Reporter : Redaksi
Indonesia adalah anomali yang tak henti mengejutkan dunia. Sebuah negeri raksasa kepulauan yang berdiri di atas lempeng tektonik politik, sosial dan budaya namun tetap tegak berdiri meski berkali-kali diramalkan bakal roboh. Di awal 2000-an, para analis dunia memprediksi Indonesia akan terpecah menjadi serpihan-serpihan negara kecil. Namun hari ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Indonesia tetap kokoh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau, ratusan bahasa, ribuan adat dan jutaan dinamika tetap dalam satu bingkai geopolitik yang stabil.
Namun ada saja yang tak pernah lelah mengincar runtuhnya kestabilan itu. Bukan dari luar namun justru dari dalam. Ini ironis!. Kelompok-kelompok yang merasa gagal meraih kekuasaan kini menjelma menjadi pembuat gaduh. Alih-alih menawarkan kritik konstruktif yang mencerdaskan, mereka justru memilih jalan pintas mempraktikkan "politik lempar tai", sebuah gaya politik paling menjijikkan ketika lawan dibombardir bukan dengan argumen tetapi dengan isu-isu busuk yang sengaja ditebar agar semua orang ikut tercemari baunya.
Kasus tuduhan ijazah palsu terhadap presiden ketujuh, Joko Widodo menjadi salah satu puncak kebiadaban narasi ini. Tuduhan absurd ini bukan hanya menyerang pribadi tapi juga merendahkan akal sehat bangsa. Roy Suryo, Kurnia Tri Royani, Eggy Sudjana, Rismon Sianipar dan Tifa adalah sederet nama yang menimbulkan kegaduhan. Atas fitnah yang disebarkan, kelima orang tersebut dilaporkan presiden ketujuh, Jokowi ke Polda Metro Jaya pada Rabu, 30 April 2025.
ELIT FRUSTRASI
Kelima orang tersebut beserta koleganya melancarkan manuver kotor tanpa rasa malu, seolah negara ini tak memiliki sistem verifikasi berlapis sejak Jokowi menjabat dari Solo hingga Istana Negara. Padahal tidak mungkin seseorang melenggang hingga dua kali menjadi presiden jika dokumen dasar seperti ijazah saja tidak sah. Tuduhan ini lebih layak disebut sebagai 'political fecal throwing' atau buangan kotoran politik. Apa yang mereka suarakan bukan kritik melainkan teriakan putus asa karena kehilangan panggung.
Lebih menyedihkan lagi, kelompok pensiunan jenderal ikut serta dalam parade kegaduhan ini. Mereka menyuarakan agar Wapres terpilih Gibran Rakabuming Raka diganti, sebuah usulan ngawur yang tak berdasar konstitusi. Ini bukan soal pro atau kontra terhadap Gibran, tetapi soal kehormatan terhadap sistem hukum dan demokrasi. Para mantan petinggi ini sedang mengalami demensia alias pikun, juga post-power syndrome akut dan kehilangan orientasi. Mereka lupa bahwa negara ini tak bisa dijalankan dengan logika nostalgia militeristik yang sentralistik dan usang.
Perilaku semacam ini sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap aspirasi mayoritas rakyat Indonesia. Di tengah gelombang tantangan ekonomi global, krisis iklim dan tekanan hidup yang kian nyata, publik butuh ketenangan bukan kegaduhan yang tak perlu.
Rakyat ingin hidup tenteram, bekerja, berusaha, dan menyekolahkan anak tanpa harus diganggu oleh narasi-narasi gila yang diproduksi oleh elite-elite frustrasi. Mereka ingin pemimpin yang menyatukan bukan yang membakar.
MENGANCAM STABILITAS
Aksi lempar tai ini mencerminkan mentalitas kekanak-kanakan dari mereka yang tak siap kalah. Mereka bukan hanya tidak berjiwa besar tetapi juga membahayakan stabilitas negara. Ibarat anak kecil yang marah karena tidak diberi mainan, mereka mengacak-acak ruang tamu sambil berharap semua ikut kotor agar tak terlihat betapa menyedihkannya kegagalan mereka sendiri.
Tentu kita tak menolak kritik. Kritik adalah napas demokrasi. Namun kritik yang baik lahir dari data, akal sehat dan bertujuan mulia. Bukan dari dendam pribadi, bukan dari sakit hati elektoral, bukan pula dari kontrak dengan kekuatan asing yang ingin melihat Indonesia hancur dari dalam.
Jika para pembuat gaduh ini masih merasa punya tanggung jawab moral terhadap republik ini seharusnya mereka berhenti mempermalukan diri sendiri. Cukup sudah bermain drama buruk dengan naskah picisan. Rakyat bukan lagi penonton bodoh. Mereka telah matang, tau mana kritik membangun, mana politik tai, kotoran yang layak dibuang ke comberan sejarah.
Indonesia hari ini tak butuh provokator tapi penggerak. Bukan pencari gaduh tapi pembawa solusi. Negara ini terlalu besar untuk ditarik-tarik oleh tangan-tangan kecil yang tak sanggup kalah secara terhormat. Maka bila masih ingin jadi bagian dari sejarah bangsa ini berhentilah melempar tai. Mulailah berpikir, bekerja, dan bertindak untuk rakyat, bukan untuk dendam politik busuk.
Camkan itu!!
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi