x
x

Kilas Balik Tentang Dolly

Sabtu, 24 Mei 2025 12:31 WIB

Reporter : Redaksi

Di balik riuh modernisasi kota Surabaya pada waktu itu, kisah tentang kawasan seputar Dolly sebagai pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara pernah menjadi potret kelam dan kompleks dari dinamika sosial, ekonomi, serta kebijakan urban.

Buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" karya Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar yang diterbitkan oleh Grafiti Pers pada April 1982 menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami jalinan persoalan yang membentuk dan menopang eksistensi kawasan tersebut selama bertahun-tahun.

Dalam buku itu, para penulis tak hanya membahas sejarah dan kehidupan sosial di Dolly, tetapi juga menyajikan kajian kritis terhadap sistem sosial yang memungkinkan praktik prostitusi tetap hidup dan bahkan berkembang dalam sistem kota yang terus berubah.

Penamaan "Dolly" sendiri membawa narasi yang tak kalah simbolis. Terdapat dua versi utama mengenai asal-usul nama ini. Pertama, yang dianggap lebih spesifik dan mendetail, menyebutkan bahwa Dolly Khavit, seorang perempuan yang konon merupakan mantan pelacur, menikah dengan pelaut Belanda dan pada tahun 1967 mendirikan rumah bordil pertama di kawasan pemakaman Tionghoa di Surabaya.

Versi ini menekankan peran individu dalam membentuk akar dari komunitas prostitusi yang berkembang menjadi lokalisasi terbesar.  Sementara versi lain yang lebih mitologis menyebutkan bahwa nama Dolly berasal dari seorang noni Belanda yang menyulap kawasan pemakaman itu sebagai tempat pelacuran untuk memenuhi kebutuhan seksual tentara kolonial.

Terlepas dari versi mana yang lebih valid secara historis, keduanya menunjukkan bahwa asal mula Dolly tidak bisa dipisahkan dari relasi kuasa kolonial dan warisan urban yang penuh ironi.

Munculnya Dolly sebagai kompleks pelacuran tidak terjadi dalam ruang hampa. Surabaya sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan penting di Jawa Timur memiliki daya tarik migrasi yang tinggi, terutama sejak masa kolonial hingga pasca kemerdekaan.

Ketimpangan sosial yang tajam, arus urbanisasi yang tidak terkendali, dan keterbatasan lapangan kerja formal menjadi salah satu faktor utama yang melatari banyaknya perempuan dari daerah-daerah miskin yang terpaksa menjual tubuh demi bertahan hidup.

Dalam pandangan Emile Durkheim, seorang sosiolog klasik, pelacuran bisa dipandang sebagai bentuk “fungsi sosial” dalam masyarakat modern yang mengalami anomi atau kekacauan norma akibat perubahan sosial yang cepat.

Durkheim tidak menganggap pelacuran sebagai suatu bentuk penyimpangan mutlak, melainkan sebagai cermin dari kebutuhan sistemik masyarakat terhadap kanal-kanal pelampiasan tertentu, terutama dalam konteks kota besar.

Jika ditilik secara sosiologis, berkembangnya Dolly tidak hanya berkaitan dengan kemiskinan atau kebutuhan ekonomi semata. Lebih jauh, lokalisasi ini menjadi bentuk institusionalisasi dari pelacuran sebagai “pekerjaan” yang dinegosiasikan antara pemerintah kota, masyarakat lokal, dan pekerja seks.

Di era Orde Baru, pendekatan negara terhadap pelacuran cenderung pragmatis: selama tidak menimbulkan keresahan sosial, praktik prostitusi bisa "dikelola" melalui lokalisasi, sebagaimana dilakukan terhadap Dolly.

Pendekatan ini mengandaikan bahwa prostitusi adalah keniscayaan dalam struktur masyarakat yang tidak mampu menyediakan kesejahteraan dan pendidikan yang merata.

Penting pula untuk dicermati bagaimana Dolly tidak hanya menjadi tempat transaksi seksual, tetapi juga tumbuh sebagai komunitas urban yang kompleks.  Di dalamnya terdapat koperasi pekerja seks, rumah tangga, toko-toko, bahkan aktivitas kesenian rakyat.

Dalam banyak kasus, relasi yang terbentuk di antara para penghuni Dolly menciptakan sistem solidaritas tersendiri yang kadang justru lebih erat daripada kehidupan di permukiman urban biasa.

Hal ini memperkuat teori sosiolog urban seperti Louis Wirth yang menyoroti bagaimana kelompok-kelompok minoritas di kota besar sering kali membentuk “komunitas dalam komunitas” sebagai respons atas keterasingan dan marginalisasi dari struktur dominan masyarakat.

Namun, pertumbuhan Dolly juga menunjukkan wajah lain dari ambivalensi moral masyarakat urban. Di satu sisi, tempat ini dikutuk sebagai pusat kemerosotan moral di sisi lain, banyak pihak yang menikmati keuntungan ekonominya, dari tukang ojek, pemilik warung, hingga aparat lokal.

Hipokrisi sosial ini mencerminkan apa yang disebut sosiolog Peter L. Berger sebagai “realitas sosial yang dibangun secara kolektif”: praktik yang dianggap menyimpang bisa tetap berlangsung karena ada kesepakatan diam-diam antara berbagai aktor sosial yang diuntungkan olehnya.

Maka, ketika pemerintah akhirnya menutup Dolly pada 2014, persoalan moral tidak benar-benar terselesaikan. Banyak pekerja seks yang terpinggirkan justru kehilangan mata pencaharian tanpa solusi jangka panjang yang nyata.

Dalam konteks ini, Dolly bukan sekadar kawasan prostitusi, melainkan simbol dari kontradiksi pembangunan di satu sisi mengejar modernitas dan moralitas, di sisi lain mengabaikan akar-akar struktural kemiskinan dan ketidaksetaraan gender.

Kehadiran buku karya Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar menjadi sangat penting karena membuka ruang dialog tentang bagaimana prostitusi harus dibahas tidak hanya dari aspek moral atau hukum, tetapi juga sebagai gejala sosial yang kompleks dan menyentuh dimensi kemanusiaan yang sering diabaikan.

Kini, saat Dolly hanya tinggal kenangan yang dikemas sebagai bagian dari sejarah kelam kota, pertanyaan yang lebih besar muncul, apakah penutupan sebuah lokalisasi benar-benar menyelesaikan persoalan prostitusi, atau hanya menggesernya ke ruang-ruang yang lebih tersembunyi dan tak terpantau?

Di tengah perkembangan zaman digital dan krisis sosial-ekonomi yang masih menghantui kota-kota besar Indonesia, kisah tentang Dolly tetap menjadi pengingat bahwa pembangunan manusia tidak bisa hanya diukur dari fisik dan infrastruktur, melainkan dari bagaimana masyarakat menangani persoalan-persoalan sosialnya dengan jujur dan berkeadilan.

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA