Dalam perjalanan spiritual manusia, agama menjadi jembatan menuju hakikat ketuhanan. Namun, tak jarang perjalanan ini terjebak pada kulit luar ajaran, yang dikenal sebagai sareat (syariat) tanpa pernah menyentuh esensi terdalamnya.
Fenomena ini melahirkan hedonisme ritualisme — praktik keagamaan yang menonjolkan aspek lahiriah, tetapi miskin kedalaman spiritual. Tradisi ini menjadi ironi ketika puasa yang sejatinya ajang pengendalian diri justru diisi dengan pesta makanan dan kemewahan.
Bagi kaum sufi, sareat adalah gerbang awal dalam spiritualitas. Namun, perjalanan menuju Tuhan tidak berhenti di sana. Sareat adalah peta jalan, bukan tujuan akhir.
Al-Hallaj, sufi besar abad ke-10, pernah berkata:
"Syariat adalah kapal, tarekat adalah lautan, dan hakikat adalah mutiara."
Pernyataan ini menegaskan bahwa sareat berfungsi sebagai kendaraan menuju hakikat. Namun, banyak orang berhenti di atas kapal tanpa pernah menyelam ke lautan makna yang lebih dalam.
Infantilitas Spiritual
Dalam tradisi sufi, manusia yang hanya berpegang pada sareat tanpa menyelami hakikat dianggap belum dewasa secara spiritual. Sareat hanyalah fase pendidikan awal — semacam taman kanak-kanak dalam spiritualitas.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa pemahaman agama yang hanya terpaku pada hukum-hukum formal adalah bentuk taqlid (ikut-ikutan) tanpa makna.
Puasa yang semestinya menjadi momentum pengosongan diri justru dipenuhi dengan kemewahan hidangan dan kemeriahan acara buka bersama. Ini adalah contoh nyata bagaimana sareat dipelihara tanpa menyentuh hakikat.
Hedonisme ritualisme ini bukan sekadar kebodohan spiritual, melainkan bentuk pelarian dari kekosongan batin yang tidak disadari.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ibadah tanpa kesadaran hakikat hanyalah rutinitas kosong. Ia berkata:
"Banyak orang berpuasa, namun yang mereka dapatkan hanyalah lapar dan haus." Kalimat ini mengingatkan bahwa ritual tanpa makna adalah sandiwara spiritual yang sia-sia.
Mengapa masyarakat begitu ngotot mempertahankan sareat? Salah satu alasannya adalah karena sareat lebih mudah dipahami dan dikendalikan.
Sareat bisa diajarkan lewat dogma, dongeng, dan narasi-narasi magis yang menyenangkan pendengar. Ini menjadi ladang subur bagi para pedagang ayat — para penceramah yang menjadikan agama sebagai komoditas hiburan.
Ibn Arabi, sufi besar Andalusia, menyoroti hal ini dalam karyanya Fusus al-Hikam. Ia menegaskan bahwa teks-teks agama mengandung lapisan makna yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mendalami hakikat.
Tafsir literal yang kaku hanya akan melahirkan umat yang tumpul pikirannya.
"Orang awam hanya melihat kulit, sedangkan para arif melihat isi." – Ibn Arabi
Bagi Ibn Arabi, kebenaran Tuhan tidak bisa dibekukan dalam aturan-aturan baku. Tuhan adalah realitas yang terus bergerak, dan hanya mereka yang mendalami hakikat yang mampu menangkap dinamika ilahiah ini.
Menuju Hakikat
Kaum sufi membagi perjalanan spiritual menjadi tiga tahap: sareat, tarekat, dan hakikat. Sareat adalah kepatuhan pada aturan lahiriah. Tarekat adalah jalan batin melalui meditasi, dzikir, dan latihan spiritual.
Hakikat adalah pencerahan pengalaman langsung tentang wujud Tuhan dalam segala sesuatu. Rabi’ah al-Adawiyah, sufi perempuan legendaris, menolak konsep ibadah yang didorong oleh harapan surga atau ketakutan neraka. Ia berkata:
"Aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka, bukan pula karena mengharap surga, melainkan karena aku mencintai-Mu."
Cinta ilahi inilah yang menjadi inti hakikat. Bagi para sufi, Tuhan bukan sekadar hukum atau teks, melainkan kekasih yang harus dikejar dan dialami langsung.
Melampaui Dogma
Hedonisme ritualisme hanyalah bayang-bayang dari ketakutan dan kemalasan spiritual. Agama yang sejati bukanlah sekadar hafalan ayat atau mengikuti ritual, melainkan perjalanan melampaui dogma menuju realitas Tuhan.
Perdebatan antara sareat dan hakikat adalah pertarungan abadi antara formalitas dan esensi. Sareat adalah gerbang, tapi hakikat adalah rumah tempat manusia bertemu dengan Tuhannya. Mereka yang berani menempuh tarekat akan menemukan bahwa teks-teks agama bukanlah dongeng, melainkan metafora tentang misteri keberadaan.
Mereka akan memahami bahwa Tuhan bukanlah figur patriarkal di langit, melainkan napas yang menghidupkan segala sesuatu.
Dalam dunia yang semakin terjebak pada ritualisme tanpa makna, para sufi mengajarkan bahwa religiusitas sejati bukanlah pada seberapa banyak kita berpuasa atau bersedekah, melainkan seberapa dalam kita mengenal Tuhan.
Sareat adalah langkah pertama, tetapi tanpa perjalanan menuju hakikat, kita hanyalah anak-anak spiritual yang asyik bermain di halaman rumah, tanpa pernah menyadari bahwa di dalam rumah itu ada harta karun yang menanti ditemukan.
Sebagaimana kata Al-Hallaj:
"Antara aku dan Tuhan tak ada jarak, kecuali aku sendiri."
Sudahkah kita berani menempuh perjalanan ke dalam diri dan melampaui sareat? Ataukah kita tetap memilih menjadi penonton di panggung ritual, menunggu mati sambil didongengi?
Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi