x
x

Ramadhan Bagi Kaum Sufi

Selasa, 25 Feb 2025 08:35 WIB

Reporter : Redaksi

Di bawah langit malam yang terhampar bagai samudra luas, bulan sabit menggantung seperti senyuman rahasia, dipahami hanya oleh hati yang tenggelam dalam zikir.

Bagi kaum sufi, Ramadhan bukan sekadar bulan puasa, melainkan sebuah perjamuan cinta yang telah lama dinanti. Ia hadir sebagai tamu agung dari langit, membawa lentera rahasia yang menerangi gelapnya jiwa yang merindu.

Ramadhan bagi kaum sufi adalah sang Mempelai dari istana keabadian, menebarkan wangi kasturi ke dalam sanubari. Ia bukan sekadar rangkaian hari, tetapi sebuah kehadiran yang menggetarkan, mengajarkan makna lapar bukan hanya sebagai kekosongan jasmani, melainkan kelaparan akan cinta Ilahi.

Mereka menyambutnya sebagaimana musafir yang akhirnya menemukan mata air setelah perjalanan panjang melintasi padang pasir. Setiap detiknya adalah tetesan embun yang menyegarkan dahaga rohani, membasuh cermin hati dari karat dunia.

Jalaluddin Rumi pernah berkata, "Puasa adalah laut, dan kita adalah ikan yang berenang di dalamnya." Bagi Rumi, puasa adalah perjalanan menuju diri yang hakiki, di mana nafsu luluh dalam lautan kasih-Nya.

Ia bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi menundukkan ego agar yang tersisa hanyalah kerinduan kepada Tuhan.

Dalam Ramadhan, manusia diajak untuk keluar dari batasan duniawi dan melangkah menuju taman cahaya Ilahi, menari dalam kelembutan rahmat-Nya.

Dalam heningnya malam-malam Ramadhan, para sufi berbincang dengan Allah dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang berserah.

Mereka melihat tarawih bukan sekadar barisan rakaat, tetapi tarian jiwa dalam irama keagungan.

Sahur bukan hanya hidangan yang menunda lapar, tetapi jamuan kasih sayang yang diberikan oleh Sang Kekasih agar tubuh kuat menapaki siang dalam rindu kepada-Nya.

Puasa bagi kaum sufi adalah perjalanan peleburan diri. Mata mereka berpuasa dari segala yang menutup pandangan dari cahaya-Nya, telinga mereka berpuasa dari hiruk-pikuk dunia, dan lidah mereka berpuasa dari kata-kata yang sia-sia.

Mereka memahami bahwa puasa bukan sekadar bentuk pengekangan, tetapi cara bagi jiwa untuk mencapai kelembutan, membersihkan jendela hati agar cahaya Ilahi bisa masuk tanpa penghalang.

Ibn Arabi, sang filsuf cinta, menuturkan bahwa "Puasa adalah bentuk kepasrahan total kepada Sang Kekasih, di mana jiwa menanggalkan jubah-jubah keinginan duniawi dan berpakaian dengan cahaya penghambaan.

" Baginya, Ramadhan bukan sekadar pengekangan fisik, tetapi perjalanan menuju hakikat, melampaui batasan bentuk dan bayangan hingga yang tersisa hanyalah cinta kepada-Nya."

Dan ketika malam Lailatul Qadar datang, para sufi tidak mencarinya dengan hitungan angka, melainkan dengan hati yang bersih.

Bagi mereka, malam itu tidak hanya turun pada satu waktu, tetapi hadir dalam setiap saat ketika seorang hamba benar-benar tenggelam dalam hadirat-Nya.

Lailatul Qadar bukan hanya tentang seribu bulan, tetapi tentang sebuah momen penyatuan kesadaran dengan keabadian.
Kaum sufi menjalani Ramadhan dengan tubuh, jiwa, dan seluruh keberadaan mereka. Mereka menari dalam sunyi, menangis dalam sujud, dan tersenyum dalam kehilangan.

Ramadhan bagi mereka bukan sekadar kewajiban, tetapi tarian jiwa yang menyatu dengan Sang Kekasih. Seperti penyair yang mabuk oleh syair cintanya, mereka mabuk dalam manisnya pengampunan, dalam luasnya samudra rahmat yang tak bertepi.

Ketika akhirnya Ramadhan pergi, kaum sufi tidak meratapinya dengan kesedihan biasa. Mereka melepasnya sebagaimana kekasih melepas belahan jiwanya, dengan keyakinan bahwa ia akan kembali, dengan harapan bahwa pertemuan kali ini telah membawa mereka lebih dekat kepada-Nya.

Idul Fitri bagi mereka bukan sekadar kemenangan menahan lapar, tetapi kelahiran baru bagi jiwa yang lebih bersih, lebih bercahaya, lebih siap mengarungi samudra dunia dengan bekal cinta-Nya.

Begitulah kaum sufi menyambut Ramadhan, dengan hati yang merindu, dengan jiwa yang menganga bagi cahaya, dengan cinta yang tak berbatas.

Mereka tidak sekadar berpuasa, tetapi membiarkan diri mereka dihapus dan ditulis ulang oleh tangan kasih Tuhan.

Mereka tidak sekadar menghitung hari, tetapi menjadikan waktu sebagai jembatan menuju keabadian. Mereka tidak sekadar menahan diri, tetapi menyerahkan diri sepenuhnya, hingga yang tersisa hanyalah Dia dan cinta-Nya yang tak berkesudahan.

Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA