x
x

Memaknai Ngabuburit

Rabu, 12 Mar 2025 11:14 WIB

Reporter : Redaksi

Ngabuburit sebuah istilah yang mencerminkan perjalanan menunggu berbuka puasa dengan beragam aktivitas, dari sekadar menikmati desir angin sore hingga berburu kuliner yang menggugah selera.

Ngabuburit adalah istilah dalam bahasa Sunda yang populer di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Istilah ini merujuk pada aktivitas menunggu waktu berbuka puasa saat bulan Ramadhan.

Namun, dalam kacamata sufi, apakah ini sekadar kesenangan jasmani atau ada makna yang lebih dalam?

Dalam perspektif sufisme, segala sesuatu di dunia ini adalah simbol, dan manusia yang arif akan membaca tanda-tanda itu dengan mata batin.

Ngabuburit, dalam esensinya, bukan hanya sekadar menanti azan magrib, tetapi adalah perjalanan menunggu Sang Kekasih, menunggu momen di mana jiwa dapat melebur dalam samudera Ilahi.

Jembatan Menuju Tuhan

Jalaludin Rumi, sang penyair sufi besar, pernah berkata, "Ketika roh kita lapar, kita ingin makanan duniawi. Tetapi, begitu kita kenyang, kita menyadari bahwa yang kita cari bukanlah makanan itu, melainkan cahaya."

Ngabuburit, dengan segala hiruk-pikuknya, mencerminkan pencarian manusia akan kepuasan.

Kita berkeliling, mencari hidangan yang akan melepas dahaga dan lapar, seolah-olah perutlah yang menjadi penguasa diri.

Namun, ketika suapan pertama masuk ke mulut dan rasa puas datang, kita sadar bahwa pencarian kita tak berujung di sana. Kita menginginkan sesuatu yang lebih dalam, lebih abadi.

Rumi mengajarkan bahwa makanan jasmani hanyalah cerminan dari makanan ruhani. Seperti halnya lidah mengecap manisnya kurma saat berbuka, ruh mengecap manisnya dzikir saat menyebut nama-Nya.

Maka, pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: apakah kita lebih menantikan rasa makanan, ataukah kita lebih menantikan pertemuan dengan-Nya dalam doa dan syukur?

Keseimbangan Jasmani dan Ruhani

Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, mengingatkan bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh, dan keduanya memiliki hak yang harus dipenuhi.

Ia menjelaskan dalam Ihya Ulumuddin bahwa puasa adalah sarana untuk menundukkan hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Namun, ia juga tidak menafikan kebutuhan jasmani, sebab manusia bukanlah malaikat yang bisa hidup tanpa kebutuhan fisik.

Ngabuburit, dalam perspektif Ghazali, bisa ditafsirkan menjadi jalan menuju Tuhan jika dijalani dengan kesadaran. Pergi ke pasar kuliner, memilih makanan berbuka, mencium aroma makanan yang menggoda semua itu adalah pengingat akan nikmat Tuhan.

Namun, jika dilakukan berlebihan, malah dapat menutupi cahaya ruhani. Oleh karena itu, ia menekankan keseimbangan: menikmati hidangan berbuka bukanlah dosa, tetapi jika itu menjadi tujuan utama, maka kita telah kehilangan inti dari puasa itu sendiri.

Cinta Sejati Tidak Butuh Pengalihan

Rabiah Al-Adawiyah, sufi perempuan yang dikenang karena cintanya yang murni kepada Tuhan, mungkin akan memandang ngabuburit dengan penuh kehati-hatian.

Baginya, mencintai Tuhan berarti tidak mengalihkan hati kepada selain-Nya. "Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu demi surga, jauhkan aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta, jangan palingkan aku dari-Mu."

Bagi Rabiah, ngabuburit bisa menjadi semacam ujian: apakah kita menanti berbuka dengan hati yang sibuk kepada-Nya, ataukah kita lebih asyik dalam pencarian kesenangan duniawi ?

Baginya, orang yang benar-benar mencintai tidak membutuhkan pengalihan dalam menunggu pertemuan. Seperti seorang kekasih yang menanti kedatangan pujaan hatinya, ia tidak akan terganggu dengan makanan atau hiburan; ia hanya memikirkan satu hal: pertemuan itu sendiri.

Antara Rasa dan Rasa

Ngabuburit, seperti semua aspek kehidupan, dapat menjadi jalan menuju Tuhan atau jalan menjauh dari-Nya, tergantung bagaimana kita menjalankannya.

Dalam setiap hiruk-pikuk pasar takjil, dalam setiap gelas es kelapa yang menyegarkan, dalam setiap gigitan gorengan yang renyah—ada pelajaran tentang kesabaran, tentang nikmat, dan tentang makna menunggu.

Jika kita melihatnya dengan mata biasa, ngabuburit hanyalah sebuah kebiasaan; tetapi jika kita melihatnya dengan mata hati, itu adalah latihan spiritual.

Ia mengajarkan kita tentang harapan, tentang rasa syukur, dan tentang bagaimana mempersiapkan diri bukan hanya untuk berbuka, tetapi untuk berbuka dari keterikatan dunia menuju keterikatan kepada-Nya.

Maka, saat kita menikmati ngabuburit, marilah kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita menunggu makanan, ataukah kita menunggu kehadiran-Nya? Apakah kita sekadar mengisi perut, ataukah kita juga mengisi jiwa?

Sebab dalam dunia sufi, setiap tindakan adalah bagian dari perjalanan menuju Kekasih Sejati, dan dalam setiap suapan yang masuk ke mulut, ada rahasia yang dapat membuka pintu menuju cahaya-Nya.

Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA