Di tengah derasnya arus kehidupan modern yang menuntut percepatan, akumulasi, dan perbandingan tanpa henti, manusia kerap kali terjebak dalam labirin ilusi tentang keberhasilan.
Kita hidup dalam zaman yang menjadikan pencapaian materi sebagai penanda eksistensi sosial, sehingga tidak jarang seseorang menengadahkan pandangannya kepada langit rezeki orang lain, lalu merasa tanah tempatnya berpijak menjadi tidak cukup untuk menumbuhkan harapan.
Namun sesungguhnya, hidup bukanlah perlombaan maraton menuju standar yang ditentukan oleh orang lain, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang menuntut kepekaan dalam merasakan cukup di tengah keterbatasan, dan menemukan bahagia bukan karena memiliki segalanya, tetapi karena mampu mensyukuri yang telah ada.
Ada satu kebajikan yang pelan-pelan menghilang dari banyak ruang kesadaran kita: syukur. Ia bukan sekadar kata yang diucap dalam doa atau ceramah, tetapi sebuah kesadaran eksistensial bahwa hidup, betapa pun tampaknya biasa, adalah anugerah luar biasa.
Bayangkanlah tubuh kita: detak jantung yang bekerja tanpa kita perintah, udara yang masuk ke paru-paru tanpa kita bayar, makanan sederhana yang, meski tidak mewah, mampu membuat kita kenyang dan sehat. Tidakkah semua itu adalah bentuk kemurahan yang terlalu mudah dilupakan?
Kita terlalu sering menginginkan rezeki seperti yang dimiliki si A atau si B, tanpa mengetahui beban dan konsekuensi yang turut menyertainya. Kita terpukau oleh kilau keberhasilan mereka, tapi lupa bahwa apa yang tampak di permukaan hanyalah fragmen kecil dari keseluruhan kisah.
Ada banyak rezeki yang tampaknya besar dari luar, tetapi di dalamnya tersembunyi kesepian, kegelisahan, bahkan penyakit. Seperti menatap kilau bintang dari bumi; indah, memesona, tapi di balik cahayanya ada api yang membakar jutaan derajat.
Dalam ekonomi spiritual, rasa cukup lebih bernilai daripada angka-angka yang terus melambung. Kita makan bukan untuk memuaskan gengsi, tetapi untuk bertahan hidup. Kita berpakaian bukan untuk memikat iri, tetapi untuk menjaga diri.
Maka ketika seseorang mampu makan sesuai kemampuan kantongnya, tidur tanpa hutang yang menghantui, dan bangun pagi dalam keadaan sehat, sejatinya ia sedang menggenggam rezeki yang tak ternilai.
Sayangnya, karena ia tidak dibalut dengan label mewah atau pengakuan sosial, anugerah itu seringkali dianggap remeh.
Realitas hidup adalah bahwa tidak semua orang ditakdirkan menempuh jalan yang sama. Allah, dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, telah membagi rezeki, nasib, dan cobaan dengan takaran yang tepat untuk masing-masing jiwa.
Setiap orang berjalan di lintasan takdirnya sendiri. Maka, memaksakan diri untuk berlari di lintasan orang lain bukan saja sia-sia, tetapi juga berpotensi menghancurkan.
Seperti memaksakan kapal kecil mengarungi badai yang ditakdirkan untuk bahtera besar, ujungnya bukan keberhasilan, melainkan karam. Kita sering kali ingin menggapai apa yang tidak mampu kita pikul. Dalam bahasa lain, kita menggantungkan harapan pada sesuatu yang belum tentu baik bagi diri kita.
Padahal, dalam filsafat sufistik, rezeki bukan hanya tentang apa yang kita dapatkan, tapi tentang apa yang sesuai dengan kita. Bukan semua yang banyak itu berkah, dan tidak semua yang sedikit itu kurang. Justru di situlah letak keindahan syukur: ia menjadikan yang sedikit terasa cukup, dan yang cukup terasa membahagiakan.
Syukur bukanlah bentuk kepasrahan pasif yang mematikan semangat, melainkan fondasi dari sikap aktif yang realistis. Ia adalah kemampuan melihat keberkahan dalam kesederhanaan, menyadari bahwa rezeki bukan hanya berbentuk uang dan harta, tetapi juga waktu luang, keluarga yang harmonis, tubuh yang sehat, dan pikiran yang jernih.
Dalam banyak kasus, orang-orang yang tampaknya "biasa saja" justru lebih tenang dan damai daripada mereka yang berada di puncak hiruk-pikuk dunia. Rasa syukur adalah kunci pembuka pintu kebahagiaan yang paling dalam. Ketika seseorang bersyukur, ia tidak lagi sibuk mengukur dirinya dengan meteran milik orang lain.
Ia memahami bahwa hidup adalah tentang menunaikan peran sebaik-baiknya, bukan tentang tampil lebih baik dari orang lain. Dan dalam kesadaran itulah tumbuh ketenangan sebuah keadaan batin yang bahkan kekayaan dunia pun tak bisa membelinya.
Allah tidak pernah alpa dalam mengatur rezeki setiap makhluk-Nya. Dalam kitab semesta yang tak tertulis, tiap jatah telah dicatat dengan presisi ilahiah. Maka, hidup bukan tentang seberapa banyak kita mengoleksi, tapi seberapa ikhlas kita menerima dan memanfaatkannya.
Ketika kita bersyukur, kita sejatinya sedang mengakui keberadaan Tuhan sebagai pengatur utama, dan diri kita sebagai hamba yang menerima dengan cinta, bukan dengan keluhan.
Syukur, pada akhirnya, adalah bentuk kematangan spiritual. Ia adalah kemampuan untuk berdiri di tengah keterbatasan dengan dada lapang, untuk menatap langit dengan senyum, bukan dengan iri.
Ia adalah seni hidup yang menjadikan seseorang kuat dalam cobaan, ringan dalam perjalanan, dan damai dalam batin. Dalam dunia yang kian sibuk mengejar ‘lebih’, menjadi orang yang pandai bersyukur adalah bentuk perlawanan yang paling elegan dan bermartabat.
Semoga kita termasuk dalam barisan langka manusia yang tak hanya mampu mengucap syukur, tapi benar-benar hidup dalam syukur. Karena pada akhirnya, yang akan dikenang bukan seberapa tinggi kita pernah terbang, tetapi seberapa dalam kita mampu bersujud dalam kesadaran bahwa hidup ini, meski sederhana, telah cukup untuk membuat kita bahagia.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi