Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Ajaran-ajarannya menekankan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan sosial.
Namun, mengapa banyak negara dengan mayoritas Muslim justru menghadapi masalah serius seperti perang, korupsi, dan tingginya angka kriminalitas? Apakah ini kegagalan ajaran Islam atau justru kesalahan dalam penerapannya?
Islam mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi realitas sosial di banyak negara Muslim menunjukkan sebaliknya. Kita bisa melihat negara-negara seperti Suriah, Yaman, Afghanistan, dan Libya yang terus dilanda konflik.
Sementara itu, di negara-negara seperti Indonesia, Pakistan, dan Mesir, korupsi dan ketimpangan sosial masih menjadi masalah utama.
Hal ini menunjukkan bahwa problematika yang dihadapi bukan karena Islam sebagai ajaran, tetapi lebih kepada bagaimana masyarakat dan pemimpinnya mengelola ajaran tersebut dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi mereka.
Sejarawan dan filsuf Muslim, Ibnu Khaldun (1332–1406), dalam karyanya Muqaddimah menjelaskan bahwa peradaban memiliki siklus: lahir, berkembang, mencapai kejayaan, lalu mengalami kemunduran.
Dalam pandangannya, kemunduran peradaban Muslim sering kali disebabkan oleh korupsi di kalangan elite, hilangnya solidaritas sosial (asabiyyah), dan kecenderungan penguasa untuk bertindak zalim demi mempertahankan kekuasaan.
Ketika solidaritas sosial melemah, masyarakat menjadi terpecah-belah, dan negara kehilangan fondasi moral serta politiknya. Inilah yang terjadi di banyak negara Islam saat ini, di mana konflik berkepanjangan sering kali dipicu oleh kesenjangan antara penguasa dan rakyat.
Sementara Al-Ghazali (1058–1111) dalam karyanya Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya akhlak dalam kehidupan bernegara. Ia berpendapat bahwa tanpa moralitas yang kuat, sebuah masyarakat akan jatuh dalam kehancuran.
Korupsi yang merajalela di banyak negara Muslim saat ini bisa dikatakan sebagai akibat dari hilangnya moralitas dalam pemerintahan.
Para pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hal ini menciptakan budaya impunitas dan ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum.
Al-Ghazali juga mengkritik ulama yang dekat dengan penguasa tetapi tidak berani menegakkan kebenaran. Dalam konteks modern, kita sering melihat bagaimana agama dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk kemaslahatan umat.
Tertinggal Ilmu dan Teknologi
Muhammad Abduh (1849–1905) adalah salah satu tokoh pembaru Islam yang melihat bahwa umat Muslim tertinggal karena ketidakmampuan mereka dalam mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Menurut Abduh, Islam tidak pernah menentang kemajuan. Justru, Islam mendorong umatnya untuk berpikir kritis dan mengembangkan peradaban.
Sayangnya, banyak negara Muslim justru mengalami kemunduran dalam pendidikan dan inovasi.
Ketertinggalan ini membuat masyarakat Muslim rentan terhadap konflik karena tidak memiliki daya saing yang kuat di kancah global.
Ketika ekonomi lemah dan pendidikan rendah, kriminalitas pun meningkat karena orang mencari jalan pintas untuk bertahan hidup.
Jika Islam benar-benar diterapkan dengan baik, tentu masalah-masalah sosial seperti perang, korupsi, dan kriminalitas bisa diminimalisir.
Namun, penerapan Islam tidak boleh berhenti pada simbolisme belaka, seperti hanya membangun masjid megah atau menerapkan hukum secara kaku tanpa melihat esensi keadilan.
Negara-negara Muslim perlu kembali kepada prinsip Islam yang sejati, bahwa Islam menekankan keadilan bagi semua pihak, bukan hanya bagi elite tertentu.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban Islam pernah mengalami kemajuan ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Perlunya pemimpin yang baik agar mampu menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan alat untuk menindas rakyat.
Rahmatan Lil Alamin
Masalah yang dihadapi negara-negara Muslim bukanlah kegagalan Islam sebagai agama, melainkan kegagalan umatnya dalam memahami dan menerapkan nilai-nilainya.
Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa peradaban runtuh ketika solidaritas sosial melemah. Al-Ghazali menegaskan pentingnya moralitas dalam kepemimpinan.
Sementara itu, Muhammad Abduh menunjukkan bahwa tanpa ilmu dan inovasi, umat Islam akan terus tertinggal.
Jika umat Muslim ingin keluar dari siklus konflik, korupsi, dan kriminalitas, maka mereka harus kembali pada inti ajaran Islam yang sejati bukan sekadar pada retorika agama, tetapi pada praktik nyata dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.
Islam bukan hanya untuk disyiarkan, tetapi untuk diterapkan sebagai solusi bagi kehidupan yang lebih adil dan harmonis.
Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi