Di tengah derasnya arus kehidupan modern yang didominasi oleh kemajuan teknologi dan sains, umat manusia terutama kaum Muslimin terkadang teralihkan dari dimensi spiritual yang justru menjadi pondasi hakiki eksistensi manusia.
Dalam dunia yang serba logis dan instan, nilai-nilai metafisik sering kali dianggap sebagai sesuatu yang irasional atau tidak relevan. Namun, sejarah dan agama mengajarkan bahwa ada momen-momen yang melampaui logika biasa; waktu-waktu yang menyimpan kekuatan luar biasa dalam membentuk jiwa manusia dan mempertemukannya dengan Sang Pencipta.
Hari Arafah adalah salah satunya.
Hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah, bukan sekadar penanda dalam rentetan hari-hari Islam. Ia adalah puncak spiritualitas tahunan, sebuah hari ketika langit dan bumi menyatu dalam doa, dan Allah dalam makna yang hanya bisa dirasa oleh hati yang bersih menurunkan rahmat-Nya dengan cara yang tak terlukiskan.
Tidak hanya bagi mereka yang sedang wukuf di Padang Arafah saat menunaikan haji, tetapi juga bagi seluruh Muslim di penjuru dunia. Hari ini adalah hari ketaatan, hari munajat, hari pelepasan dari neraka, dan hari ibadah yang semestinya dimaknai lebih dalam dari sekadar seremonial atau rutinitas agama.
Dalam konteks ini, tafsir dan pandangan para ulama klasik dan kontemporer menjadi penting. Syaikh Muhammad al-Tahir Ibn ‘Ashur, seorang mufassir besar asal Tunisia yang dikenal karena pendekatan rasional dan maqashidi-nya dalam tafsir, menggarisbawahi bahwa ibadah dalam Islam bukan hanya tentang perintah dan larangan, tapi juga tentang memelihara akal dan jiwa.
Dalam pandangan Ibn ‘Ashur, hari-hari besar seperti Arafah adalah momentum untuk menghidupkan kembali fungsi spiritual manusia yang mulai tertimbun oleh rutinitas dunia.
Hari Arafah mengajarkan umat manusia tentang makna kebebasan sejati—bukan dari sistem politik atau ekonomi melainkan kebebasan dari belenggu hawa nafsu, keserakahan, dan keangkuhan diri. Berangkat dari pemahaman ini, tidak mengherankan jika Allah menyanjung para jemaah haji yang berada di Arafah sebagai “penduduk langit.” Ini bukanlah pujian kosong, tapi cerminan betapa tinggi posisi manusia saat ia benar-benar hadir secara total dalam ibadah. Maka dari itu, siapa pun yang ingin memperoleh manfaat maksimal dari hari ini, perlu mendekatinya dengan kesungguhan yang sejati.
Jika pada malam Lailatul Qadar Allah mengutus para malaikat-Nya turun ke bumi, maka pada Hari Arafah, Allah sendiri turun ke langit dunia untuk menyaksikan dan mengabulkan doa-doa para hamba-Nya. Ini bukan sekadar peristiwa simbolik, tetapi tanda betapa rahmat dan pengampunan Allah begitu dekat pada hari ini.
Apa yang bisa kita lakukan di Hari Arafah? Tidak perlu menjadi ahli ibadah untuk meraih keutamaannya. Yang dibutuhkan hanyalah kesiapan hati, ketulusan niat, dan kesediaan waktu.
Dimulai dengan tidur lebih awal pada malam sebelumnya agar bisa bangun sebelum fajar untuk sahur dengan niat puasa Arafah. Rasulullah bersabda bahwa puasa Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Apakah ada teknologi seampuh itu dalam membersihkan beban hidup manusia?
Seorang ilmuwan mungkin mampu menciptakan alat canggih untuk membaca gelombang otak, tetapi tidak ada alat yang bisa mengukur kedalaman ikhlas seorang hamba di Hari Arafah.
Setelah sahur, shalat malam dua atau empat rakaat menjadi bentuk mujahadah yang membangunkan ruhani dari tidur panjangnya. Perbanyaklah istighfar menjelang subuh, karena Allah menyebut para ahli istighfar di waktu sahur sebagai golongan yang dicintai-Nya dalam Al-Qur’an. Air wudhu yang membasahi wajah dan tangan bukan sekadar penyegar tubuh, tetapi simbol penggugur dosa yang melekat.
Subuh adalah waktu dimulainya hari istimewa ini. Jangan tinggalkan mushalla setelah subuh, tunggulah hingga syuruq lalu shalat dua rakaat. Rasulullah menjanjikan pahala haji dan umrah bagi siapa yang melakukannya. Apakah kita masih menganggap remeh sebuah pagi di Hari Arafah jika ia setara dengan pahala haji? Selanjutnya, hari diisi dengan bacaan takbir, tasbih, tahmid, membaca Al-Qur'an dan memperbanyak “La ilaha illallah wahdahu la syarika lah…” dzikir yang sangat dianjurkan di hari ini.
Sepanjang hari, jadikan aktivitas kita sebagai bagian dari rangkaian ibadah. Jika harus bekerja atau mengurus rumah, niatkan sebagai bentuk ibadah. Namun jangan lewatkan momen menjelang maghrib, saat para ulama menyebutnya sebagai waktu mustajab untuk berdoa.
Di waktu inilah jemaah haji berdoa di Arafah dengan linangan air mata, dan kita pun bisa melakukannya di manapun berada. Tumpahkanlah segala keinginan, kegelisahan, dan doa-doa terbaik untuk diri sendiri, keluarga, dan umat Islam seluruh dunia.
Adakah hari lain yang begitu padat dengan peluang kebaikan seperti ini? Jika kita bersedia menghabiskan waktu berjam-jam untuk konferensi, pelatihan, bahkan tayangan hiburan, mengapa tidak menyisihkan satu hari dalam setahun untuk sepenuhnya bersama Allah?
Masyarakat modern sering kali menuhankan waktu dan produktivitas, tapi Hari Arafah mengajarkan bahwa produktivitas tertinggi adalah ketika jiwa manusia mampu terhubung dengan Tuhannya.
Hari Arafah adalah hari istimewa yang bisa menjadi titik balik hidup siapa pun yang bersedia mengisinya dengan taqarrub dan ketulusan. Jangan biarkan ia berlalu seperti hari biasa.
Sebagaimana Allah telah menetapkan malam-malam tertentu untuk turunnya rahmat, maka hari ini adalah waktu terbukanya langit. Kirimkan pesan ini kepada orang-orang yang Anda cintai, sebab bisa jadi tahun ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menjumpai Hari Arafah.
Semoga Allah menerima amal kita, menjadikan kita sebagai hamba yang terbebas dari api neraka, dan memudahkan jalan kita menuju pertemuan dengan-Nya dalam keadaan bersih dan diridhai. Jangan lupa, perbanyaklah pula shalawat kepada Rasulullah teladan yang menghidupkan malam dan siang dengan cinta kepada Allah.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi