Di tengah dunia yang semakin transparan, di mana segala sesuatu cenderung dipamerkan, dikomentari, dan ditunjukkan kepada publik, ada satu ibadah yang tetap berada dalam sunyi. Ibadah yang nyaris tak terlihat, yang tidak dapat dinilai oleh mata manusia, dan tidak perlu diumumkan untuk diakui yakni puasa.
Dalam konteks spiritual, puasa menempati kedudukan yang sangat istimewa. Ia bukan sekadar ritual yang menahan lapar dan dahaga, tetapi lebih dari itu adalah ibadah tersembunyi yang menjadi rahasia antara manusia dan Tuhannya.
Berbeda dengan salat yang gerakannya bisa dilihat, zakat yang nominalnya bisa dihitung, atau haji yang perjalanannya dapat dibagikan melalui gambar dan cerita, puasa menyimpan kesuciannya dalam ketidakterlihatan.
Seseorang bisa saja tampak biasa, berbincang, tersenyum, bekerja seperti biasa, dan tak ada yang tahu bahwa ia sedang menahan diri dari makan, minum, dan berbagai godaan.
Hanya dirinya dan Allah yang tahu. Bahkan Rasulullah SAW pernah menyampaikan dalam hadits qudsi: "Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini bukan hanya penegasan keistimewaan, tetapi juga pengakuan bahwa puasa adalah bentuk penghambaan yang tidak bisa diklaim oleh siapapun selain oleh yang melakukannya secara ikhlas.
Puasa adalah ibadah keheningan. Dalam diamnya, ia mengajari manusia tentang kejujuran paling dalam. Dalam sunyinya, ia membentuk karakter spiritual yang tangguh.
Tidak ada satu pun manusia yang benar-benar bisa menilai kualitas puasa seseorang. Maka, puasa adalah ladang kemurnian niat. Ia bukan untuk dilihat, bukan untuk dipuji, dan bukan untuk dinilai. Ia hanya untuk Allah, dan karena itu pula Allah sendirilah yang menjaga keutamaan dan pahalanya.
Dalam dunia modern yang dijejali oleh sains dan teknologi, puasa acap kali direduksi menjadi sekadar metode kesehatan. Banyak studi medis menunjukkan bahwa puasa berkala dapat membantu detoksifikasi tubuh, menurunkan berat badan, memperbaiki metabolisme, dan bahkan memperpanjang usia.
Namun membatasi puasa hanya dalam ranah medis adalah menyederhanakan dimensi agungnya. Puasa bukan semata-mata tentang tubuh, tetapi tentang ruhani. Ia bukan tentang pengendalian berat badan, tetapi pengendalian hawa nafsu. Ia bukan tentang menyehatkan organ fisik, tetapi tentang menyehatkan hati.
Dr. Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf dan pemikir Islam kontemporer asal Iran, pernah mengatakan, “The fast is not simply a ritual abstention, but a spiritual discipline meant to open the heart to the Divine presence.” (Puasa bukan sekadar pantang ritual, tetapi disiplin spiritual yang dimaksudkan untuk membuka hati kepada kehadiran Ilahi).
Dalam kalimat tersebut, Nasr menekankan bahwa puasa adalah proses internalisasi nilai spiritual yang menuntun manusia untuk lebih peka terhadap kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Dalam kelaparan dan kehausan itu, manusia belajar bahwa dunia bukan tempat yang bisa sepenuhnya dikendalikan, dan bahwa ketergantungan mutlak hanyalah kepada Tuhan.
Sementara itu, Thomas Merton, seorang biarawan Trappist dan penulis spiritual dari Amerika Serikat, pernah menulis dalam refleksinya: “Fasting is the soul’s way of reminding the body who’s in charge.” (Puasa adalah cara jiwa mengingatkan tubuh siapa yang berkuasa).
Bagi Merton, puasa adalah dialog internal antara dimensi ruhani dan jasmani, di mana jiwa menegaskan perannya sebagai pemimpin. Pernyataan ini mencerminkan bahwa dalam berbagai tradisi agama, bukan hanya dalam Islam, puasa memiliki kedudukan sebagai praktik spiritual yang memerdekakan manusia dari jerat keduniawian.
Ketika kita berpuasa, sesungguhnya kita sedang diajak untuk kembali pada fitrah. Puasa menyadarkan bahwa manusia tidak diciptakan untuk selalu memenuhi keinginan, melainkan untuk belajar menunda, mengelola, dan bahkan meninggalkan keinginan demi sesuatu yang lebih luhur.
Dan dalam latihan pengendalian diri inilah, manusia menemukan nilai paling otentik dari penghambaan. Sebab sejatinya, siapa yang mampu menahan diri dari hal-hal yang halal di siang hari, akan lebih mudah menahan diri dari yang haram di malam hari.
Disiplin spiritual ini bukan hanya menghasilkan pribadi yang lebih bersih, tetapi juga masyarakat yang lebih beradab. Salah satu bentuk keistimewaan puasa lainnya adalah dikabulkannya doa. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tiga doa yang tidak tertolak: doa orang yang berpuasa hingga ia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi).
Di sini kita melihat bahwa puasa tidak hanya menghubungkan manusia dengan Tuhan dalam bentuk ibadah fisik, tetapi juga membuka pintu langit bagi harapan dan permintaan terdalam seorang hamba. Tidak mengherankan jika kemudian Allah memberikan balasan langsung untuk puasa. Sebab, puasa adalah bentuk totalitas penyerahan diri. Ia menyentuh dimensi tubuh, jiwa, dan niat secara bersamaan.
Ia mengajarkan kita bahwa terkadang, dengan tidak melakukan sesuatu (tidak makan, tidak minum, tidak marah), manusia justru lebih dekat pada Tuhannya. Dalam lanskap dunia yang makin bising oleh kebisingan digital, puasa menjadi ruang sunyi yang mendewasakan. Di tengah budaya pamer, puasa menegaskan nilai keikhlasan.
Di tengah lautan informasi, puasa menumbuhkan kesadaran akan makna dan esensi. Dan di tengah krisis spiritualitas modern, puasa adalah oasis yang menyegarkan jiwa. Oleh karena itu, puasa bukan hanya ritual tahunan yang datang dan pergi. Ia adalah pengalaman spiritual yang menuntut perenungan mendalam. Ia bukan sekadar kewajiban, tapi juga anugerah.
Dalam puasa, kita tidak hanya beribadah, tetapi juga belajar menjadi manusia yang utuh: yang sadar, yang tunduk, dan yang mencintai Tuhannya dalam diam.
Selamat Berpuasa !!
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi