x
x

Sudah Setengah Abad, Saatnya HNSI Jadi Alat Perjuangan, Bukan Papan Nama

Rabu, 21 Mei 2025 10:38 WIB

Reporter : Redaksi

Tanggal 21 Mei 2025 menandai 52 tahun perjalanan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), organisasi yang sejak awal dirancang sebagai garda depan perjuangan nelayan Indonesia. Sebuah usia matang untuk sebuah organisasi yang dilahirkan dari semangat persatuan enam organisasi nelayan di tahun 1973, demi satu cita-cita luhur yakni  membela dan memberdayakan kaum nelayan sebagai pilar utama ketahanan pangan dan kedaulatan maritim bangsa.

Namun sungguh ironis, di usia lebih dari setengah abad ini, HNSI justru terseret dalam gelombang politik praktis yang memperlemah marwahnya sebagai organisasi independen. Yang lebih menyedihkan, pembelokan sejarah organisasi ini terjadi bukan karena tekanan asing atau kekuatan pasar bebas melainkan karena manuver segelintir petugas partai yang lupa pada jati diri konstitusi dan tanggung jawab moral mereka kepada rakyat.

Persoalan bermula dari manuver politik menjelang lengsernya Yasonna H. Laoly dari jabatan Menteri Hukum dan HAM. Tepat pada 10 November 2023, ia menerbitkan SK AHU-0001561.AH.01.08 yang mengesahkan Munas HNSI Bali dan menetapkan Herman Herry Adranacus sesama kader PDIP  sebagai Ketua Umum. Padahal hanya enam hari sebelumnya, tepatnya 4 November 2023, SK AHU-0001530.AH.01.08 telah lebih dahulu dikeluarkan untuk mengesahkan hasil Munas Bogor yang memilih Laksamana (Purn) Sumardjono secara sah dan demokratis, berdasarkan suara mayoritas DPD dan sesuai dengan AD/ART organisasi.

Inilah akar dualisme yang menyakitkan. Bukan karena konflik ideologi, bukan karena benturan kepentingan komunitas nelayan tetapi semata karena intervensi kekuasaan yang menunggangi lembaga hukum demi akomodasi politik jangka pendek. HNSI yang seharusnya menjadi organisasi non-partisan dan berdiri netral dari tarik menarik partai dijadikan kendaraan kepentingan oleh sebagian elite yang mengabaikan prinsip independensi dan pengabdian kepada rakyat nelayan.

Sejak lahirnya, HNSI bukanlah milik siapa-siapa. Ia milik seluruh nelayan Indonesia. Organisasi ini dibentuk melalui deklarasi bersama organisasi-organisasi nelayan dari berbagai latar belakang politik dan ideologi, antara lain Organisasi Nelayan Golkar, Serikat Nelayan Muslim indonesia (SERNEMI), Pengurus Besar Serikat Nelayan Islam Indonesia, Gerakan Nelayan Marhein, Karyawan Nelayan Pancasila serta Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nelayan Seluruh Indonesia (GENSI). Sejak saat itu tidak ada lagi organisasi nelayan selain HNSI dengan satu tekad untuk menyatukan perjuangan di bawah satu bendera demi  kesejahteraan nelayan.

Tapi apa arti sejarah jika ia bisa dibelokkan hanya oleh satu Surat Keputusan? Apa arti AD/ART jika keputusan mayoritas DPD dan hasil musyawarah nasional bisa diabaikan demi kekuasaan personal? Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini pembelokan sejarah dan penodaan terhadap cita-cita luhur yang telah dibangun selama setengah abad!!

Realitas di lapangan pun menyakitkan. Menurut data KIARA, lebih dari 70% nelayan tradisional hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara potensi perikanan tangkap Indonesia mencapai lebih dari 12 juta ton per tahun, nelayan masih sulit mengakses BBM subsidi, terpinggirkan dari sistem jaminan sosial,l dan menghadapi eksploitasi laut oleh kapal-kapal asing. Dalam situasi seperti ini  alih-alih memperkuat perjuangan, HNSI justru dipaksa sibuk mengurus legalitas ganda yang melemahkan langkahnya.

Padahal  revitalisasi yang dilakukan melalui Munas Bogor patut diapresiasi. Sumardjono bersama Dewan Pembina seperti Tinton Soeprapto dan para mantan KSAL mencoba menata ulang organisasi. Program prioritas mulai dirancang mencakup  pemetaan kebutuhan SPBUN, pendataan nelayan, perluasan jaminan sosial, hingga penguatan koperasi. Semua itu berangkat dari realitas lapangan, bukan ambisi politik.

Namun semua program itu kini berada di tepi jurang hanya karena ego kekuasaan dan ketidakadilan dalam penerbitan SK legalitas. Pemerintah, terutama Kemenkumham  tidak bisa lepas tangan. Negara tidak boleh menjadi pemicu kekacauan organisasi masyarakat sipil hanya karena manuver segelintir elit.

LURUSKAN SEJARAH

Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto harus bersikap tegas dan arif. Jangan biarkan dualisme ini berlarut-larut dan menjadikan nelayan korban kesekian dari politik kekuasaan. Jika HNSI ingin difungsikan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun sektor kelautan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah meluruskan sejarah dan mengembalikan legalitas organisasi kepada proses yang sah, demokratis sesuai konstitusi organisasi.

Nelayan Indonesia bukan boneka kekuasaan. Mereka adalah penjaga kedaulatan laut, tulang punggung pangan bangsa, dan pewaris budaya maritim nusantara. Mereka tidak butuh organisasi yang elitis dan dijalankan dari balik meja hotel berbintang. Mereka butuh pembela sejati di lapangan, yang tahu rasanya melaut dalam gelombang, yang paham makna penghasilan tak menentu dan ketergantungan pada cuaca, yang mau mendengar dan menyuarakan aspirasi mereka.

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-52 HNSI seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Bukan hanya untuk HNSI, tetapi juga bagi seluruh aparatur negara. Sudah saatnya HNSI kembali ke khitahnya sebagai alat perjuangan nelayan. Sudah waktunya pemerintah menghentikan praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan yang menyesatkan arah perjuangan organisasi rakyat.

Jangan biarkan nelayan terus terombang-ambing dalam badai politik elite. Jangan biarkan organisasi sebesar HNSI menjadi korban kekuasaan jangka pendek. Kembalikan HNSI kepada rakyat nelayan. Kembalikan sejarah kepada kebenarannya.

Karena bila hari ini negara tak bisa meluruskan sejarah, besok kita tak akan punya masa depan yang bisa dibanggakan.

Penulis : Rokimdakas

Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA