam tradisi Kristen, Paus Fransiskus pernah menyampaikan bahwa kematian adalah “langkah menuju pelukan kasih Tuhan yang abadi.” Ia menekankan bahwa kematian bukan untuk ditakuti, tetapi diterima dengan iman dan harapan.
Dalai Lama, pemimpin spiritual Buddha Tibet, menyatakan bahwa kematian adalah transisi alami, sebuah peristiwa yang pasti terjadi dan harus disikapi dengan persiapan batin.
“Kita semua datang dan pergi. Yang penting adalah bagaimana kita hidup dan meninggalkan cinta serta kedamaian bagi yang ditinggalkan,” begitu pesan beliau.
Pandangan ini selaras dengan Islam yang menekankan pentingnya amal kebajikan sebagai bekal menuju akhirat.
Kematian orang terdekat seringkali menyentakkan kita. Membuat kita bertanya, apa yang sudah kita siapkan untuk hari itu? Apakah amal kita sudah cukup? Apakah hati kita siap untuk pulang? Saat kita menghadiri pemakaman, melihat liang lahat, mencium aroma tanah yang baru digali—semua itu mengingatkan bahwa dunia ini fana.
Namun seringkali setelah pulang dari pemakaman, kesibukan dunia kembali menenggelamkan renungan itu.
Para ulama menganjurkan kita untuk sering-sering mengingat mati, atau zikrul maut. Bukan untuk menebar ketakutan, melainkan agar kita hidup dengan kesadaran bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan.
Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah kematian sebagai nasihat.” Tak ada nasihat yang lebih jujur dan lebih menggugah dibanding menyaksikan kematian. Ia tidak pilih kasih. Datang kepada yang muda dan tua, yang kaya maupun miskin, yang sehat maupun sakit.
Abu Darda meriwayatkan bahwa ketika ditanya siapa orang yang paling cerdas, Rasulullah SAW menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Merekalah orang-orang yang benar-benar cerdas.”
Maka kecerdasan bukan sekadar soal akal, tapi soal kesiapan menjemput akhir dengan amal dan keikhlasan.
Untuk setiap jiwa yang telah mendahului kita, marilah panjatkan doa yang tulus: Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu… Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, sejahterakanlah dia dan maafkanlah segala khilafnya.
Mari jadikan kepergian orang orang kita cintai sebagai pengingat, bukan sekadar kesedihan. Karena hidup terus berjalan, dan setiap dari kita punya waktunya sendiri yang akan datang.
Saat itu tiba, semoga kita dalam keadaan husnul khatimah—penutup hidup yang baik, dengan iman yang kuat dan hati yang ridha. Karena sejatinya, kematian bukanlah kegelapan. Ia adalah fajar bagi jiwa yang rindu pulang.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi