x
x

Memaknai Bulan Ramadhan

Kamis, 27 Feb 2025 09:00 WIB

Reporter : Redaksi

Bulan Ramadhan bukan sekadar momen menahan lapar dan dahaga, tetapi juga perjalanan spiritual menuju cahaya Ilahi. Bagi kaum sufi, Ramadhan adalah pintu pembuka bagi penyucian diri, penyatuan dengan Tuhan, dan penyingkapan hakikat kehidupan.

Dalam pandangan mereka, Ramadhan tidak hanya dinikmati dalam bentuk ibadah formal, tetapi juga dimaknai sebagai jalan menuju ma'rifat (pengetahuan hakiki).

Bagaimana para sufi menikmati dan memaknai datangnya Ramadhan ?

Mari kita telusuri pandangan tiga tokoh sufi dunia Jalaluddin Rumi, Al-Ghazali, dan Ibnu Arabi tentang bagaimana menjalani bulan penuh berkah ini dengan kesadaran yang lebih mendalam.

Tarian Cinta Ilahi (Jalaluddin Rumi)

Jalaluddin Rumi, penyair sufi dari Persia, sering menggambarkan kehidupan spiritual sebagai tarian jiwa menuju Sang Kekasih, yakni Tuhan. Baginya, Ramadhan adalah momen bagi ruh untuk menari dalam kesadaran ilahi, sementara tubuh berpuasa dari segala yang bersifat duniawi.

Rumi berkata, "Jiwa memiliki makanan yang berbeda dari tubuh. Saat kau berpuasa, jiwamu diberi makan oleh cahaya Ilahi." Ini menunjukkan bahwa Ramadhan bukan hanya tentang menahan diri dari makanan, tetapi tentang memberi makan hati dan jiwa dengan ibadah, zikir, serta kontemplasi.

Dalam menikmati Ramadhan, Rumi mengajarkan kita untuk berserah diri pada aliran cinta Ilahi. Puasa bukan sekadar kewajiban, tetapi tarian rohani yang membawa manusia menuju maqam (tingkatan) lebih tinggi.

Ketika kita menahan lapar, kita belajar bahwa hakikat kehidupan bukanlah sekadar memenuhi hasrat duniawi, tetapi mencari kepuasan dalam kehadiran-Nya. Maka, cara terbaik menikmati Ramadhan menurut ajaran Rumi adalah dengan memperbanyak dzikir dan merenungkan kebesaran Tuhan.

Ia mengajarkan bahwa puasa bukan sekadar menahan diri, tetapi juga cara membuka pintu hati untuk menerima kasih sayang-Nya.

Jalan Penyucian Diri (Al-Ghazali)

Imam Al Ghazali, seorang cendekiawan sufi besar, menekankan bahwa puasa bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga penyucian hati dan pikiran. Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, ia menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan puasa:

1. Puasa Awam: Hanya menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri.

2. Puasa Khusus: Menjaga anggota tubuh dari dosa, seperti menjaga mata dari pandangan buruk, telinga dari gosip, dan lidah dari ucapan sia-sia.

3. Puasa Khususul Khusus: Memusatkan hati sepenuhnya kepada Allah, menjauhkan diri dari segala hal yang melalaikan dari-Nya.

Menurut Al-Ghazali, menikmati Ramadhan berarti menjalani puasa di tingkatan yang lebih tinggi. Ia berpendapat bahwa orang yang hanya menahan lapar tanpa menjaga perilakunya, maka puasanya tak lebih dari sekadar diet.

Baginya, Ramadhan adalah waktu untuk melakukan mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) agar diri menjadi lebih bersih.

Oleh karena itu, menikmati Ramadhan berarti memanfaatkan bulan ini untuk merenungkan kesalahan, memperbaiki akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah yang lebih khusyuk.

Gerbang Ma’rifat (Ibnu Arabi)

Ibnu Arabi, seorang filsuf dan sufi besar dari Andalusia, memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang Ramadhan. Ia melihat puasa sebagai cara untuk melampaui batasan diri dan mencapai penyatuan dengan Tuhan.

Baginya, puasa adalah pengalaman transendental yang menghapus sekat antara manusia dan Ilahi. Dalam bukunya Futuhat al-Makkiyah, ia menjelaskan bahwa saat seseorang berpuasa dengan ikhlas, ia sedang menelusuri jalan menuju fana'—kehilangan diri dalam kehadiran Tuhan.

Ibnu Arabi berkata, "Ketika engkau berpuasa, engkau tidak sekadar menjauhi makanan, tetapi engkau sedang menanggalkan hijab (tabir) yang menghalangi antara dirimu dan Tuhan." Artinya, puasa yang sejati bukan hanya soal meninggalkan hal-hal fisik, tetapi juga meninggalkan ego, keakuan, dan kesibukan duniawi agar bisa melihat Tuhan lebih dekat.

Menurutnya, menikmati Ramadhan berarti menggunakannya sebagai sarana untuk mengenali diri sendiri dan Tuhan. Seseorang yang ingin mencapai ma’rifat harus menjadikan puasa sebagai latihan untuk melepaskan keterikatan duniawi dan menyalakan cahaya batin.

Seperti Para Sufi

Dari ketiga tokoh sufi tersebut, kita bisa mengambil beberapa pelajaran tentang bagaimana menikmati dan memaknai Ramadhan dengan cara yang lebih mendalam. Seperti Rumi nikmatilah Ramadhan dengan menjadikannya sebagai perjalanan cinta kepada Tuhan. Biarkan puasa menjadi tarian jiwa yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya melalui dzikir dan refleksi.

Seperti Al-Ghazali, gunakan bulan ini sebagai kesempatan untuk menyucikan diri, bukan hanya dari makanan, tetapi juga dari dosa-dosa kecil yang sering kita abaikan.

Seperti Ibnu Arabi, jadikan Ramadhan sebagai momen untuk menanggalkan ego dan mendekat kepada Tuhan dengan penuh kesadaran. Jangan hanya berpuasa secara fisik, tetapi berpuasalah dengan hati dan pikiran.

Ramadhan bagi kaum sufi bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momen transformatif untuk mencapai tingkat spiritual lebih tinggi. Rumi mengajarkan kita untuk menjadikan puasa sebagai tarian cinta Ilahi. Al-Ghazali menekankan pentingnya penyucian diri, sementara Ibnu Arabi melihatnya sebagai gerbang menuju pencerahan spiritual.

Bagi kita, menikmati Ramadhan seperti para sufi berarti lebih dari sekadar menahan lapar dan haus.

Kita harus menjadikannya sebagai sarana untuk merenungi diri, memperbaiki akhlak, dan mendekat kepada Tuhan dengan penuh cinta. Jika kita bisa menjalani Ramadhan dengan cara ini, maka kita tidak hanya akan menikmati berkahnya, tetapi juga menemukan makna sejati dari ibadah yang kita lakukan.

Semoga Ramadhan kali ini membawa kita ke dalam pelukan kasih sayang Tuhan, menjadikan kita lebih baik, lebih bijak, dan lebih dekat dengan-Nya.

Aamiin

 Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

                 

Editor : Redaksi

LAINNYA