Reporter : Peni Widarti
JATIMKINI.COM, Sejak lama Indonesia telah bermimpi untuk bisa mencapai swasembada gula. Faktanya, hingga saat ini mimpi tersebut tak kunjung terwujud.
Namun demikian, swasembada gula kembali digaungkan dan semakin diperkuat setelah Presiden Joko Widodo menetapkan target baru untuk produksi gula di Indonesia, serta bioetanol melalui penerbitan Perpres Nomor 40 Tahun 2023 pada 16 Juni 2023.
Perpres ini dibuat karena Indonesia menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia. Selain itu, Perpres ini juga diterbitkan untuk memperkuat kemandirian energi. Melalui aturan itu, Jokowi juga menargetkan Indonesia mampu mencapai swasembada gula pada 2028 dan meningkatkan produksi bioetanol pada 2030.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Andi Nur Alam Syah menjelaskan, peta jalan menuju swasembada gula ini telah dirancang dengan target utama yang harus digeber tahun ini adalah perbaikan kelembagaan petani agar mudah mendapatkan akses pembiayaan, serta mendapatkan bibit tebu yang murah dan cepat.
“Sebenarnya komoditas gula ini cukup pada akses pembiayaan, bagaimana mudah mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), suku bunga kredit diturunkan, serta penyediaan bibit/varietas tebu yang unggul yang murah dan cepat,” ujarnya di sela-sela FGD Tata Kelola Tebu Rakyat di Yogyakarta, Selasa (2/7/2024).
Ia memaparkan, saat ini kondisi perkebunan tebu di Indonesia sudah waktunya untuk melakukan bongkar ratoon atau peremajaan tanaman (tanam ulang). Sebab, dari luasan eksisting 504.000 ha lahan kebun tebu, sekitar 86% belum melakukan peremajaan tanaman selama lebih dari 5 - 10 tahun. Padahal idealnya, minimal yang belum melakukan bongkar ratoon adalah 25% supaya produktivitas tebu bisa mencapai target 90 ton/ha.
“Dengan luasan lahan itu, kalau dikelola dengan baik itu bisa mencapai target swasembada gula yang kita impikan. Yang terjadi saat ini, petani kita tidak punya kemampuan untuk melakukan bongkar ratoon, padahal seharusnya dilakukan setiap 5 tahun, tanaman tebu kita harus diperbaikai varietasnya,” paparnya.
Sementara, lanjut Andi, Dirjen Perkebunan selama ini mendapat anggaran Perkebunan tidak lebih dari Rp1,1 triliun. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak, dari petani, pabrik pengolahan gula, lembaga pembiayaan, akademisi serta penyedia bibit tebu.
Untuk melakukan bongkar ratoon dari luasan lahan yang ada, petani butuh miliaran mata benih tebu varietas unggul. Namun kemampuan penyediaan benih masih 40% dari kebutuhan.
“Itu karena tadi, kalau menyediakan benih banyak, lalu siapa yang mau beli, sedangkan petani memilih bongkar ratoon sampai 10 tahunan. Nah ekosistem perbenihan ini harus dijalankan, maka petani akan berbondong-bondong untuk bongkar ratoon,” jelasnya.
Andi menambahkan, saat ini pemerintah juga tengah menginisiasi Badan Pengelola Perkebunan. Harapannya ke depan perkembangan sektor perkebunan tidak lagi bertumpu pada APBN. Dirjen Perkebunan juga sudah mengusulkan agar importasi gula rafinasi diberi pengenaan bea masuk yang nantinya digunakan untuk pengembangan perkebunan tebu rakyat.
“Dirjenbun juga memasukkan kembali komoditas tebu ke dalam daftar penerima pupuk subsidi. Saya berkolaborasi dengan Dirut PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk menghitung detail kebutuhan pupuk, jadi langsung dipatok berapa juta ton yang diperlukan untuk mencapai target produksi gula,” katanya.
Selain itu, ke depan juga diperlukan langkah konkrit bahwa mendekati 5 tahun setelah peremajaan tanaman tebu, penyediaan benih murah dan gratis harus sudah disiapkan.
“Nanti yang gratis bagian pemerintah, saya berharap ada aturan yang bersifat mandatory untuk membiayainya. Memang gratis tidak bisa semuanya,” katanya.
Di tengah sulitnya tenaga kerja perkebunan, tambah Andi, Dirjenbun juga mendorong adanya moderinsasi atau mekanisasi pada industri gula ini. Sistem penyewaan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang dimiliki oleh kelembagaan.
“Saya akan tarik perusahaan asing agar membiayai di awal untuk investasi beli alsintan baru. Itu saja kuncinya, pasti modernisasi perkebunan akan bergerak otomatis,” imbuhnya.
Mahmudi, Direktur Utama SGN, anak perusahaan PTPN III (Persero) Holding Perkebunan, menyampaikan bahwa lebih dari 80% pasokan bahan baku tebu (BBT) pabrik gula (PG) SGN merupakan tebu petani, sehingga SGN memandang perlunya strategi penguatan posisi petani tebu, di antaranya peningkatan produktivitas tebu hingga penguatan pola sistem bagi hasil (SBH) yang telah menjadi spirit kemitraan PG dengan petani sejak dulu.
“Peningkatan produktivitas tebu akan berdampak pada pendapatan petani, kemitraan SBH juga menguntungkan petani, ini kita kuatkan sehingga tidak terjebak pada pola transaksional dengan meninggalkan kualitas BBT,” katanya.
Saat ini, tambah Mahmudi, SGN juga berupaya melalui koordinasi dengan Kemenko Perekonomian agar ada KUR khusus klaster tebu, serta berencana membangun warung-warung bibit di dekat PG, dan menyiapkan ekosistem digital bagi petani agar memudahkan akses mencari bibit tebu, termasuk akses pembiayaan dan fitur terkait bimbingan teknis kelompok petani tebu.
“Saya yakin dengan penguatan ekosistem tebu rakyat, target swasembada gula kita akan tercapai,” imbuhnya.
Asisten Deputi Pembaharuan dan Kemitraan Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Bagus Rahman menambahkan, pihaknya akan memperkuat petani dari sisi kelembagaan melalui pendampingan sehingga petani tebu punya badan usaha dan badan hukum serta akses pembiayaan untuk mendapatkan dukungan budidaya tebu.
“Dari sisi bank, KUR akan disiapkan kalau ada kepastian pasar, dari sisi BUMN, akan siap menyerap hasil tebu petani untuk diolah jadi nilai tambah. Maka harapannya, KUR khusus klaster tebu itu bisa Rp500 juta/orang, bahkan bisa repeat KUR,” katanya.
Asdep Bidang Industri Perkebunan dan Kehutanan Kementerian BUMN, Faturohman mengatakan, dari peta jalan swasembada gula ini akan banyak opsi untuk meningkatkan kapasitas pendanaan.
“Pemerintah akan mengundang investor potensial yang akan bekerja sama dengan SGN baik dari sisi on farm maupun off farm,” katanya.
Ketua Asosiasi Petani Tebi Rakyat Indonesia (APTRI), Sunardi Edi Sukamto mengakui, memang untuk melakukan bongkar ratoon membutuhkan biaya yang sangat mahal sekitar Rp58 juta/ha bahkan lebih dengan pengerajaan mulai dari komponen bajak, pengairan, pupuk, sampai bibit.
“Untuk itu petani butuh dukungan pemerintah dengan kebijakan yang harus berpihak dan konsisten. Sebab, maaf, dari lahir sampai sekarang program menuju swasembada tidak pernah tahu kapan tercapainya. Jadi harapan petani ada proteksi dan jaminan bahwa usaha tani ini untung,” katanya.
Sebagai contoh, kata Sunardi, persoalan perlindungan Harga Acuan Pembelian (HAP) petani yang saat ini sebesar Rp14.500/kg, dan HAP tingkat konsumen Rp17.500/kg harus konsisten, setidaknya HAP itu bertahan selama 5 tahun agar petani tidak merugi.
“Kalau HAP hanya bertahan setahun, lalu harga gula luar negeri turun dan masuk ke pasar kita, ya petani akan mati. Jadi butuh ditetapkan 5 tahun supaya kita hanya fokus berbenah di kebun dan meningkatkan produksi, jadi ada jaminan. Kalau tahu-tahu harga naik turun, petani akan mati bersama-sama. Pemerintah harus konsisten jaga semuanya,” tegasnya.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM), Jaka Widada mengatakan, UGM telah membuka Sugar Cane Learning Center untuk mendukung peningkatan kompetensi praktisi industri gula.
“UGM punya banyak SDM, tenaga kerja kerja dan penelitian para mahasiswa. Saya kira adanya Sugar Cane Learning Center akan membantu perkembangan industri pergulaan di Indonesia,” imbunya.
Editor : Peni Widarti