x
x

Sibuk Beragama, Lupa Bertuhan

Sabtu, 31 Mei 2025 13:14 WIB

Reporter : Redaksi

Di tengah derap zaman yang makin riuh, manusia kerap larut dalam kesibukan yang dianggap sakral. Ibadah dijalankan, ritual dipenuhi, dan syiar ditegakkan.

Tapi di balik semarak keberagamaan itu, ada satu pertanyaan yang seolah menggantung di udara, benarkah semua kesibukan itu membuat kita lebih dekat kepada Tuhan? Atau justru hanya meninabobokan jiwa yang perlahan menjauh dari-Nya?

Kita hidup di zaman ketika simbol agama meruak di ruang publik, tapi nilai-nilai ketuhanan justru kian menghilang dari wajah sehari-hari.

Kata-kata seperti cinta, kasih sayang, kejujuran, dan keadilan menjadi asing, bahkan di tengah orang-orang yang paling rajin beribadah. Maka lahirlah satu kalimat yang menggugah kesadaran: sibuk beragama namun lupa bertuhan.

Agama, pada hakikatnya, adalah jembatan menuju Tuhan. Ia dicipta sebagai jalan, bukan tujuan. Tapi manusia sering kali keliru menempatkannya. Jembatan itu dijadikan altar pemujaan, sistem itu disembah, dan ritualnya dianggap sebagai ukuran mutlak kedekatan spiritual.

Padahal, tak sedikit orang yang taat menjalankan agama, tapi hatinya jauh dari Sang Pencipta.

Tuhan tak pernah butuh agama. Tuhan adalah Tuhan—dalam segala kemahasempurnaan-Nya—tanpa perlu pengakuan manusia atau institusi.

Maka benarlah jika dikatakan: Tuhan tanpa agama tetap Tuhan. Tapi agama tanpa Tuhan hanyalah kebohongan. Sebab ketika agama dipraktikkan tanpa menghadirkan cinta, empati, atau keadilan, maka ia tak ubahnya pakaian kosong. Hanya bungkus, tanpa isi.

Fenomena ini bukan hal baru. Sejak dahulu, manusia gemar mempolitisasi agama, menjadikannya alat kekuasaan, bahkan alasan untuk membenarkan kekerasan. Atas nama Tuhan, nyawa dihilangkan.

Atas nama iman, kebencian disebar. Maka sering kali, agama yang semestinya mengajarkan kasih justru melahirkan permusuhan.

Karen Armstrong, penulis dan pemikir agama terkemuka asal Inggris, menyuarakan kegelisahan yang serupa. Dalam bukunya The Case for God, ia menulis bahwa esensi terdalam dari hampir semua ajaran agama besar adalah compassion belas kasih.

Namun, ia juga mengkritik bagaimana agama modern berubah menjadi kumpulan dogma kaku yang lebih mementingkan kepercayaan literal ketimbang pengalaman spiritual yang personal dan transformatif.

Menurut Armstrong, agama semestinya melampaui doktrin; ia harus menyentuh hati, mengubah laku, dan menumbuhkan cinta yang luas.

Namun kini, keberagamaan sering kali menjadi kompetisi simbol. Siapa yang paling sering tampil religius, siapa yang paling lantang menyeru nama Tuhan, siapa yang paling keras menilai “yang lain” sebagai sesat.

Dalam suasana seperti itu, Tuhan bukan lagi pusat tujuan, melainkan justru alat pembenaran. Maka lahirlah generasi yang fasih bicara surga dan neraka, tapi lupa bagaimana mencintai sesama.

Ironisnya, di saat yang sama, kita menyaksikan pula banyak orang yang tidak terikat pada agama formal, namun hidupnya penuh welas asih dan kepedulian.

Mereka tak banyak bicara tentang Tuhan, tapi tindakannya mencerminkan kehadiran Tuhan. Ini menjadi isyarat bahwa spiritualitas sejati tak selalu lahir dari struktur yang resmi. Terkadang, ia tumbuh dalam keheningan batin, dalam dialog sunyi antara hati dan langit.

Fenomena spiritual but not religious (SBNR) mencerminkan hal itu. Orang-orang ini menjauhi institusi agama, tapi tetap mencari makna, tetap haus akan yang transenden.

Mereka mencari Tuhan di luar batas, di luar dogma, di luar institusi. Bukan karena membenci agama, tapi karena mereka kecewa pada wujud agama yang kehilangan ruh. Ini bukan ajakan untuk meninggalkan agama, tapi peringatan agar agama jangan kehilangan wajah ketuhanan.

Karena yang menyelamatkan bukanlah atribut, bukan pula status keanggotaan dalam komunitas keagamaan. Yang menyelamatkan adalah Tuhan. Dan jalan menuju-Nya terbuka luas bagi siapa pun yang tulus mencarinya  dengan cinta, dengan kejujuran, dengan pengabdian yang tidak berpamrih.

Tuhan melihat isi hati, bukan tampilan lahiriah. Tuhan membaca keikhlasan, bukan sekadar hafalan.

Maka kita perlu bertanya kepada diri sendiri: apakah selama ini kita benar-benar bertuhan, atau hanya sekadar beragama?

Apakah ibadah kita menumbuhkan kasih sayang, atau justru memupuk kesombongan rohani? Apakah kita menyebut nama-Nya dalam cinta, atau sekadar sebagai dalih untuk merasa lebih suci dari yang lain?

Bertuhan berarti membuka ruang di hati agar cahaya-Nya masuk dan mengalir keluar dalam perilaku. Ia tak cukup diwujudkan dalam doa, tapi harus terasa dalam tindakan.

Dalam memberi, dalam memaafkan, dalam berlaku adil. Bertuhan berarti menyapa manusia dengan kasih, sebab Tuhan tidak pernah hadir dalam kebencian.

Di penghujung hidup, bukan agama yang akan menyambut kita, melainkan Tuhan. Bukan hafalan yang akan ditanya, tapi bagaimana kita mencintai, menjaga, dan memberi. Karena Tuhan tak pernah bisa ditipu dengan simbol. Ia hanya bisa dijumpai dengan kejujuran hati yang paling dalam.

Maka berhentilah sekadar sibuk beragama. Mulailah sungguh-sungguh bertuhan. Karena agama tidak akan menyelamatkan. Hanya Tuhan yang menyelamatkan.

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi  Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

                     

Editor : Redaksi

LAINNYA