Setiap jam sekitar 14 orang Indonesia meninggal akibat penyakit TBC atau Tuberkulosis. Sedih tapi nyata. Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi dan euforia pasca-Covid, bangsa ini justru lengah terhadap wabah yang jauh lebih lama menghantui nasib manusia.
Tuberkulosis (TBC) bukanlah penyakit baru. Jejaknya bahkan ditemukan pada mumi Mesir kuno. Namun di abad ke-21 ketika manusia bicara soal kecerdasan buatan dan wisata ke luar angkasa, Indonesia justru mencatatkan diri sebagai runner-up dunia dalam kasus TBC, hanya kalah dari India. Sebuah prestasi kelam yang tidak layak dibanggakan.
Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini memang menular diam-diam. Ia tidak menimbulkan gejala drastis di awal tapi dampaknya sangat nyata, melemahkan tubuh, menggerogoti paru-paru, menyebar ke organ lain, akhirnya… mengakhiri hidup ratusan ribu orang.
Kisah Andy Rahmat alias Bang Jo dari Desa Termas, Babatan, Nganjuk, Jawa Timur, adalah potret kecil dari tragedi besar ini. Awalnya ia terinfeksi TBC dan berhasil sembuh setelah enam bulan berobat di Puskesmas Patianrowo. Tapi TBC tak berhenti di situ. Istrinya, yang menderita diabetes, ikut terinfeksi dan akhirnya meninggal dunia. Anak mereka, Niken, ikut tertular. Beruntung, ia sembuh.
Namun, Bang Jo mengaku masih mengalami sesak napas dan kelelahan setelah dinyatakan sembuh. Diagnosis lanjutan menunjukkan infeksi TBC di luar paru-paru, yang memerlukan pengobatan lanjutan di rumah sakit.
“Saya pikir sudah sembuh total, ternyata belum. Saya harap masyarakat waspada, apalagi di tempat ramai yang penuh asap rokok,” ujarnya.
Apa yang dialami Bang Jo bukanlah kasus langka. Sebaliknya, ini adalah gambaran umum dari betapa masyarakat kita belum siap menghadapi TBC secara serius.
Di Mojokerto, kasus TBC melonjak tajam dari 757 (2023) menjadi 869 kasus (2024). Hingga medio 2025, tercatat 322 kasus baru. Itu hanya satu kota kecil. Secara nasional, Kementerian Kesehatan mencatat 889.000 notifikasi kasus TBC pada 2024, tetapi hanya 81% yang memulai pengobatan. Dan lebih miris lagi, tingkat kesembuhan pasien TBC resisten obat (RO) hanya 58%, jauh dari target 80%.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr. Ina Agustina, menyebutkan bahwa Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan adalah wilayah dengan beban kasus tertinggi.
“Obat dan teknologi ada. Tapi tanpa kesadaran pasien dan dukungan komunitas, semuanya percuma,” tegasnya.
MENGAPA GAGAL
Padahal pengobatan TBC sudah tersedia sejak 1943. Kombinasi isoniazid dan rifampisin telah memperpendek masa pengobatan menjadi 6 bulan. Tetapi kita masih berputar-putar di masalah klasik: tidak tuntas berobat, kurang edukasi, stigma dan minimnya dukungan sosial.
Edukasi publik pun seringkali tak menyentuh akar persoalan. Penyuluhan formal sekadar menambah lembar kertas, bukan menumbuhkan kesadaran.
Jepang berhasil menurunkan angka TBC dari 698 per 100.000 jiwa pada 1951 menjadi hanya 10 per 100.000 pada 2022. Mereka menggunakan pendekatan rumah sakit dan skrining rutin pada kelompok rentan.
Belanda bahkan memberikan insentif tunjangan hidup selama pengobatan dan mewajibkan isolasi bagi pasien bandel. Di Vietnam, komunitas lokal dilibatkan langsung dalam program pengobatan dari rumah ke rumah. Hasilnya, tingkat keberhasilan terapi TBC mencapai 85%.
SETENGAH HATI
Indonesia sebenarnya punya infrastruktur. Sudah ada Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) di 142 kabupaten/kota. Tapi sayang, implementasinya masih setengah hati. Pemerintah pusat mendorong digitalisasi data, distribusi alat X-ray portable, dan pelatihan e-learning bagi 491.000 tenaga kesehatan. Namun itu semua belum cukup tanpa dorongan nyata di akar rumput.
Peran masyarakat dan keluarga sangat penting. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Kalbar, kader TBC diberi insentif dan transportasi. Hasilnya? Komunitas berhasil menyumbang 29ri total temuan kasus baru. Artinya, warga bisa jadi garda terdepan jika diberdayakan.
Saat ini sedang diuji coba kandidat vaksin baru bernama M72/AS01E yang digadang-gadang mampu melindungi 50% populasi terinfeksi dan berpotensi menyelamatkan 8 juta jiwa dalam 25 tahun. Tapi seperti diingatkan Prof. Erlina dari Fakultas Kedokteran UI, "Vaksin yang bagus tidak cukup. Ia harus bisa diakses, diterima, dan dipercaya masyarakat."
Jika masyarakat tetap abai dan pemerintah masih malu-malu maka target eliminasi TBC 2030 hanya akan menjadi catatan rapat yang tak berarti. Sudah waktunya berpikir radikal.
Terapkan sanksi tegas bagi pasien yang tak patuh berobat. Berikan insentif bagi mereka yang patuh. Lakukan kampanye publik yang emosional dan menyentuh, bukan hanya bagi-bagi brosur. Libatkan tokoh agama, seniman, influencer, dan komunitas untuk menyampaikan pesan dengan pendekatan yang humanis.
Tuberkulosis bukan hanya urusan medis. Ini adalah cermin peradaban. Ia menguji kepedulian, kesadaran sosial dan kemampuan kita untuk menjaga sesama. Penyakit ini tidak memilih siapa yang akan menjadi korbannya. Tapi kita bisa memilih, membiarkannya membunuh diam-diam atau bersama-sama mengakhirinya.
Jika kita tidak bertindak hari ini maka kita sedang menanam ladang kematian bagi generasi esok.
Apa tega?
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi