Dalam era informasi yang begitu deras seperti saat ini, politik tidak lagi sekadar urusan elite di gedung-gedung kekuasaan.
Politik hadir dalam ruang keluarga, menyeruak di percakapan media sosial, bahkan menyusup dalam budaya populer. Di tengah realitas tersebut, literasi politik bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak.
Masyarakat dituntut untuk tidak hanya menjadi konsumen pasif narasi politik, tetapi menjadi warga yang mampu membaca makna di balik kata, memahami konteks di balik pernyataan, dan membedah motif yang tersembunyi di balik setiap narasi kekuasaan.
George Orwell, pengarang dan pemikir politik terkemuka, pernah menulis, "Political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable, and to give an appearance of solidity to pure wind." Pernyataan itu, meskipun lahir dari konteks Inggris pasca perang, tetap relevan di berbagai zaman dan belahan dunia, termasuk hari ini.
Bahasa politik memang memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi, mengaburkan realitas, bahkan memanipulasi opini publik.
Di sinilah pentingnya literasi politik—agar rakyat tidak menjadi korban permainan kata yang dibungkus rapi sebagai bentuk kritik atau kontrol sosial, padahal sejatinya mengarah pada penggembosan legitimasi dan stabilitas pemerintahan.
Literasi politik bukan sekadar tahu siapa yang menjabat sebagai presiden atau partai mana yang menang pemilu. Ia adalah kemampuan untuk mengkritisi, menganalisis, dan memetakan informasi politik dengan jernih dan etis.
Literasi ini mencakup kesadaran bahwa tidak semua yang dikatakan tokoh politik adalah kebenaran, dan tidak semua narasi yang viral mengandung nilai demokrasi.
Dalam masyarakat yang melek politik, manipulasi lewat ujaran populis atau provokatif tidak akan mudah mendapat tempat.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Di era digital yang serba cepat, narasi politik sering kali dipermainkan demi kepentingan sesaat.
Banyak pihak menggunakan bahasa sebagai senjata untuk menyerang lawan, menggiring opini, bahkan menciptakan disinformasi yang sistematis.
Kritik yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi sehat, berubah menjadi ujaran yang merusak tatanan sosial. Ironisnya, semua itu dibungkus dengan dalih kebebasan berekspresi dan kontrol terhadap kekuasaan.
Profesor Noam Chomsky, salah satu linguis dan intelektual publik paling berpengaruh, pernah mengingatkan bahwa media dan bahasa adalah instrumen ideologis. Ia menyatakan, "The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum."
Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana bahasa politik sering kali dibingkai sedemikian rupa agar tampak plural dan demokratis, padahal sejatinya telah diarahkan pada tujuan tertentu.
Bahasa politik akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Ia adalah alat komunikasi, ekspresi, dan bahkan perjuangan. Namun demikian, bahasa politik bukanlah entitas netral. Ia bisa membangun peradaban, namun bisa pula menghancurkannya jika digunakan tanpa etika.
Maka, tanggung jawab moral dan intelektual harus menjadi pagar. Setiap aktor politik, pemikir, dan warga negara harus menyadari bahwa dalam demokrasi, kebebasan berbicara harus selalu diimbangi dengan tanggung jawab sosial.
Literasi politik berperan sebagai benteng terakhir yang menjaga demokrasi dari distorsi dan penyalahgunaan. Masyarakat yang paham seluk-beluk politik tidak mudah terprovokasi oleh retorika kosong.
Mereka bisa membedakan mana kritik yang membangun, mana yang sekadar agitasi. Mereka tahu kapan harus bersuara dan kapan harus bertanya, "Apa motif di balik kata-kata ini?"
Demokrasi bukan hanya soal suara terbanyak, tetapi juga tentang kualitas wacana publik. Demokrasi yang sehat lahir dari pertarungan gagasan, bukan pertarungan narasi yang penuh tipu daya.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk merawat kesadaran politik dengan semangat kejujuran dan ketulusan intelektual.
Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami dan membedah setiap lapisan kepentingan yang tersembunyi.
Mari berhati-hati. Bahasa politik, seperti pedang bermata dua, bisa menjadi alat perubahan yang mulia, tapi juga bisa menjadi pemantik keonaran.
Ia bisa menggugah kesadaran kolektif, namun juga bisa menyesatkan publik. Jika kita abai, pedang itu bisa berbalik arah, menyerang dan meruntuhkan fondasi demokrasi yang telah susah payah kita bangun.
Maka, literasi politik bukan sekadar alat pertahanan, tapi jalan menuju kematangan berbangsa. Masyarakat yang cerdas secara politik adalah masyarakat yang tahan terhadap provokasi, tidak mudah terombang-ambing opini, dan mampu menjadi mitra kritis pemerintah dalam merawat demokrasi.
Sudah saatnya kita tidak hanya menjadi penonton di panggung politik, tetapi menjadi aktor sadar yang ikut menjaga makna dan arah demokrasi. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini tak hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi oleh seberapa cerdas rakyatnya membaca politik.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi